Johan Rosihan Ingatkan Ancaman Cs-137 bagi Masa Depan Pangan Laut RI

Inkana Putri - detikNews
Jumat, 03 Okt 2025 19:30 WIB
Foto: MPR
Jakarta -

Sekretaris Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Johan Rosihan mengingatkan ancaman paparan radioaktif Cesium-137 (Cs-137) pada produk udang beku asal Indonesia. Adapun paparan ini ditemukan oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan (FDA) Amerika Serikat (AS).

Johan menilai temuan ini tak sekadar mencoreng citra ekspor perikanan nasional, tapi juga mengguncang keyakinan publik pada sistem keamanan pangan laut negeri ini.

"Pangan laut kita seharusnya bisa menjadi tulang punggung ketahanan pangan nasional. Tapi kasus Cs-137 ini justru menunjukkan lemahnya pengawasan dan kebijakan kita," ujar Johan dalam keterangannya, Jumat (3/10/2025).

Berdasarkan data Kementerian Kelautan dan Perikanan, kontribusi sektor perikanan terhadap PDB Indonesia mencapai lebih dari 3 persen, dengan nilai ekspor menembus USD 5 miliar per tahun. Udang, tuna, dan rumput laut adalah primadona yang menyuplai kebutuhan protein di dalam negeri maupun pasar global.

Sayangnya, Johan menyebut kebijakan pangan nasional masih bias daratan. Adapun fokus pembangunan lebih banyak diarahkan pada padi, jagung, dan kedelai. Padahal, pangan laut memiliki keunggulan gizi dan keberlanjutan yang jauh lebih menjanjikan.

Johan yang juga Anggota DPR RI Komisi IV F-PKS ini mengungkapkan pada forum internasional, konsep blue food atau pangan biru mulai diakui sebagai solusi krisis pangan dan iklim. Dengan diakuinya konsep ini, menurutnya, Indonesia seharusnya bisa menjadi pelopor.

"Tapi itu butuh keberanian politik dan arah kebijakan yang jelas," tegas Johan.

Lonceng Peringatan dari Cs-137

Di tengah gencarnya promosi produk laut Indonesia, Johan menyebut temuan Cs-137 di udang beku menjadi tamparan keras. Bukan hanya soal ekonomi ekspor yang terganggu, tetapi juga kredibilitas sistem keamanan pangan nasional.

Pasalnya Cesium-137 merupakan isotop radioaktif berbahaya yang biasanya muncul dari aktivitas nuklir. Jika masuk ke tubuh manusia lewat rantai makanan, dampaknya bisa fatal: kanker, kerusakan organ, bahkan kematian.

Yang lebih gawat, kata Johan, Indonesia ternyata belum memiliki mekanisme deteksi rutin terhadap kontaminasi radioaktif di produk pangan laut. Badan Karantina, BPOM, maupun laboratorium mutu bahkan belum dilengkapi teknologi pendeteksi isotop berbahaya tersebut.

"Ini celah besar yang bisa meruntuhkan reputasi pangan laut kita. Dunia sedang mengawasi. Kalau pemerintah tidak transparan, kepercayaan pasar bisa lenyap dalam hitungan minggu," ucap Johan.

Johan menilai menganggap kasus Cs-137 hanya insiden teknis merupakan hal keliru. Sebab, pencemaran laut di Indonesia bukan cerita baru. Hal ini terlihat dari banyaknya wilayah pesisir berbatasan langsung dengan kawasan industri, pelabuhan, atau pertambangan. Sistem pengawasan kualitas air di daerah pesisir pun masih minim.

Lemahnya sistem traceability atau ketertelusuran produk juga memperburuk keadaan. Asal-usul produk, metode budidaya, hingga jalur distribusi sering tidak tercatat dengan baik. Saat terjadi kasus kontaminasi, penelusuran pun jadi mustahil.

Terkait kasus ini, Johan mengimbau pemerintah untuk berbenah, mulai dari tata ruang laut, pengelolaan pesisir, hingga regulasi industri di sekitar wilayah perairan. Sebab tanpa pengawasan ketat, kontaminasi serupa bisa terus berulang.

DPR Minta Reformasi Regulasi

Di Senayan, Komisi IV DPR mendesak reformasi sistemik. Revisi UU Perikanan, UU Kelautan, dan UU Pangan menjadi salah satu opsi agar aspek keamanan pangan berbasis risiko-termasuk kontaminasi radioaktif-masuk dalam regulasi.

Johan menegaskan penguatan kapasitas laboratorium uji mutu di pelabuhan utama harus dipercepat.

"Banyak lab kita bahkan belum punya alat deteksi radiasi. Bagaimana mau bersaing di pasar global?" tegasnya.

Selain itu, DPR mendorong alokasi anggaran lebih besar untuk program keamanan pangan laut. Selama ini, kata Johan, porsi anggaran sektor ini masih jauh dari kebutuhan lapangan.

Johan menambahkan, krisis Cs-137 juga menghantam nelayan dan pembudidaya kecil, yang selama ini menyumbang lebih dari 90 persen produksi perikanan tangkap nasional. Sebab setiap kali harga jatuh atau permintaan anjlok, mereka menjadi yang paling awal merasakan dampaknya-meski bukan pelaku utama masalah.

Ironisnya, lanjut Johan, perlindungan untuk nelayan kecil masih minim. Akses ke pembiayaan, asuransi, alat tangkap ramah lingkungan, hingga rantai dingin pun sangat terbatas.

Johan mengatakan negara wajib memberi kompensasi, misalnya lewat jaminan harga dasar atau insentif khusus, agar nelayan tidak menanggung kerugian sendirian.

"Nelayan harus dilibatkan dalam program pengawasan mutu. Mereka bukan objek, melainkan subjek penting dalam menjaga kualitas laut," katanya.

Untuk memulihkan kepercayaan, Johan mendesak pemerintah melakukan sejumlah langkah strategis, antara lain audit menyeluruh terhadap pabrik pengolahan dan jalur ekspor; penguatan laboratorium uji mutu berstandar internasional. Kemudian, moratorium sementara ekspor dari wilayah bermasalah; serta edukasi luas kepada nelayan dan masyarakat soal keamanan pangan.

Johan mengatakan Hari Pangan Sedunia tahun ini seharusnya menjadi momentum revolusi biru, yakni menjadikan laut bukan hanya sumber produksi, tetapi pilar ketahanan pangan berbasis keberlanjutan, keadilan, dan keamanan. Sebab menurutnya, proses hasil laut ke meja makan bukan sekadar ekspor, tapi menyangkut masa depan bangsa.

"UUD 1945 sudah jelas, negara wajib menjamin pangan yang cukup, aman, dan bergizi. Kasus Cs-137 ini pengingat bahwa amanah konstitusi tidak boleh diabaikan," pungkasnya.

Simak juga Video 'Cara BMKG Bikin Nelayan Melek Teknologi Biar Aman Melaut':




(anl/ega)
Berita Terkait
Berita detikcom Lainnya
Berita Terpopuler

Video

Foto

detikNetwork