×
Ad

Badan Pengkajian MPR Gelar FGD, Soroti Kondisi Demokrasi Indonesia

Diffa Rezy - detikNews
Kamis, 04 Des 2025 16:49 WIB
Foto: Dok. MPR RI
Jakarta -

Kelompok I Badan Pengkajian MPR RI menyelenggarakan Focus Group Discussion (FGD) bertema 'Kedaulatan Rakyat Perspektif Demokrasi Pancasila'. Kegiatan ini menjadi bagian dari rangkaian pendalaman kajian mengenai kualitas demokrasi dan arah sistem ketatanegaraan Indonesia.

Dipimpin oleh Ketua Kelompok I Badan Pengkajian MPR RI Prof. Dr. Yasonna H. Laoly, S.H., M.Sc., Ph.D, kegiatan tersebut menghadirkan tiga narasumber, yakni Pakar Ahli Ilmu Politik Fisip UIN Jakarta dan Pendiri Indikator Politik Indonesia Prof. Burhanuddin Muhtadi, M.A., Ph.D., Pakar Ahli Hukum Tata Negara FH Universitas Indonesia Mohammad Novrizal, S.H., LL.M., Ph.D, dan Pakar Human Studies di Universitas Islam 45 Bekasi, Dr. Rasminto.

Dalam kesempatan itu, Yasonna menerangkan FGD ini berfokus pada penilaian para pakar mengenai kondisi demokrasi Indonesia. Ia menilai kualitas demokrasi nasional menunjukkan tren penurunan yang dilatarbelakangi oleh hasil riset, survei, dan dinamika politik dalam beberapa tahun terakhir.

Menurutnya, penurunan kualitas demokrasi ini berkaitan dengan persoalan rekrutmen politik dalam pemilu, baik pemilihan presiden, kepala daerah, maupun legislatif.

"Maka kita berharap kita harus mencari format yang betul-betul baik untuk proses demokrasi kita. Karena ini dalam perangkat rekrutmen politik ya," ujarnya dalam keterangan tertulis, Kamis (4/12/2025).

Ia menambahkan, kebebasan berpendapat yang tetap berada dalam koridor undang-undang dan mekanisme check and balances antara parlemen dengan pemerintah harus diperkuat.

"Semakin kuat check and balances dalam sistem pemerintahan, semakin baik pula kualitas demokrasi dan pembangunan ekonomi," sambungnya.

Ia juga menyoroti masyarakat yang kini cenderung lebih didengar ketika keluhan mereka viral.

"Hal ini perlu dikelola dengan baik agar dapat menjadi masukan langsung bagi DPR maupun pemerintah," katanya.

Selain itu, dalam FGD ini juga dibahas mengenai perlunya kajian mendalam terhadap sistem ketatanegaraan, termasuk evaluasi UUD 1945. Yasonna menekankan bahwa setelah lima kali pemilu pasca reformasi, demokrasi Indonesia seharusnya semakin matang secara prosedural dan substantif, namun, fakta di lapangan menunjukan bahwa perlu adanya koreksi dan penguatan kembali.

Sementara itu, Burhanuddin menilai kualitas demokrasi di Indonesia telah menurun secara signifikan dalam beberapa tahun terakhir. Ia mengutip data dari berbagai lembaga pemeringkat global, seperti Freedom House, The Economist Intelligence Unit, dan V-Dem, yang menempatkan Indonesia pada kategori electoral autocracy, mencatat penurunan paling tajam sejak era reformasi.

"Pada masa Presiden SBY kita sempat berada pada level demokrasi yang tinggi. Masa Presiden Jokowi mengalami penurunan, dan dalam setahun terakhir drop lebih dalam lagi," jelasnya.

Ia menilai penyebab kemunduran tersebut bukan hanya budaya politik, melainkan melemahnya prinsip checks and balances. Menurutnya, akuntabilitas horizontal antar lembaga negara kini berkurang jauh.

"Dulu klarifikasi bisa diminta berhari-hari, sekarang sulit. Ada masalah dalam mekanisme saling menasihati antar-lembaga," imbuhnya.

Burhanuddin juga menguraikan sejumlah kritik akademik terhadap konsep demokrasi Pancasila. Ia menganggap model ini terlalu kabur, elastis, dan tidak memiliki definisi operasional yang jelas, sehingga mudah ditafsirkan sesuai kepentingan pemerintah.

"Nilai-nilai seperti musyawarah, hikmat kebijaksanaan, atau keadilan sosial bisa ditafsirkan sesuai selera pemimpin. Pada masa Orde Lama hingga Orde Baru, Pancasila kerap dijadikan palu godam ideologis," katanya.

Lebih lanjut, ia menyinggung penelitian berbagai ahli nasional dan internasional yang menyebut demokrasi Pancasila cenderung menekan oposisi, menghambat kompetisi politik, hingga terlalu mengutamakan harmoni yang rentan mengorbankan kelompok minoritas.

Burhanuddin pun menegaskan pentingnya menjaga checks and balances serta menghormati kedaulatan rakyat sesuai amanat UUD 1945. Diskusi mengenai demokrasi Pancasila juga harus dilandasi perspektif akademik yang kritis sekaligus memahami dinamika realitas politik di lapangan.

Narasumber lain, Novrizal, menegaskan bahwa penguatan demokrasi Indonesia hanya dapat dicapai apabila negara memberi ruang bagi partisipasi publik yang bermakna (Meaningful Participation). Menurutnya, selama ini demokrasi di Indonesia hanya berpusat pada mekanisme prosedural semata, seperti pemilu dan sistem keterwakilan formal.

"Dengan kondisi yang ada sekarang saya lihat memang kalau kita cuman prosedural ya sudah hasilnya seperti ini gitu padahal sebetulnya kalau demokrasi itu benar-benar diniatkan untuk kesejahteraan rakyat, untuk kemaslahatan semua rakyat," tuturnya.

Ia menegaskan pentingnya penerapan prinsip meaningful participation sebagaimana ditegaskan Mahkamah Konstitusi. Prinsip itu menjamin setiap pihak memiliki hak untuk didengar, dipertimbangkan, serta memperoleh penjelasan yang layak dalam proses penyusunan undang-undang.

Senada, Rasminto menjelaskan bahwa amandemen UUD 1945 pada periode 1999-2002 sejatinya bertujuan untuk memperkuat demokrasi, menjamin HAM, dan memisahkan kekuasaan. Namun, ia menilai tujuan tersebut belum sepenuhnya terwujud karena masih ditemui persoalan substansial dalam praktik ketatanegaraan maupun penerapan hukum.

Ia juga mencatat, sepanjang 2019-2025 terdapat 125 permohonan judicial review terhadap undang-undang, dengan jumlah terbesar berkaitan dengan omnibus law.

"Ini menunjukkan betapa persoalan regulatif kita sangat kompleks dan cenderung membuka ruang instabilitas," ucapnya.

Kesenjangan literasi politik di masyarakat pun dinilai masih menjadi persoalan. Menurutnya, hal ini dapat diatasi dengan memperkuat bab kedaulatan rakyat dalam UUD 1945, sehingga demokrasi Pancasila benar-benar menempatkan rakyat sebagai pusat tata kelola pemerintahan.

Rasminto pun menilai pembenahan sistem pemilu dan partai politik juga perlu dilakukan, khususnya untuk mencapai keseimbangan antara tingkat keterwakilan dan stabilitas pemerintahan. Transparansi serta akuntabilitas pendanaan politik turut ditekankan agar tidak memberi ruang bagi praktik oligarki.

"Tujuan utama bernegara adalah memakmurkan rakyat. Maka konstitusi harus memastikan negara berjalan secara simetris, adil, dan tidak elitis," pungkasnya.

Dengan berbagai masukan pandangan tersebut, FGD ini diharapkan dapat memperkaya proses perumusan strategis mengenai arah ketatanegaraan Indonesia ke depan. Seluruh pandangan tersebut akan menjadi bahan penting bagi MPR RI untuk memperkuat kualitas demokrasi, memastikan kedaulatan rakyat hadir, serta mendorong sistem politik yang lebih inklusif dan akuntabel.

Tonton juga video "Ketua MPR soal Kayu-kayu di Banjir Sumatera: Ditebang, Bukan Roboh"




(anl/ega)
Berita Terkait
Berita detikcom Lainnya
Berita Terpopuler

Video

Foto

detikNetwork