SPOTLIGHT

Darurat Kesehatan di Serambi Makkah

Di tengah bencana ekologis, para tenaga medis juga terjebak di daerah terisolasi. Saat listrik dan jaringan komunikasi padam, mereka berinisiatif menghidupkan pelayanan kesehatan yang lumpuh.

Foto : Sejumlah warga melintas di dekat mobil warga yang terbawa arus banjir di kawasan Desa Bukit Tempurung, Kota Kuala Simpang, Kabupaten Aceh Tamiang, Aceh, Rabu (3/12/2025). (Syifa Yulinnas/Antarafoto)

Rabu, 17 Desember 2025

Banjir di Aceh mengakibatkan rusaknya 132 fasilitas pelayanan kesehatan, termasuk 11 rumah sakit dan 121 puskesmas. Di Kabupaten Aceh Tamiang, dari total 15 puskesmas yang ada, hanya tiga puskesmas yang masih dapat beroperasi, meski wilayah kerjanya turut terdampak banjir. Sementara itu, 12 puskesmas lainnya kolaps dan tidak dapat memberikan pelayanan apa pun.

Kepala Dinas Kesehatan Aceh Tamiang Mustaqim menjelaskan banjir juga berdampak langsung pada 1.232 tenaga kesehatan. Dalam kondisi tersebut, mereka membuka akses bantuan dari luar daerah untuk mendirikan posko kesehatan di titik-titik pengungsian. Ada dua wilayah yang paling terisolasi dari akses layanan kesehatan, yaitu Kecamatan Bandar Pusaka dan Bandar Mulia.

“Kami pelan-pelan membangunkan posko, mulai dari awalnya 3, kemudian 8, sampai per hari ini jumlahnya sudah menjadi sekitar 64,” kata Mustaqim kepada detikX pada Jumat lalu.

Penyakit terbanyak yang dialami pengungsi adalah infeksi saluran pernapasan akut (ISPA), dermatitis, diare, dan tifus. Selain itu, terdapat pula luka tusuk atau luka robek akibat pecahan kaca dan paku.

Untuk kasus dengan kondisi berat yang membutuhkan perawatan lanjutan, Dinkes Aceh Tamiang menyiapkan layanan triase di beberapa titik. Saat ini tiga titik triase yang beroperasi berada di Klinik Abah, Medical Pengadaian di ujung Jembatan Kuala Simpang, serta Rumah Sakit Umum Daerah.

Dari sisi logistik kesehatan, banjir juga merusak sebagian besar persediaan obat di gudang farmasi. Mustaqim menyebut sekitar 45 persen obat di gudang farmasi Dinkes Aceh Tamiang rusak karena terendam banjir. Akibatnya, stok obat mulai berkurang, sementara kebutuhan pelayanan kesehatan di ratusan titik pengungsian masih berlangsung.

“Jadi bagaimanapun, untuk menyuplai 475 titik pengungsi secara sustainable, kita lakukan pelayanan ini masih membutuhkan bantuan obat-obatan,” kata Mustaqim.

Selain penyakit menular dan luka, ada pengungsi yang menderita penyakit kronis dengan komplikasi yang berpotensi mengancam jiwa. Salah satu kasus yang terjadi adalah penderita diabetes melitus dengan kondisi gula darah tidak terkontrol.

“Penderita diabetes melitus yang ternyata uncontrolled penggunaan obat yang sehingga mengakibatkan dia mengalami proses hipoglikemia yang perlu rawat yang lanjut secepatnya dan ditambah dengan kondisi-kondisi yang sudah mengakibatkan abses,” jelasnya.

Kebutuhan paling mendesak saat ini adalah tenaga relawan, baik untuk pelayanan kesehatan maupun rehabilitasi puskesmas yang rusak. Sebab, hingga saat ini masih ada 12 puskesmas yang belum dilakukan proses pembersihan pascabanjir.

Juru bicara Kementerian Kesehatan, Aji Muhawarman, mengatakan saat ini operasi perbantuan kesehatan banyak difokuskan di Aceh. Sebab, banyak fasilitas kesehatan yang masih lumpuh akibat banjir bandang. Sementara itu, di daerah lain, seperti Sumatera Utara dan Sumatera Barat, fasilitas pelayanan kesehatan relatif sudah dapat beroperasi.

Kemenkes juga mengerahkan dokter umum, perawat, tenaga kesehatan dari berbagai bidang, hingga mahasiswa Poltekkes di wilayah Sumatera.

“Kemudian dokter spesialis juga dibutuhkan. Misalnya dokter spesialis tertentu. Ada juga kasus patah tulang sehingga butuh ortopedi. Penyakit dalam juga, terutama untuk penyakit kronis, itu juga dibutuhkan,” ujar Aji kepada detikX.

Kerusakan alat kesehatan menjadi tantangan lain. Banyak peralatan medis bernilai tinggi rusak akibat banjir.

“Alat-alat mahal itu rusak. Akhirnya kami kirim tenaga elektromedis untuk mengecek dan memperbaiki. Sebagian besar, alhamdulillah, bisa diperbaiki. Sebagian lagi masih dalam proses perbaikan,” katanya.

Dari sisi logistik, Kemenkes menyalurkan obat-obatan, vaksin, bahan medis habis pakai (BMHP), serta pemberian makanan tambahan (PMT) bagi kelompok rentan. Selain kebutuhan medis, perangkat Starlink juga dikirim ke sejumlah titik untuk mendukung komunikasi dan koordinasi darurat, khususnya di Pusat Operasi Darurat Kesehatan (HEOC) yang didirikan di provinsi terdampak.

“Lingkungan belum bersih, air bersih juga kurang. Air matang untuk konsumsi, untuk makan (kurang), itu berisiko. Belum lagi potensi leptospirosis. Jangan sampai ini menjadi wabah,” ujarnya.

Berdasarkan data Kemenkes per 14 Desember, setidaknya ada 454 tenaga kesehatan yang diterjunkan untuk perbantuan di Aceh. Tenaga kesehatan itu berasal dari berbagai lembaga, paling banyak dari Poltekkes Aceh, sebanyak 140 orang.

Dokter yang Terjebak di Daerah Terisolasi
Banjir dan longsor memutus total akses menuju Kecamatan Parmonangan, wilayah terpencil dengan jalan utama bertebing curam di Kabupaten Tapanuli Utara. Longsor terjadi di banyak titik, membuat desa-desa terisolasi dan menelan korban jiwa. Dokter umum Puskesmas Parmonangan Kabupaten, Nicolaus Simangunsong, menjadi salah satu tenaga kesehatan yang terjebak di sana.

Warga Tarutung berusia 27 tahun itu bertugas di Puskesmas Parmonangan melalui program Penugasan Khusus Nusantara Sehat Kementerian Kesehatan. Jarak tempat tinggalnya dengan lokasi tugas mencapai sekitar 60 kilometer.

Menurut Nicolaus, sejak 26 November akses jalan terputus total, terutama menuju Desa Manalu dan Desa Pertengahan. Pada saat bersamaan ia juga menerima kabar adanya korban yang terjebak longsor di sekitar DAS Pertengahan dan Pembangkit Listrik Tenaga Mikrohidro (PLTM) Tamaris. Namun ia dan tim tidak dapat keluar dari area puskesmas karena kondisi jalan yang sangat berisiko.

“Sudah kami coba juga bahkan dengan meninggalkan sepeda motor di tengah jalan dan berjalan kaki juga nggak… nggak bakal bisa lewat,” kata Nicolaus kepada detikX.

Nicolaus terjebak di Puskesmas Parmonangan selama dua hari, 26-27 November. Dalam kondisi terisolasi, pasokan logistik menjadi masalah serius. Persediaan makanan yang biasa dibeli pada hari pasar tak bisa diperoleh karena jalur distribusi terputus. Akhirnya ia dan rekan-rekannya bertahan dengan stok seadanya.

“Di belakang rumah dinas itu kan ada ubi, tuh. Ubi itu kemarin kami rebus, kami makan,” katanya.

Kondisi makin sulit karena listrik dan komunikasi lumpuh. Tiang-tiang listrik roboh akibat longsor. Sinyal telepon dan internet praktis tak ada. Akibatnya, informasi korban pun menyebar sangat lambat.

“Sampai sekarang di sana Telkomsel panggilan keluar pun nggak bisa. Nggak ada sinyal,” ungkapnya.

Upaya keluar dari isolasi dilakukan dengan menyusuri jalur alternatif. Bersama pegawai puskesmas dan warga setempat, Nicolaus mencoba tiga jalur berbeda, tetapi semuanya gagal ditembus. Longsor menutup jalan dengan material tanah dan lumpur tebal.

“Kalau dari puskesmas sampai ke keluar dari puskesmasnya, dari jalur utamanya itu aja lebih dari 20 titik longsor jalan. Hampir setiap 100 meter jalannya ada yang termakan setengah, ada yang bawahnya bolong, ada yang tanahnya nutupin," ucapnya.

“Padahal kami harusnya yang ngasih bantuan. Justru kami yang jadi nggak bisa ke mana-mana, yang terjebak,” sambung Nicolas.

 

Di Desa Pertengahan, longsor menimbun permukiman warga. Tujuh orang tertimbun, enam di antaranya ditemukan dalam kondisi meninggal dunia. Proses pencarian dilakukan secara mandiri oleh warga karena tim SAR tidak dapat menjangkau lokasi.

“Yang ditemukan enam (meninggal dunia). Yang terakhir bayi itu, balita nggak ketemu,” kata Nicolaus.

Sementara itu, di sekitar PLTM Tamaris, lima orang dilaporkan hilang. Empat korban ditemukan meninggal dunia, satu lainnya tidak ditemukan hingga pencarian dihentikan. “Sampai sekarang tak ditemukan juga dan sudah dihentikan pencariannya,” ujarnya.

Bantuan dari pemerintah daerah dan berbagai pihak sebenarnya sudah tersedia. Namun distribusi menjadi persoalan besar. Bantuan menumpuk di Kantor Kecamatan Parmonangan karena akses ke desa-desa terputus. Pengiriman lewat darat gagal, sementara pengiriman lewat udara menghadapi kendala.

Meski demikian, bantuan terus diganti dan diupayakan masuk. Setelah jalur pejalan kaki bisa dilewati, warga dan pemuda setempat mengangkut bantuan dengan berjalan kaki hingga 20 kilogram per orang.

Dokter umum Puskesmas Hutabalang, dr Putri Ayu Suciati, sehari-hari bertugas di Puskesmas Hutabalang, Tapanuli Tengah, meski berdomisili di Kota Padangsidimpuan. Jarak tempuh normal menuju tempat kerjanya sekitar 66 kilometer dengan waktu hampir dua jam perjalanan. Namun, setelah bencana, jalur utama yang biasa ia lalui terputus total.

“Terputus. Sampai sekarang juga masih terputus yang jalur utama saya biasa lewat,” ungkapnya kata Putri detikX.

Putusnya jembatan penghubung antara Tapanuli Selatan dan Tapanuli Tengah membuat Putri tak dapat bertugas selama beberapa waktu. Ia juga sempat kehilangan kontak dengan rekan-rekannya di puskesmas karena listrik dan jaringan mati hampir satu minggu. Komunikasi baru kembali terjalin setelah puskesmas mengakses jaringan Starlink.

Meski berada dekat dengan wilayah terdampak parah, Putri menyebut kondisi Puskesmas Hutabalang relatif aman. Menurutnya, yang paling terdampak justru Desa Lopian, sekitar 500 meter dari puskesmas. Lumpur masih mengendap di rumah-rumah warga.

Di tengah keterbatasan akses, Putri memutuskan bergabung sebagai relawan bersama komunitas Tabagsel Share. Dorongan itu muncul setelah ia melihat dampak bencana di wilayah tempatnya bekerja.

“Saya juga merasa sedih melihat masyarakat Tapsel dan Tapteng yang terdampak bencana. Setiap harinya jalanan yang saya lalui itu nggak pernah terpikirkan oleh saya itu akan lenyap,” katanya.

Ia berangkat bersama 23 relawan pada 5 Desember 2024, menyasar Kecamatan Badiri dan Kecamatan Tukka. Bantuan pertama disalurkan ke Desa Lopian, lalu ke Desa Sipange di Kecamatan Tukka.

Di Desa Sipange, Putri menemukan kondisi layanan kesehatan yang jauh lebih terbatas. Tidak ada posko kesehatan, sementara warga kesulitan menjangkau puskesmas akibat genangan air dan jalan berlumpur.

“Pasien-pasien yang saya periksa itu kebetulan ada satu pasien bapak-bapak yang saya periksa itu memang sebelumnya menderita hipertensi,” ujarnya.

Pria tersebut belum berobat sejak bencana karena akses sulit. Saat diperiksa, tekanan darah pasien mencapai 160.

“Jadi, bapaknya cerita dia cuma mengantongi bawang putih untuk mengatasi darah tingginya,” kata Putri.

Distribusi bantuan pun sempat menghadapi hambatan. Tim relawan harus menghentikan penyaluran karena air kembali naik.

“Kami cuma mendistribusikan bantuannya ke Lingkungan Lima. Itu sebelum pusat kecamatannya. Warga harus mengambil bantuan dengan berjalan kaki atau menggunakan sepeda motor,” kata Putri.

Perjalanan putri dan timnya memang tak mulus dan penuh tantangan, terutama saat pulang. Genangan air yang awalnya setinggi lutut naik hingga sepinggang. Mobil mogok, ban bocor, dan jalur longsor memaksa rombongan menunggu dan bergantian melintasi tanjakan berlumpur. Total perjalanan pulang memakan waktu sekitar 10 jam.

“Saya benar-benar sangat merasa sedih, dan berharap ada banyak pihak dari pemerintah ataupun swasta, mudah-mudahan bisa lebih banyak membantu warga yang terdampak bencana,” ujarnya.

Dokter Berjibaku di Tengah Bencana
Di tengah dampak banjir yang melanda Aceh Tamiang dan wilayah sekitarnya, dokter relawan Ilham Syahputra bergerak secara mandiri untuk membantu pelayanan kesehatan warga terdampak. Dokter berusia 27 tahun ini mulai berada di Kabupaten Langkat, Sumatera Utara, sejak 2 Desember 2025, lalu melanjutkan kegiatan relawannya ke Aceh Tamiang sejak 5 Desember 2025.

Ilham merupakan lulusan Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara (FKIK UMSU). Ia pernah menjalani internship di RSIJ Cempaka Putih, Jakarta, selama setahun, kemudian bekerja di RS Columbia Asia Medan. Saat ini, Ilham memilih resign untuk merawat ayahnya yang mengalami stroke, sembari membuat konten edukasi kesehatan di media sosial melalui akun Instagram @dr.ilhamsyhputra.

“Untuk saat ini kami ada posko penyelesaian dan juga kalau untuk titik mana saja, kalau saya itu mobile ketika ada panggilan. Kan saya ada media sosial, ketika ada mereka yang DM, sebisa mungkin kalau ada akses, saya pergi ke sana. Seperti itu,” kata Ilham.

Dalam beberapa hari terakhir, jumlah warga yang ditangani cukup signifikan. Di satu posko saja, jumlah pasien telah menembus ratusan orang. Penyakit kulit menjadi keluhan dominan.

“ISPA dikarenakan ketika, ini kan lumpur banyak, terus siang airnya panas, jadi debu-debunya bertebaran di mana-mana. Juga diare karena sebelumnya kan belum masuk air bersih, jadi mereka masih air-air yang kotor, air yang nggak bersih, gitu,” kata Ilham kepada detikX.

Menurut Ilham, masih terdapat wilayah yang belum terjangkau akibat keterbatasan akses. Untuk itu, dibutuhkan tambahan tenaga medis agar menjangkau pelayanan di area terisolasi.

“Sebenarnya kendala paling utama adalah minimnya informasi. Minimnya informasi yang kami dapatkan karena kan akses jaringan juga susah, dan juga akses jalan tidak semua bisa dilalui,” ujarnya.

Kelompok rentan juga menjadi perhatian khusus dalam pelayanan kesehatan di lokasi bencana. Ilham menyoroti kondisi anak-anak dan lansia yang membutuhkan asupan gizi dan pemantauan ketat.

“Nah, tapi masalahnya adalah susu ini kan tidak boleh dicampur dengan air sembarangan seperti yang IDAI katakan karena, kalau dicampur dengan air sembarangan, anaknya makin jelek nanti kondisinya,” sambungnya.


Reporter: Ahmad Thovan Sugandi, Ani Mardatila, Fajar Yusuf Rasdianto, Decylia Eghline Kalangit (magang), David Kristian Irawan (magang)
Penulis:Ahmad Thovan Sugandi
Editor: Dieqy Hasbi Widhana
Desainer: Fuad Hasim

***Komentar***
[Widget:Baca Juga]
SHARE