Ketua Komisi XIII DPR RI Willy Aditya prihatin atas kasus dugaan kekerasan seksual terhadap mahasiswa oleh guru besar Universitas Soedirman (Onsoed). Willy pun mendorong agar setiap pelaku kekerasan seksual dikenakan sanksi pidana dengan menggunakan Undang-Undang No 12 tahun 2022 tentang Tidak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS).
Menurut Willy, mekanisme penanganan tindak kekerasan seksual sudah seharusnya sesuai dengan UU TPKS. Willy heran, sudah tiga tahun UU TPKS diberlakukan namun belum ada satupun pelaku yang dijerat dengan UU ini.
"Kasus yang terjadi di Unsoed tidak bisa menggunakan Permenristekdikti yang hanya menghukum secara administratif. Prilaku tidak beradab di lingkungan pendidikan sudah semestinya ditindak sangat tegas dengan UU TPKS," kata Willy, Senin (28/7/2025).
"Mau dia guru besar atau tukang parkir, semua sama di hadapan hukum," tegasnya.
Willy kembali mengungkit semangat progresif pengesahan UU TPKS yang dibuat untuk mengentaskan masalah kekerasan seksual yang 'kronis' di Indonesia. Menurut mantan Ketua Panja RUU TPKS itu, UU ini sudah cukup lengkap dan jelas mengatur hukuman bagi pelaku.
"Bahkan bukan hanya soal menghukum pelaku, perbaikan rasa keadilan bagi korban dan mekanisme hukum acara serta rehabilitasi pun tersedia," jelas Willy.
Oleh karena itu, Willy menilai peraturan-peraturan lama di lingkungan akademis dan lingkungan masyarakat lainnya yang belum merujuk ke UU TPKS harus segera diubah. Ia menegaskan bahwa menunda penyelesaian kasus kekerasan seksual sama artinya dengan menghukum korban.
"UU TPKS ini menempatkan korban sebagai mahkota pengungkapan kasus. Jadi tidak bisa berlama-lama mencari bahan untuk diperiksa, sementara pelaku masih berkeliaran," tuturnya.
"Kampus harusnya menjadi avant garde memajukan peradaban tanpa kekerasan seksual," imbuh Willy.
Willy mendorong pemerintah untuk segera mengeluarkan peraturan pelaksana dari UU TPKS. Sebab menurut Willy, kasus-kasus kekerasan seksual tidak bisa hanya diselesaikan dengan sanksi administratif saja.
"Kerja kolaboratif dan komitmen itu penting. Kalau hanya menunggu, kita akan memperpanjang barisan korban. Maka perlu tindakan progresif," ungkap Wakil Ketua Baleg DPR periode 2019-2024 itu.
"Masyarakat menggunakan UU TPKS sebagai dasar laporan, aparat penegak hukum menangani dengan menemukan praktek hukum, demikian juga dengan hakim dan semua pihak terkait," tambah Willy.
Willy pun memastikan akan terus mengawal kasus-kasus tindak pidana kekerasan seksual seperti yang terjadi di Unsoed, sebagai bagian dari tanggung jawab moral dan panggilan sosialnya sebagai anggota DPR. Apalagi ini berkaitan terhadap pemenuhan hak korban, yang merupakan hak asasi manusia (HAM) sebagai individu.
"DPR akan terus pantau kasus di Unsoed dan lainnya. Kita perlu mengikatkan komitmen bahwa kasus-kasus serupa harus selesai dengan mekanisme yang disediakan oleh UU TPKS," ujar Willy.
(eva/lir)