Peran Dewan Perwakilan Daerah (DPD) signifikan dalam mempertegas sistem ketatanegaraan, salah satunya mengusulkan perubahan kelima Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, meski jalan politik tersebut dinilai masih cukup panjang dan terus diperjuangkan.
Hal itu disampaikan Anggota Badan Pengkajian MPR RI sekaligus Senator DPD RI, Dedi Iskandar Batubara dalam diskusi bertajuk 'Wewenang dan Pola Hubungan Antarlembaga Negara dalam Struktur Ketatanegaraan Indonesia' di ruang PPID, Gedung Nusantara I, Kompleks Parlemen, Jakarta, Rabu (1/10).
Dedi menilai bahwa dalam sistem ketatanegaraan Indonesia saat ini, eksekutif berada dalam posisi yang sangat kuat dibandingkan legislatif dan yudikatif. Ia menegaskan, meski prinsip trias politica sudah diadopsi, kedudukan lembaga legislatif khususnya MPR, DPR, dan DPD masih memerlukan kejelasan dan penguatan kewenangan.
"Eksekutif kita hari ini sangat kuat. Bahkan dalam legislasi, pemerintah memiliki hak mengajukan, membahas, hingga menandatangani undang-undang. Karena itu, peran legislatif, termasuk DPD, harus diperjelas," ujar Dedi dalam keterangannya, Kamis (2/10/2025).
Merefleksikan 21 tahun berdirinya DPD, Dedi menekankan bahwa lembaga ini sejak awal dirancang sebagai penyeimbang dalam proses legislasi.
Namun, dalam praktik kewenangannya DPD masih terbatas pada pengusulan rancangan undang-undang tertentu yang berkaitan dengan daerah. Kondisi itu kemudian membuat DPD terus mendorong penguatan otoritas, bahkan melalui wacana amandemen kelima UUD 1945.
"Seandainya legislasi yang berkaitan dengan daerah sepenuhnya menjadi kewenangan DPD, tentu hasilnya akan lebih baik. Anggota DPD setiap hari berada di daerah, sehingga paham betul kebutuhan dan persoalan yang ada," tegasnya.
Meski kewenangannya terbatas, Dedi menyebut DPD tetap bisa produktif dengan tiga strategi utama. Pertama, mendorong penguatan DPD melalui amandemen kelima UUD 1945 sebagai langkah maksimal meneguhkan sistem presidensial sekaligus mempertegas posisi DPD sebagai kamar kedua parlemen.
Kedua, mengoptimalkan fungsi pengawasan, terutama dalam pelaksanaan undang-undang, dana transfer, dan kebijakan lain yang langsung menyentuh kepentingan daerah.
"Fungsi pengawasan ini sudah berjalan, tetapi seringkali kurang mendapat perhatian media karena dianggap normatif," jelasnya.
Ketiga, memperkuat kolaborasi pengawasan agar program pemerintah yang ditetapkan lewat APBN benar-benar terlaksana di daerah. Oleh karenanya kata Dedi, bahwa perjuangan memperbesar peran DPD masih harus terus dilakukan.
"Walaupun kewenangan legislasi DPD saat ini sebatas mengusulkan, bukan berarti kami boleh abai terhadap fungsi pengawasan. Justru di situlah peran penting DPD yang harus terus diperkuat dan diartikulasikan demi memperkuat sistem ketatanegaraan kita," tuturnya.
Di sisi lain, Pengamat Politik Direktur Eksekutif Skala Survei Indonesia (SSI), Abdul Hakim berbicara tentang perjalanan sistem ketatanegaraan Indonesia yang selama hampir delapan dekade menunjukkan pola unik.
Menurutnya, secara konstitusional Indonesia menganut sistem presidensial sebagaimana diatur dalam UUD 1945, namun praktik politik yang berjalan kerap berbeda dari aturan tersebut.
Misalnya saja, lanjut Abdul, pada masa Republik Indonesia Serikat (RIS) 1949 dan ketika UUD Sementara 1950 diberlakukan. Sistem federal maupun parlementer yang sempat dijalankan tidak berumur panjang.
Sepanjang periode 1950-1959, kabinet silih berganti setidaknya tujuh kali, hingga akhirnya Presiden Soekarno mengeluarkan Dekret 5 Juli 1959 yang mengembalikan Indonesia pada UUD 1945 dengan sistem presidensial.
Meski begitu, ia menilai praktik presidensial Indonesia hingga kini tetap memiliki ciri berbeda dari konsep klasik. Ciri khas jalan tengah ini, baginya tampak dalam banyak aspek ketatanegaraan.
Dalam relasi sipil-militer pascareformasi, misalnya, peran transisi tetap berlangsung. Termasuk urusan otonomi daerah, Indonesia tidak sepenuhnya sentralistik maupun federalistik, melainkan memilih bentuk hibrid dengan otonomi khusus di Aceh, Papua, dan Yogyakarta.
Ia melanjutkan, dalam praktik politik sekarang ini memang tidak ada oposisi total. Fungsi penyeimbang kerap diambil alih masyarakat sipil, media, lembaga independen, maupun gerakan mahasiswa.
Kelompok-kelompok tersebut menjadi kekuatan pengkritik yang menjaga keseimbangan kekuasaan meski tidak berstatus oposisi formal.
"Inilah wajah demokrasi kita: hibrid, khas, hasil kompromi budaya, sejarah, dan politik bangsa. Demokrasi jalan ketiga ala Indonesia," pungkasnya.
Sebagai informasi, diskusi yang diselenggarakan oleh Koordinatoriat Wartawan Parlemen (KWP) dan Biro Humas dan Sistem Informasi Setjen MPR itu, juga mengundang narasumber lainnya yakni Pengamat Politik Direktur Eksekutif Skala Survei Indonesia (SSI), Abdul Hakim yang dimoderatori oleh Asep Subagyo.
Simak Video "Video Ketua DPD Setuju Evaluasi Sistem Pilkada: Sudah Saatnya"
(ega/ega)