Jadi Tersangka Korupsi PLTU Rp 1,3 T, Adik JK dkk Bakal Dicegah ke Luar Negeri

Jadi Tersangka Korupsi PLTU Rp 1,3 T, Adik JK dkk Bakal Dicegah ke Luar Negeri

Kadek Melda Luxiana - detikNews
Senin, 06 Okt 2025 21:03 WIB
Bareskrim Polri resmi menetapkan Halim Kalla dan Fahmi Mochtar, mantan Direktur Utama PLN periode 2008–2009, sebagai tersangka kasus dugaan korupsi proyek pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) 1 Kalimantan Barat.
Foto: Grandyos Zafna/detikcom
Jakarta -

Kortas Tipikor Bareskrim Polri menetapkan empat orang sebagai tersangka dugaan korupsi proyek PLTU di Kalimantan Barat (Kalbar). Keempatnya belum ditahan dan akan diproses untuk dicegah ke luar negeri.

"Ada pasti (dicegah ke luar negeri), itu pasti ada, tindakan itu pasti ada," kata Kakortas Tipikor Bareskrim Polri Irjen Cahyono Wibowo saat jumpa pers di Bareskrim Polri, Senin (6/10/2025).

Untuk diketahui, keempat tersangka adalah Dirut PLN 2008-2009 Fahmi Mochtar (FM), Halim Kalla (HK) selaku Presiden Direktur PT BRN yang juga adik dari Jusuf Kalla, RR selaku Dirut PT BRN, dan HYL selaku PT Praba.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Cahyono menambahkan, pihaknya sudah meminta Imigrasi mencegah keempat tersangka bepergian ke luar negeri. Dia menyebutkan pencegahan dilakukan saat keempatnya ditetapkan sebagai tersangka.

"Jadi simultan nanti. Pada saat penetapan tersangka tim kami juga sudah akan mengeluarkan pencegahan bepergian keluar negeri," imbuhnya.

ADVERTISEMENT

Proyek tersebut mangkrak sejak awal dibangun pada 2008. Diduga proyek mangkrak lantaran adanya permainan pengaturan kontrak proyek.

Berdasarkan perhitungan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) pada Juli 2025, kerugian negara akibat proyek tersebut mencapai Rp 1,3 triliun.

Awal Mula Kasus

Direktur Penindakan Kortas Tipikor Bareskrim Polri Brigjen Toto Suharyanto mengatakan kasus ini berawal saat ada lelang ulang proyek PLTU 1 Kalbar dengan kapasitas 2x50 megawatt pada tahun 2008. Dia menduga ada kesepakatan yang dibuat sebelum lelang itu.

Toto mengatakan KSO PT BRN dan Alton diduga lolos atas arahan FM. Padahal, menurut dia, perusahaan itu tidak memiliki syarat teknis dan administrasi.

"Tersangka FM telah meloloskan dan memenangkan KSO BRN, Alton, dan OJSC meskipun tidak memiliki syarat teknis maupun administrasi. Selain itu, diduga kuat bahwa perusahaan Alton, UGSC tidak tergabung dalam KSO yang dibentuk dan dikepalai oleh PT BRN," ujarnya.

KSO BRN kemudian diduga mengalihkan seluruh pekerjaan kepada PT Praba Indopersada pada tahun 2009. Polisi menduga ada pemberian fee kepada KSO BRN oleh HYL selaku Direktur PT Praba Indopersasa.

"Pada tahun 2009, sebelum dilaksanakan penandatanganan kontrak, KSO BRN telah mengalihkan pekerjaan seluruh pekerjaan kepada PT Praba Indopersada dengan dirut tersangka HYL dengan kesepakatan pemberian imbalan fee Kepada PT BRN selanjutnya TSK HYL diberi hak sebagai pemegang keuangan KSO BRN," jelasnya.

Toto menyebutkan PT Praba juga tidak memiliki kapasitas untuk mengerjakan proyek tersebut. FM dan RR menandatangani kontrak dengan nilai Rp 1,2 triliun dan tanggal efektif kontrak 28 Desember 2009 dengan masa penyelesaian sampai 28 Februari 2012.

"Pada tanggal 11 Juni 2009 dilakukan panandatanganan kontrak oleh tersangka FM selaku dirut PLN dengan tersangka RR selaku dirut PT BRN dengan nilai kontrak USD 80.848.341 dan USD 507.424.168.000 sekian atau total kurs saat itu Rp 1,254 triliun saat itu," kata Toto.

Pada akhirnya, perusahaan yang menenangkan proyek hanya melakukan 57 pekerjaan. Proyek tak selesai meski ada 10 kali perubahan kontrak.

"Pada akhir kontrak KSO BRN maupun PT Praba Indopersada baru menyelesaikan 57 pekerjaan. Kemudian telah dilakukan beberapa kali amendemen sebanyak 10 kali dan terakhir 31 Desember 2018," tuturnya.

Proyek disebut berhenti karena alasan ketidakmampuan keuangan PLN. Namun, menurut polisi, proyek telah berhenti sejak 2016 dan ada pembayaran proyek ke para tersangka dengan cara tidak sah.

"Akan tetapi, fakta sebenarnya pekerjaan telah terhenti sejak 2016 dengan hasil pekerjaan 85,56 persen. Sehingga PT KSO BRN telah menerima pembayaran dari PT PLN sebesar Rp 323 miliar (untuk pekerjaan konstruksi sipil) dan sebesar USD 62,4 juta (untuk pekerjaan mechanical electrical)," ujarnya.

Tonton juga video "PLTU 1 Kalbar Mangkrak Buntut Korupsi yang Jerat Halim Kalla" di sini:

Halaman 2 dari 2
(dek/wnv)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads