Perdagangan karbon banyak diperbincangkan belakangan ini. Lembaga Indonesia Carbon Review (ICTR) menyerukan agar perdagangan karbon dilakukan dengan menegakkan hukum dan kedaulatan negara.
"Kami sepakat dengan pernyataan Menteri LHK, Siti Nurbaya Bakar, bahwa perdagangan karbon harus dilakukan secara bertanggung jawab dan berintegritas tinggi demi menjaga kedaulatan negara dan tata kelola sumber daya alam, serta menghindari praktik greenwashing dan 'karbon hantu'," ujar Chairman ICTR, Wieldan Akbar, dalam keterangan tertulis yang diterima, Senin (20/5/2024).
Menurutnya, salah satu poin yang mesti diperhatikan yakni kewajiban pelaku usaha untuk mencatatkan dan melaporkan penyelenggaraan perdagangan karbon pada Sistem Registri Nasional Pengendalian Perubahan Iklim (SRN PPI). Namun menurutnya, masih ditemukan perusahaan yang belum mencatatkan dan melaporkan penyelenggaraan perdagangan karbonnya pada SRN PPI.
"Kami menemukan menemukan dugaan greenwashing sebuah perusahaan pemegang Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan (PBPH) yang bergerak dalam produksi kayu lapis (plywood), diketahui terlibat dalam proyek konservasi Muara Teweh di Kabupaten Barito Utara, Kalimantan Tengah." ujarnya.
"Akan tetapi, proyek konservasi tersebut dijalankan oleh yang belum mencatatkan dan melaporkan pada SRN PPI," sambungnya.
Menyikapi hal tersebut, ICTR meminta pemerintah untuk menegakkan hukum dan perusahaan terkait untuk mentaati peraturan yang berlaku.
Wieldan mengatakan bahwa pelaku usaha yang terlibat dalam perdagangan karbon di Indonesia wajib mentaati peraturan yang berlaku. Pemerintah telah mengeluarkan Peraturan Presiden Nomor 98 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Ekonomi Karbon dan Peraturan Menteri LHK Nomor 21 Tahun 2022 yang keduanya mengatur peraturan perdagangan karbon di Indonesia.
(dwia/dwia)