Kortas Tipikor Bareskrim Polri mengungkap dugaan korupsi terhadap proyek PLTU di Kalimantan Barat. Kerugian akibat perbuatan tersebut ditaksir mencapai Rp 1,3 triliun.
Proyek tersebut mangkrak sejak awal dibangun pada 2008. Diduga proyek mangkrak lantaran adanya permainan pengaturan kontrak proyek tersebut.
"Artinya ada permufakatan di dalam rangka memenangkan pelaksanaan pekerjaan, setelah dilakukan kontrak, kemudian ada pengaturan-pengaturan sehingga ini terjadi keterlambatan yang mengakibatkan sampai dengan tahun 2018 itu sejak tahun 2008 sampai 2018 itu diadendum," ujar Cahyono dalam konferensi pers di Bareskrim Polri, Senin (6/10/2025).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Polri menetapkan empat tersangka dalam kasus ini. Keempatnya yakni Dirut PLN 2008-2009 Fahmi Mochtar (FM), Halim Kalla (HK) selaku Presiden Direktur PT BRN yang juga adik dari Jusuf Kalla, RR selaku Dirut PT BRN, dan HYL selaku PT Praba. Para tersangka belum ditahan.
Sementara, Direktur Penyidikan Kortas Tipikor Polri, Toto Suharyanto mengatakan, berdasarkan perhitungan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) pada Juli 2025, kerugian negara akibat proyek tersebut mencapai Rp 1,3 triliun.Disebutkan telah terjadi penyimpangan-penyimpangan yang berindikasi tindak pidana yang dilakukan pihak-pihak terkait yang mengakibatkan terjadinya kerugian keuangan negara.
"Kerugian negara adalah total loss senilai USD 62.410.523,20 dan Rp 323.199.898 juta. Kira-kira Rp 1,3 triliun," ucapnya.
Dia menuturkan pengeluaran PT PLN tidak sesuai ketentuan sehingga menyebabkan kerugian negara. Selain itu, pengeluaran juga tidak memberi manfaat lantaran proyek mangkrak.
"Yang merupakan pengeluaran dana PT PLN (Persero) yang tidak sesuai ketentuan dan tidak memberikan manfaat atas pembangunan PLTU 1 Kalbar yang tidak diselesaikan oleh KSO BRN," jelasnya.
Awal Mula Kasus
Kasus ini berawal saat ada lelang ulang proyek PLTU 1 Kalbar dengan kapasitas 2x50 megawatt pada tahun 2008. Dia menduga ada kesepakatan yang dibuat sebelum lelang itu.
Toto mengatakan KSO PT BRN dan Alton diduga lolos atas arahan FM. Padahal, katanya, perusahaan itu tidak memiliki syarat teknis dan administrasi.
"Tersangka FM telah meloloskan dan memenangkan KSO BRN, Alton dan OJSC meskipun tidak memiliki syarat teknis maupun administrasi. Selain itu diduga kuat bahwa perusahaan Alton, UGSC tidak tergabung dalam KSO yang dibentuk dan dikepalai oleh PT BRN," ujarnya.
KSO BRN kemudian diduga mengalihkan seluruh pekerjaan kepada PT Praba Indopersada pada tahun 2009. Polisi menduga ada pemberian fee kepada KSO BRN oleh HYL selaku Direktur PT Praba Indopersasa.
"Pada tahun 2009 sebelum dilaksanakan penandatanganan kontrak, KSO BRN telah mengalihkan pekerjaan seluruh pekerjaan kepada PT Praba Indopersada dengan dirut tersangka HYL dengan kesepakatan pemberian imbalan fee Kepada PT BRN selanjutnya TSK HYL diberi hak sebagai pemegang keuangan KSO BRN," jelasnya.
Toto menyebut PT Praba juga tidak memiliki kapasitas untuk mengerjakan proyek tersebut. FM dan RR melakukan penandatanganan kontrak dengna nilai Rp 1,2 triliun dan tanggal efektif kontrak 28 Desember 2009 dengan masa penyelesaian sampai tanggal 28 Februari 2012.
"Pada tanggal 11 Juni 2009 dilakukan panandatanganan kontrak oleh tersangka FM selaku dirut PLN dengan tersangka RR selaku dirut PT BRN dengan nilai kontrak USD 80.848.341 dan USD 507.424.168.000 sekian atau total kurs saat itu Rp 1,254 triliun saat itu," kata Toto.
Pada akhirnya, perusahaan yang menenangkan proyek hanya melakukan 57 pekerjaan. Proyek tak selesai meski ada 10 kali perubahan kontrak.
"Pada akhir kontrak KSO BRN maupun PT Praba Indopersada baru menyelesaikan 57 pekerjaan. Kemudian telah dilakukan beberapa kali amandemen sebanyak 10 kali dan terakhir 31 Desember 2018," tuturnya.
Proyek disebut berhenti karena alasan ketidakmampuan keuangan PLN. Namun, menurut polisi, proyek telah berhenti sejak tahun 2016 dan ada pembayaran proyek ke para tersangka dengan cara tidak sah.
"Akan tetapi fakta sebenarnya pekerjaan telah terhenti sejak 2016 dengan hasil pekerjaan 85,56 persen. Sehingga PT KSO BRN telah menerima pembayaran dari PT PLN sebesar Rp 323 miliar (untuk pekerjaan konstruksi sipil) dan sebesar USD 62,4 juta (untuk pekerjaan mechanical electrical)," ujarnya.
Tonton juga video "PLTU 1 Kalbar Mangkrak Buntut Korupsi yang Jerat Halim Kalla" di sini: