Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) DPR menggelar sidang 5 anggota DPR nonaktif terkait demonstrasi Agustus 2025. Ahli media sosial, Ismail Fahmi, menjelaskan soal bahaya video anggota DPR joget yang dinarasikan karena kenaikan gaji.
Awalnya Ismail Fahmi ditanya MKD DPR soal kebenaran informasi hingga pendengung di media sosial dalam sidang di kompleks parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (3/11/2025). Kemudian Wakil Ketua MKD DPR TB Hasanuddin bertanya pendapat Ismail Fahmi soal pihak yang sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum melakukan manipulasi, seperti mengubah narasi di medsos.
Fahmi menjelaskan bagaimana fenomena tersebut dilakukan, bukan dalam konteks melanggar aturan atau tidak, seperti UU ITE, karena bukan keahliannya. Ismail menjelaskan fenomena tersebut sebagai context collapse terkait anggota DPR joget saat Sidang Tahunan 2025 dinarasikan karena kenaikan gaji.
"Contoh kayak tadi misalnya yang kita lihat, itu ada istilah yang namanya context collapse. Context collapse itu adalah kita, ada video yang benar, ya, tadi video yang terakhir sebetulnya sudah agak benar cuma narasinya agak beda," kata Fahmi.
"Videonya lengkap, anggota Dewan karena memang lagi ada musik, ikut menghargai, ikut dancing. Itu sama seperti saya lihat tadi juga potongan ketika di depan Istana Negara ketika 17 Agustus, semuanya pada nyanyi, happy semuanya di situ. Nah, itu konteks aslinya," imbuhnya.
Fahmi menilai anggota DPR joget dinarasikan karena kenaikan gaji sebagai context collapse, suatu hal yang bukan sebenarnya namun dipadupadankan. Fahmi menilai hal tersebut saling menumpuk.
"Ketika itu disajikan dengan konteks yang lain, dengan narasi yang lain, 'Lihat, anggota Dewan joget-joget karena gajinya naik'. Nah, ini namanya ada dua konteks yang berbeda, satu gaji naik, satu lagi karena joget, ketika disambungkan itu collapse, saling numpuk," ucap Fahmi.
Dalam ilmu psikologi, kata Fahmi, narasi yang ditumpuk tersebut sangat sering terjadi. Jadi, Ismail menilai video yang ditumpuk dengan narasi tak sesuai konteksnya sebagai hal yang tak benar.
"Sangat sering terjadi di media sosial kita, orang memotong-motong itu, disambung-sambungin, dan jadilah itu bisa kita bilang itu namanya hoaks, bisa mengarah ke arah tertentu karena ada ada framing, ada narasi," ujarnya.
TB Hasanuddin menekankan kembali pendapat Fahmi soal context collapse. Fahmi menilai narasi yang ditumpuk dengan video yang tak sesuai sebagai hal yang berbahaya dan sudah ada hasil sebelumnya.
"Ya, pendapat saya ini sesuatu yang berbahaya, ya. Sesuatu yang berbahaya, sesuatu yang sejak zaman COVID kemarin juga terjadi dan itu berbahaya sekali. Banyak orang kemudian nggak mau divaksin karena apa? Ditumpuk itu," imbuhnya.
(rfs/gbr)