Memasuki hari ketiga perhelatan Culture, Heritage, Art, Narrative, Diplomacy, and Innovation (CHANDI) 2025 di Bali, menghadirkan sesi pleno. Sesi pleno ini bertajuk 'Culture for the Future: Heritage, Identity, and Innovation'.
Sesi pleno ini menjadi ruang penting untuk merumuskan bagaimana warisan budaya dapat dikelola, dikembangkan, dan dihidupkan kembali sebagai bagian dari identitas serta motor penggerak inovasi di masa mendatang.
Pleno dibuka dengan pidato kunci (keynote speech) dari Ketua Dewan Penyantun Museum dan Cagar Budaya, Hashim S. Djojohadikusumo. Dalam pidatonya, Hashim menyampaikan keprihatinannya terhadap tantangan besar yang dihadapi budaya Indonesia di tengah derasnya arus globalisasi, teknologi, dan media digital.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Hashim menekankan bahwa selama lebih dari satu dekade, ia terus memikirkan keterkaitan erat antara budaya, identitas, dan masa depan bangsa.
"Indonesia adalah persimpangan peradaban dunia sejak ribuan tahun lalu. Namun, yang kita perlukan adalah keseimbangan sehat agar budaya asli kita tetap hidup dan dicintai" ujarnya dalam keterangan tertulis, Kamis (4/9/2025).
Lebih lanjut, Hashim mendorong pemerintah melalui Kementerian Kebudayaan untuk berinvestasi secara serius dalam penguatan budaya nasional. Ia mengusulkan agar lembaga terkait, termasuk Danantara, mengalokasikan anggaran khusus untuk mendukung seniman dan kreator lokal, mulai dari animator, kartunis, dan konten kreator.
"Dukungan ini penting agar karya-karya kreatif Indonesia mampu bersaing dengan industri budaya global, sekaligus menumbuhkan kecintaan generasi muda terhadap warisan bangsanya sendiri," ujar Hashim.
Setelah pidato kunci (keynote speech), dimoderatori oleh Dosen Fakultas Filsafat Universitas Indonesia, Dr. Luh Gede Saraswati Putri, pleno ini menghadirkan empat panelis, di antaranya Professor Contemporary History and Dean of Leiden-Delft-Erasmus Universities, Prof. Dr. Wim van den Doel; Associate Professor of School of Arts of Nanfang College Guangzhou, He Lu; Director of Ubud Writers & Readers Festival, Janet DeNeefe; dan Conservator of the Southeast Asian collections at MusΓ©e Guimet, Prancis, Evelise Bruneau.
Wim dalam paparannya yang berjudul 'Rewriting the Past to Imagine the Future', mengatakan Indonesia memiliki warisan budaya yang kaya di mata dunia. Ia mengambil contoh bagaimana proses kembalinya patung Singosari ke Indonesia setelah disimpan di Leiden selama masa kolonial sepanjang hampir 200 tahun sejak 1978 dan kembali ke Indonesia pada 2023 lalu. Kembalinya Patung Singosari itu menjadi gambaran bahwa warisan budaya bisa menjadi tempat lintas antar negara serta antar budaya.
Lebih lanjut, Wim mengatakan Indonesia menjadi superpower dalam hal keragaman budaya dengan banyaknya etnis hingga sejumlah tradisi.
"Indonesia sebagai negara adidaya yang kaya akan budaya ini memiliki banyak etnis serta tradisinya masing-masing dalam perlintasan budaya sehingga Indonesia menjadi tempat khusus di mata dunia," jelas Wim.
Wim menilai warisan budaya bukan hanya sebagai peti harta karun yang disimpan dan dijauhkan dari siapapun, tetapi layaknya taman yang dipelihara dan dijaga bersama untuk bisa terus tumbuh dan berkembang menyambut masa depan bersama agar makna dari hal tersebut tidak hilang begitu saja.
Sementara itu, He Lu dalam materinya menegaskan pentingnya angklung sebagai warisan yang mampu menjadi jembatan persahabatan antarbangsa. Angklung, menurutnya, bukan hanya sekadar instrumen tradisional Jawa Barat, tetapi juga sebuah tradisi musik yang kaya, berkembang di Asia Tenggara, serta mengandung sejarah, kebijaksanaan lokal, dan nilai-nilai universal. Berkat upaya pemerintah dan akademisi Indonesia, angklung kini telah mendunia.
"Sebagai warisan budaya dan instrumen yang mudah dipelajari, angklung memiliki potensi besar untuk membuat seluruh dunia menjadi saling terhubung," jelas He Lu.
Filosofi angklung, di mana setiap orang memegang satu tabung nada, tetapi harus berkolaborasi agar menghasilkan harmoni, mencerminkan semangat kebersamaan, kerja sama, dan saling memiliki.
Dalam kesempatan yang sama, Janet menyampaikan kisah perjalanan panjang festival sastra terbesar di Asia Tenggara ini. Ia menuturkanUbud Writers & Readers Festival lahir dari sebuah misi pemulihan pasca-tragedi bom Bali tahun 2002. Pertama kali digelar pada 2004, festival ini hadir untuk menghidupkan kembali pariwisata dan perekonomian Bali melalui kekuatan budaya.
Seiring perkembangan, festival ini tidak hanya menjadi ruang temu penulis dan pembaca di Ubud, tetapi juga meluas ke berbagai wilayah Indonesia. Inisiatif ini bertujuan memperkenalkan kekayaan literasi Nusantara di luar Bali dengan melibatkan penulis muda dan komunitas lokal.
Sejak 2008, Ubud Writers & Readers Festival juga menghadirkan Program Penulis Baru untuk memberi panggung bagi generasi muda yang sebelumnya kurang terdengar di antara penulis-penulis besar.
Panelis keempat Evelise Bruneau. Dalam paparannya, Evelise memandang museum yang saat ini berkembang sebagai tempat artistik untuk menarik generasi masa kini. Dalam pandangan Evelise, museum yang dikenal sebagai tempat sejarah ini bisa diubah menjadi bentuk artistik tanpa mengesampingkan nilai historisnya.
"Singkatnya saat ini saya ingin museum tak hanya menjadi tempat melestarikan benda berwujud, karena saya merasa semua itu bermakna dan ingin menyampaikan kepada semua generasi mendatang," ujarnya.
Evelise lebih lanjut menjelaskan bahwa warisan budaya bisa menjadi agenda tersendiri dalam pembangunan berkelanjutan. Namun, Evelise memperingatkan akan adanya ancaman warisan budaya terhadap sejumlah isu seperti perdagangan gelap hingga radikalisme yang mungkin bisa mengganggu jalannya budaya lintas negara.
"Kita harus menjaga pikiran dan hati kita untuk tetap terbuka terhadap dialog, karena dialog akan memunculkan kreativitas di antara seniman, industri, dan sebagainya. Dialog memungkinkan munculnya pemahaman serta rasa hormat," tutupnya.
Sebagai informasi, sesi pleno ini dihadiri oleh Menteri Kebudayaan RI, Fadli Zon; Wakil Menteri Kebudayaan RI, Giring Ganesha; para Menteri dan Wakil Menteri negara sahabat; para Duta Besar negara sahabat, para perwakilan organisasi internasional, para ketua delegasi, dan tamu undangan lainnya.
Lebih lanjut, diskusi pleno ini menegaskan kembali bahwa warisan budaya bukan sekadar peninggalan masa lalu, melainkan sumber inspirasi yang dapat memperkuat identitas sekaligus mendorong lahirnya inovasi.
Melalui dialog lintas bangsa, lintas disiplin, dan lintas generasi, CHANDI 2025 menjadi ruang strategis untuk merajut pemahaman, kerja sama, dan solidaritas global dalam menjaga kebudayaan.
Tonton juga video "Waka MPR-Hashim Djojohadikusumo Ketemu Tony Blair, Bahas Nuklir" di sini:
(anl/ega)