Sama-sama Hakim Terdakwa Suap tapi Beda Sikap soal Vonis Ringan

Sama-sama Hakim Terdakwa Suap tapi Beda Sikap soal Vonis Ringan

Tim detikcom - detikNews
Rabu, 19 Nov 2025 23:27 WIB
Mantan hakim nonaktif Djuyamto menjalani sidang perdana kasus dugaan korupsi di Pengadilan Tipikor Jakarta, Kamis (21/8/2025). Ia didakwa menerima suap Rp9,5 miliar terkait perkara ekspor minyak goreng.
Hakim terdakwa kasus vonis lepas perkara migor (Foto: Ari Saputra/detikcom)
Jakarta -

Mantan Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel) Muhammad Arif Nuryanta dan hakim Djuyamto menjadi terdakwa kasus suap vonis lepas perkara minyak goreng (migor). Keduanya beda sikap soal vonis ringan.

Dalam duplik yang dibacakan kuasa hukum Arif Nuryanta, Philipus Harapanta Sitepu, menilai eks panitera muda perdata PN Jakarta Utara Wahyu Gunawan-lah yang aktif dalam pengurusan perkara ini.

"Terbukti Saksi Immanuel alias Oki, yang merupakan sopir terdakwa Muhammad Arif Nuryanta, pernah menerangkan bahwa yang secara aktif mengajak dan menginginkan adanya pertemuan untuk melakukan pembicaraan terhadap perkara CPO minyak goreng ini adalah Saksi Wahyu Gunawan," kata kuasa hukum Arif Nuryanta, Philipus Harapanta Sitepu, saat membacakan duplik di Pengadilan Tipikor Jakarta, Rabu (19/11/2025).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Selanjutnya, Saksi Wahyu Gunawan juga yang aktif menghubungi dan bertemu dengan Saksi Ariyanto Bakri dan juga Saksi Djuyamto, dengan maksud untuk pengurusan perkara," tambahnya.

ADVERTISEMENT

Dia mengatakan penerimaan pertama yang diterima Arif sejumlah Rp 5 miliar, bukan Rp 8 miliar. Dia mengatakan hal itu dibuktikan dengan keterangan Wahyu di persidangan.

"Bahwa Saksi Wahyu Gunawan diperiksa di muka persidangan di bawah sumpah menerangkan bahwa yang diserahkan kepada Terdakwa Muhammad Arif Nuryanta adalah senilai Rp 5 miliar dan sebagainya. Keterangan Saksi Wahyu Gunawan tersebut bersesuaian dengan keterangan Saksi Djuyamto, Saksi Agam, Saksi Ali Muhtarom dan keterangan Terdakwa yang menyatakan benar, yang ada dalam amplop cokelat tersebut berjumlah Rp 5 miliar," ujarnya.

Dia juga membandingkan tuntutan pidana antara Arif dan perkara suap vonis bebas Gregorius Ronald Tannur dengan terdakwa eks Ketua PN Surabaya, Rudi Suparmono. Dia mengatakan tuntutan pidana Arif lebih tinggi, padahal jumlah uang yang diterima Rudi jauh lebih besar.

Penampakan hakim Arif Nuryanta tersangka suap Rp 60 miliar pakai kaus saat ditangkap Kejaksaan Agung. (Dok Kejaksaan Agung).Foto: Penampakan hakim Arif Nuryanta tersangka suap Rp 60 miliar pakai kaus saat ditangkap Kejaksaan Agung. (Dok Kejaksaan Agung).

"Tuntutan pidana dalam perkara Muhammad Arif yaitu 15 tahun pidana penjara, sedangkan tuntutan pidana dalam perkara Rudi Suparmono 7 tahun pidana penjara. Jumlah uang yang diterima oleh Terdakwa Muhammad Arif Nuryanta, yaitu Rp 8,8 miliar, sedangkan uang yang diterima oleh Rudi Suparmono yaitu Rp 21 miliar," ucapnya.

Dia memohon majelis hakim menerima seluruh nota pembelaan yang disampaikan dan menyatakan Arif lebih tepat dijerat dengan Pasal 5 ayat 2 UU Tipikor. Dia juga memohon pengembalian seluruh uang yang diterima Arif sebagai pertimbangan hal meringankan hukuman.

"(Memohon majelis hakim) menyatakan Terdakwa telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi sebagaimana yang diatur dan diancam pidana dalam Pasal 5 ayat 2 UU Tipikor. Menyatakan Terdakwa tidak dikenakan uang pengganti karena telah mengembalikan seluruh uang hasil tindak pidana korupsi dalam perkara a quo," pintanya.

"Menyatakan pengembalian uang hasil tindak pidana korupsi kepada negara menjadi hal-hal yang meringankan hukuman terhadap Terdakwa," tambahnya.

Dia juga meminta pengembalian sejumlah barang yang disita penyidik berupa ponsel dan buku rekening Arif. Dia memohon hakim mempertimbangkan sikap kooperatif dan pengabdian Arif selama 25 tahun sebagai pertimbangan penjatuhan hukuman.

"Menyatakan sikap kooperatif, rasa bersalah, dan permintaan maaf Terdakwa, serta memperhitungkan pengabdian Terdakwa selama mengabdi menjadi hakim 25 tahun dijadikan dasar hal-hal yang meringankan hukuman terhadap Terdakwa. Menjatuhkan hukuman yang seringan-ringannya serta berkeadilan dan berkemanusiaan terhadap Terdakwa," pintanya.

Dalam perkara ini, Arif Nuryanta dituntut 15 tahun penjara, denda Rp 500 juta subsider 6 bulan kurungan, serta uang pengganti Rp 15,7 miliar subsider 6 tahun penjara.

Djuyamto Tak Minta Vonis Ringan

Sementara itu, Djuyamto mengaku tak meminta divonis seringan-ringannya dalam perkara tersebut. Djuyamto meminta divonis seadil-adilnya.

"Saya selaku terdakwa sebagaimana pleidoi terdahulu tidak meminta hukuman seringan-ringannya. Saya tegas meminta hukuman seadil-adilnya," kata Djuyamto.

Djuyamto meyakini majelis hakim akan menegakkan keadilan. Djuyamto sendiri dituntut hukuman 12 tahun penjara.

Mantan hakim nonaktif Djuyamto menjalani sidang perdana kasus dugaan korupsi di Pengadilan Tipikor Jakarta, Kamis (21/8/2025). Ia didakwa menerima suap Rp9,5 miliar terkait perkara ekspor minyak goreng.Djuyamto menjalani sidang perdana kasus dugaan korupsi di Pengadilan Tipikor Jakarta, Kamis (21/8/2025). Ia didakwa menerima suap Rp9,5 miliar terkait perkara ekspor minyak goreng. Foto: Ari Saputra/detikcom

"Kemudian saya juga mengingatkan bahwa penegakan hukum yang ditugaskan kepada Yang Mulia Majelis Hakim, saya percaya adalah tidak hanya sekadar menegakkan hukum, tapi juga menegakkan keadilan sebagaimana tertuang dalam ketentuan UU Kekuasaan Kehakiman," ujarnya.

Selain tuntutan 12 tahun penjara, Djuyamto dituntut denda Rp 500 juta subsider 6 bulan kurungan serta uang pengganti Rp 9,5 miliar subsider 5 tahun kurungan.

Arif, Djuyamto dan 3 terdakwa lainnya akan menghadapi sidang vonis pada 3 Desember. Mereka yakni hakim Agam Syarief Baharudin, hakim Ali Muhtarom, serta mantan panitera muda pengganti Pengadilan Negeri Jakarta Utara Wahyu Gunawan.

Halaman 4 dari 4
(isa/isa)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads