×
Ad

IPW Ungkit 7 Poin Penting RKUHAP, Desak Segera Disahkan Jadi UU

Ahmad Toriq - detikNews
Senin, 17 Nov 2025 14:35 WIB
Ketua IPW Sugeng Teguh Santoso. (Dok. Istimewa)
Jakarta -

Indonesia Police Watch (IPW) menegaskan DPR dan pemerintah harus segera mengesahkan revisi KUHAP (RKUHAP) sebagai pembaruan hukum acara pidana Indonesia. IPW menyampaikan ada tujuh perubahan penting dalam RKUHAP.

"IPW menyatakan bahwa keberadaan RKUHAP sangat mendesak terutama setelah diberlakukannya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Tanpa hukum acara yang baru, sistem peradilan pidana Indonesia berpotensi menghadapi kekosongan hukum (legal vacuum) yang dapat menghambat implementasi KUHP," kata Ketua IPW Sugeng Teguh Santoso kepada wartawan, Senin (17/11/2025).

Sugeng menilai bahwa KUHAP yang berlaku saat ini sudah berusia lebih dari empat dekade dan belum dirancang untuk menjawab perubahan sosial, kebutuhan perlindungan HAM, maupun perkembangan kejahatan digital. Sehingga IPW menilai perlu pembaruan hukum yang diatur dalam RKUHAP.

"Karena itu, pembaruan melalui RKUHAP dipandang krusial," ujar Sugeng.

Berikut 7 perubahan penting dalam RKUHAP menurut IPW.

1. Penguatan peran advokat sejak tahap penyelidikan. Selama ini, tersangka sering baru mendapatkan pendampingan setelah memasuki proses penyidikan, padahal hak konstitusionalnya dapat terlanggar sejak tindakan penyelidikan dimulai. Reformasi ini merupakan pelaksanaan Putusan Mahkamah Konstitusi No. 22/PUU-XII/2014 yang menegaskan bahwa pendampingan hukum sejak awal merupakan bagian dari prinsip due process of law, serta konsisten dengan UU No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat yang menempatkan advokat sebagai mitra sejajar aparat penegak hukum. Menurut IPW, paradigma baru ini sejalan dengan teori due process model (Herbert Packer) dan prinsip Rule of Law sebagaimana dikemukakan A.V. Dicey.

2. Penataan ulang kewenangan Polri dalam penyelidikan dan penyidikan agar lebih akuntabel dan tidak membuka ruang penyalahgunaan kekuasaan. Pembaruan ini mempertegas kewajiban penyidik mengirimkan Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP) sejak awal proses, sebagaimana telah ditegaskan dalam Putusan MK No. 130/PUU-XIII/2015 dan pembatasan tindakan paksa sebagaimana diatur dalam Putusan MK No. 5/PUU-VIII/2010 serta selaras dengan kerangka UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia. IPW menilai perubahan ini penting dalam kerangka checks and balances dalam proses penyelidikan dan penyidikan yang objektif dan menghindari potensi keberpihakan.

3. Dalam konteks perkembangan kejahatan digital, IPW menyoroti bahwa RKUHAP untuk pertama kalinya mengatur secara komprehensif tindakan paksa modern seperti penyadapan, penggeledahan elektronik, dan pembekuan aset digital. Selama ini, tindakan tersebut belum memiliki landasan kuat dalam KUHAP dan hanya berdasar pada undang-undang sektoral seperti UU TIPIKOR, UU TPPU, maupun UU ITE. Padahal, Putusan MK No. 5/2019 mengharuskan adanya dasar hukum eksplisit terkait penyadapan. Karena itu, IPW memandang RKUHAP mengisi kekosongan itu dan merupakan penerapan prinsip proportionality (Robert Alexy) serta pemikiran hukum progresif (Satjipto Rahardjo).

4. Penguatan mekanisme restorative justice (RJ). Selama ini, mekanisme RJ hanya hidup melalui peraturan institusi seperti Perpol No. 8 Tahun 2021 dan Peraturan Kejaksaan No. 15 Tahun 2020, sehingga belum menjadi bagian dari sistem acara pidana nasional. Dengan masuknya RJ ke dalam RKUHAP, penyelesaian di luar pengadilan untuk perkara tertentu memperoleh legitimasi formal di tingkat UU, sejalan dengan UU No. 31 Tahun 2014 tentang Perlindungan Saksi dan Korban.




(rfs/gbr)

Berita Terkait
Berita detikcom Lainnya
Berita Terpopuler

Video

Foto

detikNetwork