Jakarta - Desakan ribuan sopir angkot agar omprengan pelat hitam dihapus membuat panik sejumlah komuter. Mereka tidak membayangkan berapa ongkos yang harus dikeluarkan untuk naik turun angkot dari rumah ke kantornya."Jadi demo ribuan sopir tadi minta omprengan dihapus? Waduh, cilaka dong! Kirain tuntutannya apa, janganlah. Kita kan butuh banget," cetus Ny Kestri (41) kepada
detikcom, Kamis (19/7/2007).Kestri mengaku sudah bertahun-tahun menjadi pelanggan tetap omprengan jurusan Kelapa Gading, Jakarta Utara, yang ngetem di persimpangan Karet, Desa Harjamukti, Cimanggis, Depok.Pulang pergi dari kantornya, dia selalu naik omprengan yang banyak dioperasionalkan para pekerja yang berkantor di Kelapa Gading. Dengan omprengan yang ongkosnya Rp 8.000 sekali jalan, ditambah naik angkot satu kali lagi untuk sampai kompleks rumahnya, setiap hari dia mengeluarkan ongkos sekitar Rp 20.000."Kalau dihapus, berapa banyak lagi ongkos yang harus dikeluarkan. Bisa Rp 30.000 lebih. Saya sih nggak setuju kalau dihapus," cetusnya.Selain hitungannya lebih murah, naik omprengan yang rata-rata berbodi mulus itu juga sangat nyaman dan aman. Nyaman? Karena harus berangkat pagi buta, ibu satu orang anak ini biasanya langsung tidur pulas begitu bersandar di jok omprengan. "Tinggal titip ongkos terus tidur, bangun-bangun sudah sampai depan kantor. Kita juga nggak takut kecopetan atau segala macam seperti yang terjadi di angkot karena kenal dengan sesama penumpang," tutur dia.Tidak hanya itu, naik omprengan, kata karyawan sebuah perusahaan kontruksi ini juga membantu pemilik mobil. Karena selain pekerja, ada juga sopir yang mata pencahariannya memang dari
ngompreng. Kestri sendiri mengaku pernah mengoperasikan omprengan selama 3 tahun untuk pekerja kantoran yang satu jurusan dengannya.Dengan mobil Suzuki Carry-nya, dia bisa mengangkut 11 penumpang yang waktu itu masih membayar ongkos sekitar Rp 6.000 sekali jalan."Lumayan, pulang pergi saya bisa dapat untung bersih Rp 40.000 sehari setelah dipotong bensin dan tol. Untungnya buat bantu bayar cicilan mobil, bisa sampai setengahnya," beber dia. Komuter dari Cimanggis lainnya, Asih (33), mengaku tidak bisa membayangkan jika ke kantornya di kawasan Manggarai, Jakarta Selatan, tidak menggunakan omprengan lagi. "Bisa berjam-jam di jalan. Kalo naik omprengan kan cepat, langsung masuk tol," katanya.Asih biasa naik omprengan ke arah UKI, Kampung Melayu atau Pancoran dari persimpangan Karet, Harjamukti, Cimanggis. Dengan omprengan, dari rumah ke kantornya dia hanya berganti tiga kali kendaraan."Bayangin kalau naik angkot, dari rumah ke Karet, terus nyambung ke Cibubur, nyambung lagi ke UKI, terus Kampung Melayu, dari situ ke Gang Kelor, terus baru nyambung lagi ke arah Manggarai. Nggak kebayang capeknya deh," keluh dia.Anda pengguna omprengan juga? Mengapa? Bagaimana jika omprengan dihapus? Kisahkan pada kami di redaksi@staff.detik.com.
(umi/nrl)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini