"Itu masalah khilafiyah. Kalau masalah khilafiyah banyak jalan keluarnya tergantung illat (akibatnya)," kata Ketua PBNU Said Agil Siradj kepada detikcom, Jumat (11/4/2008).
Menurut Said, fatwa minuman beralkohol ini harus dipahami secara komprehensif, termasuk pemahaman yang utuh terhadap figur Syekh Yusuf Qardhawi sebagai penganut mazab Imam Hanafi, yang mengedepankan kelonggaran dalam urusan pribadi.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Said mencontohkan dalam mazab Hanafi untuk masalah zakat, semua hasil bumi termasuk bayam harus dizakati. "Berbeda dengan Syafii yang hanya makanan pokok yang harus dizakati," kata Said.
Selain itu dalam zakat maal, Hanafi sangat ketat. Setiap pendapatan harus dizakati langsung. "Kalau saya mendapatkan amplop Rp 10 juta saat itu harus keluar zakatnya. Berbeda dengan Syafii yang harus menunggu satu tahun (haulan)," imbuh dia.
Menurut Said, masyarakat tidak usah terlalu bingung soal ini, kembalikan saja kepada illatnya.
"Kalau tidak memabukkan, ya tidak apa-apa. Kecuali sesuatu yang sudah qoth'i (sesuatu yang sudah pasti hukumnya dalam Al quran dan hadist) atas keharamannya seperti khamar, babi. Mau diapakan pun tetap saja haram," imbuh dia.
Said menjelaskan pada tahun 1960-an NU pernah memutuskan bir yang biasa itu halal. Namun dia lupa ketentuan bir yang halal itu berapa kadar alkoholnya.
"NU saja dulu pernah memutuskan bahwa bir itu halal tapi bukan bir hitam. Kalau itu sih haram karena banyak alkoholnya. Intinya kalau tidak memabukkan ya tidak apa-apa, karena illat haramnya khamar itu memabukkan," pungkas dia. (mly/nrl)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini