Prabowo Bakal Teken Perpres MBG, Ini 6 Catatan dari Legislator Senayan

Prabowo Bakal Teken Perpres MBG, Ini 6 Catatan dari Legislator Senayan

Tim detikcom - detikNews
Senin, 06 Okt 2025 08:04 WIB
gedung MPR/DPR RI di Jalan Gatot
Soebroto, Senayan, Jakarta.
Ilustrasi gedung DPR RI. (Foto: Lamhot Aritonang/detikcom)
Jakarta -

Presiden Prabowo Subianto akan menerbitkan Peraturan Presiden (Perpres) tentang tata kelola Makan Bergizi Gratis (MBG) dalam waktu dekat. Berbagai catatan datang dari Senayan merespons langkah pemerintah ini.

Rencana penerbitan perpres ini muncul tak lama setelah marak kasus keracunan MBG dialami siswa di berbagai daerah. Lantas, apa saja yang menjadi perhatian bagi para legislator di DPR RI?

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Jadi Langkah Evaluasi Total

Ketua DPR RI Puan Maharani mendukung langkah penerbitan perpres tersebut. Dia mendorong realisasi program MBG dievaluasi total.

Ketua DPR RI Puan MaharaniKetua DPR RI Puan Maharani (Foto: dok DPR)

"Terkait dengan MBG tentu saja karena ini kepentingannya untuk anak-anak generasi penerus bangsa, bahkan Bapak Presiden pun sudah menyampaikan bahwa ini satu program yang sangat penting bagaimana kemudian meningkatkan gizi seluruh anak Indonesia," kata Puan seusai rapat paripurna di gedung DPR RI, Senayan, Jakarta, Kamis (2/10/2025).

ADVERTISEMENT

"Namun tentu saja karena perlu dilakukan evaluasi secara total dan perlu diperbaiki, DPR RI kemarin melalui komisi sudah meminta supaya ada payung hukumnya berupa Perpres," lanjutnya.

Atur Investigasi dan Sanksi

Wakil Ketua Komisi IX DPR Yahya Zaini meminta ihwal investigasi dan sanksi diatur dalam perpres tersebut. Mengenai koordinasi antarkementerian dan lembaga, kata dia, juga perlu diatur dalam perpres.

"Yang perlu diatur, sekurang-kurangnya tugas, fungsi dan kewenangan BGN. Bentuk kerja sama dengan Kementerian/Lembaga dan pihak lain, tata kelola dan SOP. Pengawasan dan investigasi, sanksi," kata Yahya kepada wartawan, Minggu (5/10/2025).

Yahya ZainiWakil Ketua Komisi IX DPR RI Yahya Zaini. (Rizky/detikcom)

Menurutnya, kasus keracunan MBG di sejumlah wilayah terjadi lantaran SOP tidak dijalankan dengan benar. Dia mengatakan banyak hal di lapangan yang tidak dilaksanakan dengan baik seperti pengawasan terhadap makanan yang disajikan.

"Banyaknya kasus keracunan karena SOP tidak dijalankan dan karena lemahnya pengawasan. Saya berulangkali mengingatkan supaya BGN menjalin kerjasama dengan BPOM, Pemda/Dinkes, Puskesmas dan Sekolah dalam melakukan pengawasan. Tapi di lapangan tidak dilaksanakan," ujarnya.

Dia menyampaikan Komisi IX DPR menekankan pentingnya tata kelola yang baik dalam program MBG. Bahkan pihaknya sudah memanggil sejumlah kementerian dan lembaga guna membahas tata kelola MBG.

"Sehingga Komisi IX melakukan Raker dengan Menkes, RDP dengan BGN, BPOM dan Raker dengan Mendukbangga secara bersama-sama untuk melakukan koordinasi dalam tata kelola serta dalam pengawasan MBG. Hal tersebut kita tekankan karena akhir-akhir ini kasus keracunan sangat masif," jelasnya.

Optimalisasi Peran SPPI

Lebih lanjut, Yahya menyoroti peran Sarjana Penggerak Pembangunan Indonesia (SPPI) yang ditugaskan menjadi kepala SPPG hingga ahli gizi. Namun menurutnya SPPI yang direkrut dari lulusan sarjana di berbagai daerah itu belum berjalan baik.

"Yang juga menjadi kelemahan tidak berfungsinya ahli gizi yang ditugaskan BGN di setiap SPPG. BGN menugaskan 3 orang SPPI di setiap SPPG. 1 orang sebagai kepala, 1 sebagai ahli gizi, 1 orang sebagai ahli keuangan. Kalau ahli gizi tersebut berfungsi dengan baik, tidak akan terjadi kasus-kasus keracunan," imbuhnya.

Atur Standar Pangan

Anggota Komisi IX DPR Fraksi PAN Ashabul Kahfi memberikan sejumlah catatan terkait hal-hal yang perlu diatur di Perpres. Ia menegaskan wajib ada mekanisme uji labolatorium yang diatur.

"Pertama, standar keamanan pangan. Wajib ada mekanisme uji laboratorium oleh Labkesda dan Kesling, serta larangan pangan ultra-proses yang berlebihan," ujar Ashabul kepada wartawan, Jumat (3/10/2025).

Pelibatan Publik untuk Evaluasi

Kedua, perlu adanya pengaturan tata kelola dan koordinasi. Menurut Ashabul, harus jelas pembagian peran pemerintah pusat dan daerah.

Dia menyebut jangan semua hal ditarik ke pemerintah pusat. Baginya, pemda perlu ruang gerak lebih besar karena mereka yang paling dekat dengan sekolah dan puskesmas.

"Ketiga, sistem monitoring dan evaluasi harus berlapis dan melibatkan masyarakat serta penerima manfaat. Kanal pengaduan publik harus tersedia, cepat, dan aman," jelas Ashabul.

Keempat, soal integrasi dengan layanan kesehatan dan pendidikan. Ia menyarankan dapur komunitas di daerah 3T harus dijadikan jangkar pelaksanaan.

"Kelima, aspek anggaran dan akuntabilitas. Setiap rupiah yang dikeluarkan harus berbasis hasil, jangan hanya output distribusi makanan, tapi betul-betul berdampak pada status gizi anak," sambungnya.

Atur Batas Produksi Dapur

Anggota Komisi IX DPR RI Nurhadi meminta perpres tersebut mengatur standar gizi MBG hingga batas produksi dapur.

"Komisi IX menilai ada beberapa hal krusial yang perlu diatur secara jelas dalam perpres ini. Pertama, soal standar gizi dan keamanan pangan," kata Nurhadi kepada wartawan, Sabtu (4/10/2025).

"Jangan sampai program MBG hanya menyediakan makanan tetapi tidak memenuhi kebutuhan gizi yang sesuai usia anak dan standar kesehatan yang ditetapkan oleh Kemenkes," sambungnya.

Selain itu, menurutnya, perpres juga perlu mengatur mekanisme distribusi dan pengawasan. Dia menilai hal itu agar tak terjadi lagi ketimpangan atau potensi penyalahgunaan anggaran di lapangan.

Nurhadi mengatakan pemberdayaan daerah dan mitra penyedia pun harus diatur. Menurutnya, pemerintah daerah dan sekolah harus dilibatkan penuh.

"Kami juga menekankan pentingnya kualifikasi dan kompetensi tenaga di lapangan. Setiap dapur atau Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) harus memiliki tiga stakeholder utama yang dilatih sesuai bidangnya, yaitu kepala dapur atau Kepala SPPG, akuntan, dan ahli gizi," paparnya.

"Sementara itu, karyawan maupun relawan dapur yang jumlahnya rata-rata lebih dari 40 orang perlu dibekali pelatihan dengan SOP yang baku, agar proses produksi makanan berjalan sesuai standar keamanan dan mutu yang ditetapkan," sambung dia.

Kemudian, dari sisi operasional, dia menilai perlu pembatasan kapasitas produksi. Menurutnya, dengan begitu dapat menjaga kualitas makanan.

"Misalnya, jumlah penerima per dapur ditetapkan maksimal 2.500 porsi per hari, berbeda dengan sebelumnya yang mencapai 3.000 sampai 4.000 porsi. Dengan demikian, kualitas makanan dapat lebih terjamin," jelasnya.

Lebih lanjut, katanya, perlu ada pemberitahuan batas waktu konsumsi dalam setiap makanan. Dia menegaskan Perpres tak boleh hanya menjadi aturan administratif saja.

"Setiap paket makanan juga sebaiknya mencantumkan peringatan waktu konsumsi, layaknya produk pangan yang memiliki keterangan best before atau batas kadaluwarsa, sehingga anak-anak penerima MBG mendapatkan makanan dalam kondisi aman dan layak konsumsi," tuturnya.

Simak juga Video Pihak Istana Sebut Perpres Buat Sempurnakan Program MBG
Halaman 6 dari 5
(fca/fca)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads