Kenapa Trump Gunakan Tarif Ketimbang Sanksi Ekonomi?

Deutsche Welle (DW) - detikNews
Rabu, 23 Jul 2025 10:25 WIB
Presiden AS Donald Trump (Foto: Andrew Caballero-Reynolds/AFP/Getty Images)
Jakarta -

Presiden AS Donald Trump mengandalkan tarif, alih-alih sanksi sebagai alat utama untuk melindungi kepentingan nasional Amerika Serikat. Pendekatan ini oleh sebagian pihak dinilai sebagai "pertaruhan terburuk dunia", namun juga dipandang sebagai "sumber tekanan yang terbukti ampuh".

Tarif pada dasarnya adalah pajak atas impor untuk melindungi industri domestik, sedangkan sanksi merupakan hukuman terhadap negara lain, untuk mempengaruhi atau menghukum pemerintah mereka, biasanya dengan membatasi perdagangan atau pembiayaan.

Sejak kembali ke Gedung Putih pada Januari, kebijakan tarif oleh Trump telah menciptakan ketidakpastian besar di kalangan pelaku usaha AS dan mitra dagang global. Pola yang kemudian dikenal sebagai "tariff tango" — janji tarif tinggi yang diikuti pembatalan mendadak — mencerminkan fleksibilitas sikap Trump untuk menyesuaikan dengan tujuan politik atau ekonomi yang berubah-ubah.

Namun, pasar keuangan tetap gelisah, tanpa tahu kapan dan bagaimana tarif berikutnya akan diberlakukan.

Pada April silam, tarif terhadap China mencapai rekor tertinggi sebesar 145%, sebelum dipangkas secara signifikan bulan berikutnya usai pembicaraan dagang di London. Lonjakan dan penurunan tajam ini menunjukkan bagaimana Trump menggunakan tarif sebagai alat yang fleksibel, untuk menangani apa yang dianggapnya sebagai "ketidakadilan perdagangan."

"Pandangan presiden dibentuk oleh kebangkitan cepat Jepang pada 1980-an, dan perasaan bahwa Jepang mengalahkan industri mobil ikonik Amerika, karena AS terlalu murah hati dalam kebijakan perdagangannya," kata Jennifer Burns, profesor sejarah di Universitas Stanford kepada DW.

Cara Trump melihat Tarif

Tarif adalah senjata pilihan Trump untuk mengatasi defisit perdagangan besar AS, terutama dengan Cina, yang pada 2024 mencapai $295 miliar, menurut Biro Sensus AS.

Pendekatan ini juga sejalan dengan agenda "America First" untuk melindungi industri domestik dan memaksa perusahaan asing membuka lapangan kerja di dalam negeri.

Gedung Putih berdalih, tarif dapat diberlakukan secara cepat dan, berbeda dengan sanksi, tidak sepenuhnya menutup akses pasar luar negeri bagi perusahaan AS.

"Trump bisa memperkuat tekanan kapan pun dia mau, dan mencabutnya kembali ketika pasar mulai panik atau saat tidak lagi menguntungkan," kata Sophia Busch, wakil direktur Geoeconomic Centre di think tank Atlantic Council kepada DW. "Ini jauh lebih mudah dilakukan dengan tarif daripada sanksi."

Meski tarif banyak dikritik karena berpotensi memicu inflasi, tarif juga menghasilkan pendapatan bagi Departemen Keuangan AS - tidak seperti sanksi. Pendapatan dari tarif naik 110% menjadi $97,3 miliar pada paruh pertama tahun ini, dibandingkan periode yang sama tahun lalu. Menurut Urban-Brookings Tax Policy Center, tarif diperkirakan akan menghasilkan $360 miliar tahun depan.

Tarif memberi Trump kendali langsung dan sepihak, melalui perintah eksekutif tanpa perlu persetujuan Kongres. Sebaliknya, sanksi biasanya memerlukan kerangka hukum yang kompleks, dan kerja sama dengan mitra internasional seperti Uni Eropa.

Preferensi terhadap tarif, mencerminkan keinginan Trump untuk membukukan keberhasilan ekonomi yang cepat, dan terlihat, namun juga menimbulkan kekhawatiran atas dampak destabilisasi terhadap perdamaian dan perdagangan global.

"Alasan tarif memiliki reputasi buruk adalah karena sering dikaitkan dengan periode deglobalisasi, dan dalam abad ke-20, tarif juga terkait dengan konflik bersenjata," ujar Burns. "Jika tarif rendah dan pasar terbuka membuat negara-negara saling terhubung dan mencegah perang, apakah kita sekarang bergerak menjauhi hal itu?"

Trump samarkan batas antara tarif dan sanksi

"Sanksi lebih ditujukan untuk menghukum negara atas pelanggaran norma internasional," ujar Jennifer Burns. "Sanksi adalah respons terhadap tindakan spesifik, dan jika tindakan itu berhenti, sanksi bisa dicabut."

Namun, kebijakan Trump di masa jabatan keduanya menunjukkan, dia menggunakan tarif untuk mencapai tujuan yang biasanya dicapai melalui sanksi. Misalnya, dia memberi tekanan terhadap Kanada, Meksiko, dan China dalam isu nonperdagangan, seperti imigrasi dan perdagangan narkoba. Hal ini telah memicu langkah balasan dan meningkatnya ketegangan perdagangan global.

Kolombia, misalnya, diancam tarif setelah menolak menerima penerbangan deportasi AS. Sementara itu, ancaman tarif terhadap Uni Eropa, sebagian besar dipicu oleh aturan perlindungan privasi dan kebijakan iklim Eropa.

Awal bulan ini, Trump mengancam tarif 50% atas impor dari Brasil, sebagai bentuk balasan terhadap proses hukum terhadap mantan Presiden Brasil Jair Bolsonaro, sekutu dekat Trump. Politikus sayap kanan itu menghadapi dakwaan atas dugaan rencana kudeta pasca kekalahan pemilu 2022, termasuk rencana pembunuhan terhadap lawan politik.

Menyoroti ketidakpastian yang ditimbulkan oleh kebijakan tarif Trump, Burns memperingatkan, "bertahun-tahun ketidakpastian tarif" bisa menyebabkan "perlambatan ekonomi serius karena pelaku usaha dan investor menunggu kondisi yang lebih dapat diprediksi."

Pelanggan energi Rusia dihantui sanksi sekunder

AS sejak lama punya tradisi memberi sanksi daripada kenaikan tarif, sebagai alat untuk menekan negara-negara pembangkang. Sejak invasi besar-besaran Rusia ke Ukraina pada Februari 2022, AS telah menjatuhkan lebih dari 2.500 sanksi terhadap Rusia, mencakup individu, entitas, pengiriman, dan pesawat.

AS juga telah menjatuhkan sanksi terhadap Venezuela, Iran, dan Korea Utara.

"Negara-negara ini bukan mitra dagang utama AS," kata Busch dari Atlantic Council, menambahkan bahwa tarif Trump terhadap "mitra dagang utama AS" justru "lebih mengancam secara ekonomi di dalam negeri."

Baru-baru ini, Trump menyatakan akan bersikap lebih terbuka terhadap penggunaan sanksi. Merujuk pada rancangan undang-undang yang diusulkan Senator Lindsey Graham untuk menjatuhkan hukuman tambahan terhadap Rusia bila gagal berunding damai dengan itikad baik, Trump mengatakan dia "sangat mempertimbangkan" sanksi baru.

Jika disahkan, Undang-undang Sanksi Rusia 2025 akan menargetkan pejabat tinggi dan oligarki Rusia, institusi keuangan, serta sektor energi, dengan tujuan membatasi ekspor minyak dan gas Rusia.

RUU bipartisan ini juga mengusulkan sanksi sekunder terhadap negara dan perusahaan asing yang membeli energi dari Rusia — yang oleh Trump disebut "tarif sekunder" hingga 500%.

Langkah serupa telah diterapkan pada pembeli minyak Venezuela, dengan tarif sekunder 25% yang mulai berlaku pada Maret. Tarif ini dirancang untuk menekan importir energi, agar sejalan dengan kebijakan luar negeri AS, peran yang biasanya dimainkan oleh sanksi.

Sanksi sekunder biasanya mencakup pelarangan transaksi, pembekuan aset, dan pembatasan perbankan. Ancaman tuntutan pidana dan larangan bepergian juga sering digunakan.

Artikel ini pertama kali terbit dalam Bahasa Jerman

Diadaptasi oleh Rizki Nugraha

Editor: Agus Setiawan

Lihat juga Video: Pengamat Soroti Kebijakan Tarif Trump 19% ke Bisnis Digital

width="1" height="1" />




(ita/ita)
Berita Terkait
Berita detikcom Lainnya
Berita Terpopuler

Video

Foto

detikNetwork