Detasemen Khusus (Densus) 88 Antiteror Polri memaparkan adanya kenaikan jumlah anak yang terpapar paham radikal jaringan terorisme. Hal itu diduga akibat munculnya fenomena perekrutan kelompok teror melalui game online.
Juru bicara Densus 88 Antiteror, AKBP Mayndra Eka Wardhana, menyebutkan ada 17 anak yang diamankan karena terpapar jaringan teror sepanjang 2011–2017. Namun, pada 2025, jumlah itu naik signifikan.
"Densus 88 menyimpulkan bahwa ada tren yang tidak biasa dari tahun ke tahun, di mana pada tahun 2011–2017 itu Densus 88 mengamankan kurang lebih 17 anak dan ini dilakukan berbagai tindakan, tidak hanya penegakan hukum tetapi juga ada proses pembinaan," kata Mayndra dalam jumpa pers di Mabes Polri, Jakarta Selatan, Selasa (18/11/2025).
"Namun, pada tahun ini, di tahun 2025 sendiri, seperti tadi disampaikan kurang lebih lebih ada 110 yang saat ini sedang teridentifikasi. Jadi artinya kita bisa sama-sama menyimpulkan bahwa ada proses yang sangat masif sekali rekrutmen yang dilakukan melalui media daring," lanjutnya.
Dia mengatakan korban dan pelaku hanya berinteraksi secara online dan tak saling. Densus mencatat ada setidaknya 110 anak berusia 10-18 tahun yang diduga telah terekrut jaringan terorisme. Para korban berasal dari 23 provinsi di Tanah Air, mayoritas dari Jawa Barat dan DKI Jakarta.
"Tadi totalnya ada 23 provinsi yang di dalam provinsi tersebut ada anak-anak yang terverifikasi oleh Densus 88. Tapi bukan berarti provinsi lain aman karena memang penyelidikan masih akan terus dilakukan," jelas dia.
"Provinsi yang di dalamnya paling banyak terpapar anak terhadap paham ini adalah Provinsi Jawa Barat, kemudian Jakarta," sambung Mayndra.
Mayndra menjelaskan, propaganda awal biasanya disebar melalui platform terbuka seperti Facebook, Instagram, dan game online. "Jadi, tentunya yang di platform umum ini akan menyebarkan dulu visi-visi utopia yang mungkin bagi anak-anak itu bisa mewadahi fantasi mereka sehingga mereka tertarik," tutur Mayndra.
"Seperti tadi disebutkan oleh Pak Dirjen dari Komdigi, ada beberapa kegiatan yang dilakukan anak-anak kita ini ya, bermain game online. Nah di situ mereka juga ada sarana komunikasi chat, gitu ya. Ketika di sana terbentuk sebuah komunikasi, lalu mereka dimasukkan kembali ke dalam grup yang lebih khusus, yang lebih terenkripsi, yang lebih tidak bisa terakses oleh umum," terangnya.
(ond/lir)