Jawaban Fadli Zon Bikin Legislator Menangis di Senayan

Tim detikcom - detikNews
Kamis, 03 Jul 2025 07:23 WIB
Halaman ke 1 dari 2
Menteri Kebudayaan Fadli Zon menghadiri rapat kerja di Komisi X DPR, Senayan, Jakarta, Rabu (2/7/2025). (Foto: Anggi Muliawati/detikcom).
Jakarta -

Momen rapat kerja Menteri Kebudayaan (Menbud) Fadli Zon di Komisi X DPR diwarnai emosional. Tangis anggota Dewan pecah saat berbicara dengan Fadli Zon mengenai polemik pemerkosaan massal 1998.

Fadli Zon menyampaikan pandangannya yang mempertanyakan diksi 'massal' dalam tragedi tersebut. Namun pandangannya itu menuai kritik di rapat. Simak rangkumannya di detikcom.

Rapat Kerja Komisi X DPR

Komisi X DPR memanggil Fadli Zon dalam rapat membahas RKA-K/L TA 2026 dan RKP K/L Tahun 2026 di ruang rapat Komisi X DPR, Senayan, Jakarta, Rabu (2/7/2025). Pada sesi tanggapan anggota Dewan, ramainya isu pemerkosaan massal 1998 tak urung jadi pembahasan.

Salah satunya anggota Komisi X DPR RI Fraksi PDIP Mercy Chriesty Barends yang mendesak Fadli Zon meminta maaf lantaran menyampaikan pernyataan di publik bahwa pemerkosaan massal 1998 tidak ada bukti.

"Bapak bisa baca itu testimoni yang kami bawa. Ini minta maaf kali sangat terganggu, apa susahnya menyampaikan. Satu kasus saja sudah banyak, lebih dari satu kasus. Manusiawi, minta maaf!" kata Mercy.

Pandangan Fadli Zon

Wakil Ketua Komisi X DPR RI My Esti Wijayati tak mampu menahan tangis usai mendengar pandangan Fadli Zon mengenai pemerkosaan massal 1998. My Esti mengaku kecewa karena Fadli Zon dinilai tak peka terhadap peristiwa tersebut.

Mulanya, Fadli Zon mengaku telah membaca data dari Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) mengenai kerusuhan 1998.

"Memang ada data dari TGPF, data ini saya punya dan saya sudah baca di tahun '98 data TGPF ini dan saya punya bundelnya lebih lengkap dan cukup banyak, kita bisa berdebat kalau ada, kita harus kutuk dan kita harus kecam dan harus orang yang melakukan itu harus ada," kata Fadli Zon.

Namun, Fadli Zon meminta jangan masuk narasi adu domba dari kekuatan asing saat itu yang ingin mem-framing. Dia lalu memberikan contoh sebuah tulisan salah satu majalah, di mana adanya pemerkosaan massal dan terdengar meneriakkan takbir.

"Ditulis di majalah Tempo ini kan mengadu domba, begitu juga mereka yang melakukan perkosaan massal itu berambut cepak arahnya ke militer. Kita tidak ingin ini menjadi narasi adu domba dan kita kemudian mengenyamnya ketelitian, pendokumentasian yang kokoh itu masalahnya," jelasnya.

Fadli Zon memandang pemerkosaan memang terjadi. Namun, dia menegaskan hal itu akan sulit diakui secara hukum lantaran tak ada fakta dan pelaku pemerkosaan.

"Jadi kita tidak ingin narasi ketika itu, apalagi waktu itu itu juga dimuat di berbagai situs seolah-olah perkosaan massal, tapi foto-fotonya itu adalah foto-foto di Hong Kong, di Jepang, dan dari situs-situs," jelasnya.

Fadli Zon pun menyoroti foto-foto yang ada di Far Eastern Economic Review yang diambil dari situs-situs website. Dia menyebut foto itu bukan diambil di Indonesia.

"Di sini bisa dibaca ini masih tahun '98, pertama kali Tempo ini kan dulu dibredel baru '98 terbit kembali, di sini ada jadi kemudian ada juga di Far Eastern Economic Review tentang foto-foto yang ketika itu diambil dari situs-situs website, jadi bukan di Indonesia, itu ditulis oleh Jeremy Wagstaff," ujarnya.

"Jadi ada hal-hal yang menurut saya perlu pendokumentasian yang lebih teliti, supaya jangan sampai kita nanti menimbulkan satu hal yang memecah belah, ini sebenarnya yang kita harapkan," sambung dia.




(fca/fca)
HALAMAN SELANJUTNYA
Berita Terkait
Berita detikcom Lainnya
Berita Terpopuler

Video

Foto

detikNetwork