Presiden Prabowo Subianto memberikan amnesti terhadap Hasto Kristiyanto dan abolisi kepada mantan Menteri Perdagangan (Mendag) Tom Lembong. Keputusan Prabowo memberi amnesti dan abolisi mengejutkan banyak pihak.
Amnesti Hasto
Hasto yang pernah menjabat sebagai Sekjen PDIP diketahui merupakan terdakwa dalam kasus suap pengurusan pergantian antarwaktu (PAW) anggota DPR periode 2019-2024 Harun Masiku. Ketua KPK Setyo Budiyanto mengumumkan penetapan tersangka Hasto pada 24 Desember 2024.
Hasto ditetapkan sebagai tersangka suap dan perintangan penyidikan terhadap Harun Masiku. Pada Februari 2025, Hasto langsung ditahan di Rutan KPK setelah sempat menjalani pemeriksaan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dalam dakwaan jaksa, Hasto disebut memberi suap bersama-sama orang kepercayaannya, Donny Tri Istiqomah dan Saeful Bahri, kemudian juga Harun Masiku. Donny saat ini sudah ditetapkan sebagai tersangka, lalu Saeful Bahri telah divonis bersalah, sementara Harun Masiku masih menjadi buron.
Hasto divonis 3,5 tahun hukuman penjara. Hakim menyatakan Hasto terbukti bersalah memberi suap mantan komisioner KPU Wahyu Setiawan terkait pengurusan pergantian antarwaktu (PAW) anggota DPR periode 2019-2024 untuk Harun Masiku.
Vonis 3,5 tahun lebih rendah dari tuntutan jaksa yakni 7 tahun penjara. Dalam putusan ini, hakim menyatakan Hasto tidak terbukti melakukan merintangi penyidikan Harun Masiku.
Hasto dinyatakan bersalah melanggar Pasal 5 ayat 1 huruf a UU Tipikor juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP juncto Pasal 64 ayat 1 KUHP. Hakim menyatakan Hasto tak terbukti melakukan perbuatan merintangi penyidikan sebagaimana diatur dalam Pasal 21 UU Tipikor.
Sementara itu, KPK sudah berencana mengajukan permohonan banding. Rencana banding itu diajukan setelah KPK melakukan diskusi dengan Jaksa. Belum sempat mengajukan banding, Hasto mendapat amnesti dari Prabowo.
Sementara itu, KPK sudah berencana mengajukan permohonan banding. Rencana banding itu diajukan setelah KPK melakukan diskusi dengan Jaksa. Belum sempat mengajukan banding, Hasto mendapat amnesti dari Prabowo.
Abolisi Tom Lembong
Sementara, Tom Lembong divonis 4,5 tahun penjara dan denda Rp 750 juta subsider 6 bulan kurungan terkait kasus impor gula. Vonis itu lebih rendah dari tuntutan jaksa yakni 7 tahun penjara.
Hakim menyatakan Tom Lembong bersalah melanggar Pasal 2 ayat 1 juncto Pasal 18 UU Tipikor juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP. Hakim menyatakan tidak ada hal pemaaf ataupun pembenar dalam perbuatan Tom selaku terdakwa.
Hakim tak membebankan uang pengganti kepada Tom Lembong karena tidak menerima uang dari kasus ini. Hal memberatkan Tom Lembong ialah mengedepankan ekonomi kapitalis, tidak melaksanakan tugas secara akuntabel, hingga mengabaikan hak masyarakat mendapatkan gula dalam harga terjangkau. Hal meringankan ialah Tom belum pernah dihukum hingga tidak menikmati uang dari kerugian negara akibat kasus ini.
Tom Lembong sempat memberikan nota pembelaan atau pleidoi dalam sidang. Tom menuding jaksa tebang pilih dalam menetapkan tersangka kasus impor gula. Sebab, menurut Tom importasi gula juga dilakukan sejumlah koperasi namun tak ada tersangka dari koperasi tersebut.
Tom ditetapkan sebagai tersangka kasus impor gula oleh Kejaksaan Agung pada Oktober 2024. Tom ditetapkan tersangka bersama Direktur Pengembangan Bisnis pada PT PPI periode 2015-2016 Charles Sitorus.
Jaksa mendakwa Tom memperkaya diri dan orang lain dalam kasus impor gula ini. Jaksa mengatakan perbuatan Tom membuat negara rugi hingga Rp 515 miliar.
Angka Rp 515 miliar yang disebut jaksa itu adalah jumlah uang yang telah dinikmati oleh 10 orang pengusaha. Jika dilihat dari jumlah kerugian yang disebutkan jaksa yakni Rp 578 miliar maka ada selisih sekitar Rp 62,6 miliar, dalam dakwaan Tom Lembong ini jaksa belum menjelaskan rinci ke mana larinya selisih uang tersebut.
Jenderal TNI (Purn) AM Hendropriyono memberikan pandangannya terkait keputusan Prabowo ini. Hal itu disampaikan Hendropriyono. Hal itu disampaikan Hendropriyono di kediamannya saat kedatangan tamu yaitu Menteri Kebudayaan Fadli Zon untuk berbincang-bincang masalah kebudayaan dan diskursus di kalangan masyarakat akademisi.
![]() |
Tanya:
Apa makna akademik dari abolisi dan amnesti dalam sistem kenegaraan kita?
Jawab:
Abolisi dan amnesti adalah hak konstitusional Presiden berdasarkan Pasal 14 UUD 1945. Dalam perspektif akademik, keduanya merupakan mekanisme clemency atau pengampunan negara yang bukan sekadar tindakan hukum, tapi juga langkah moral strategis. Ini memperlihatkan bahwa kekuasaan eksekutif dapat menggunakan kebijakan pemaafan demi pemulihan tatanan sosial-politik, bukan sekadar penghukuman.
Tanya:
Lalu apa sisi positifnya dalam kasus Thomas Lembong dan Hasto Kristiyanto?
Jawab:
Keduanya membuka ruang refleksi publik mengenai etika kekuasaan, transparansi politik, dan kemanusiaan dalam hukum.
Dalam kasus Thomas Lembong, abolisi bisa dibaca sebagai upaya menghindari polarisasi politik berbasis kriminalisasi opini atau tindakan ekonomi pasca jabatan.
Dalam kasus Hasto Kristiyanto, amnesti menunjukkan pendekatan restoratif terhadap friksi politik, dan menjaga stabilitas dalam masa transisi pemerintahan.
Tanya:
Apakah ini bukan bentuk intervensi kekuasaan terhadap hukum?
Jawab:
Justru sebaliknya, ini menjadi pelajaran akademik bahwa dalam negara hukum demokratis, kekuasaan presiden untuk memberikan pengampunan adalah bagian dari sistem check and balance. Ia bukan pelanggaran hukum, tetapi koridor konstitusional yang bisa digunakan secara bijak demi kepentingan umum yang lebih besar.
Tanya:
Apa yang bisa dipelajari mahasiswa hukum dan politik dari peristiwa ini?
Jawab:
Mereka bisa mempelajari:
Kapan pengampunan negara dibenarkan secara moral dan hukum. Bagaimana hukum bisa bersifat restoratif, bukan retributif. Bahwa hukum tidak boleh berdiri di atas dendam, tetapi keadilan substansial dan stabilitas sosial. Ini membuka ruang kajian hermeneutika politik, yakni siapa yang berhak menafsirkan "salah dan benar" dalam dinamika kekuasaan.
Tanya:
Adakah nilai positif lain dari sisi demokrasi?
Jawab:
Tentu. Kasus ini menjadi semacam "laboratorium demokrasi", tempat kita menguji apakah:
Lembaga negara lain (DPR, MA, publik sipil) berfungsi sebagai pengimbang atau tidak.
Media dan masyarakat sipil mampu membedakan antara pencitraan dan substansi hukum.
Rakyat belajar bahwa pemaafan politik pun harus dipertanggungjawabkan secara etis.
Tanya:
Lantas bagaimana kita menyikapi secara dewasa?
Jawab:
Dengan kritis namun tidak reaktif. Kita perlu mendengar dari berbagai perspektif tapi yang terpenting, kita sebagai kaum intelektual harus tetap menjaga jarak dari fanatisme politik, dan mendorong pendewasaan hukum, kekuasaan, dan kesadaran publik.