Belakangan ini perdagangan karbon banyak diperbincangkan, khususnya perdagangan karbon luar negeri. Lantas bagaimana kesiapan Indonesia menghadapi perdagangan karbon yang sedang menjadi isu panas ini?
Terkait kesiapan Indonesia menghadapi perdagangan karbon, detikcom berkesempatan berbincang langsung dengan Dirjen Pengendalian Perubahan Iklim (PPI) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Laksmi Dewanthi. Simak wawancara eksklusif detikcom selengkapnya:
1. Belakang ini banyak diperbincangkan tentang Perdagangan karbon, khususnya Perdagangan karbon luar negeri. Diskursus yang ada juga dikaitkan dengan Perdagangan karbon luar negeri dan bagaimana kesiapan Indonesia untuk mengantisipasinya. Bagaimana pendapat Dirjen Pengendalian Perubahan Iklim?
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sebagai negara yang berkomitmen pada agenda pengendalian perubahan iklim, maka Indonesia membangun regulasi, program aksi dan sistem serta mekanisme untuk mengurangi emisi GRK untuk memenuhi target Nationally Determined Contribution (NDC) dan pengendalian emisi GRK dalam pembangunan nasional. Salah satu mekanisme pendukung yang dikembangkan adalah Nilai Ekonomi Karbon.
Peraturan Presiden Nomor 98 Tahun 2021 telah mengatur tentang Nilai Ekonomi Karbon (NEK) dan tata cara teknisnya juga telah diatur dalam aturan pelaksanaan peraturan Menteri LHK. Dalam Perpes 98 telah diatur tata cara perdagangan karbon baik untuk perdagangan dalam negeri maupun luar negeri. Skema-skema perdagangan itu mencakup Perdagangan emisi, offset karbon, pembayaran berbasis kinerja (result-based payment), pungutan atas karbon, dan mekanisme lainnya yang akan dikembangkan sesuai perkembangan ilmu pengetahuan.
Regulasi dan sistem-sistem pendukung yang ada saat ini telah memadai sebagai dasar bagi Indonesia untuk menyelenggarakan Perdagangan karbon, baik di dalam maupun luar negeri.
2. Salah satu yang ada dalam diskursus adalah bagaimana bentuk kerjasama dalam aksi pengurangan emisi GRK, termasuk kedudukan dan hubungan antara pasar kepatuhan dan pasar sukarela dalam perdagangan karbon. Bagaimana sebenarnya pengaturan tentang bentuk kerjasama tersebut?
Pada dasarnya upaya global untuk menahan kenaikan suhu rata-rata permukaan bumi secara global tidak melebihi 2 derajat celsius dibandingkan kondisi masa pra-industri, bahkan tidak lebih dari 1.5 derajat celsius, akan ditentukan oleh salah satu kunci keberhasilan, yakni kerjasama antar negara pihak serta seluruh pemangku kepentingan. Pasal 6 Paris Agreement (Persetujuan Paris) memberikan prinsip-prinsip bagaimana negara-negara pihak untuk melakukan kerjasama sukarela dalam konteks mekanisme pasar dan non pasar yang dilakukan secara seimbang, untuk membantu pelaksanaan NDC, meningkatkan ambisi dan juga mendukung pembangunan berkelanjutan. Regulasi NEK yang ada di Indonesia juga sejalan dengan semangat Paris Agreement untuk mendorong kerjasama.
3. Bagaimana konkretnya? Pada saat ini, perdagangan karbon yang ada di pasar saat ini sangat beragam, terdapat berbagai skema-skema pemberian kredit karbon (carbon crediting schemes). Apakah ada semacam contoh dari Kerjasama saling Pengakuan yang telah berkembang dan modelnya seperti apa?
Benar, ada banyak skema pemberian sertifikat karbon yang ada. Masing-masing skema tersebut dapat memiliki standar, prosedur dan metodologi yang berbeda-beda. Dalam hal ini, sebagaimana juga dilakukan atau dikenal dalam konteks Perdagangan barang dan jasa lainnya, Kerjasama Saling Pengakuan (Mutual Recognition Agreement/MRA) dalam perdagangan karbon dapat digunakan untuk bermacam tujuan, antara lain untuk meningkatkan kepercayaan dalam hasil akreditasi, meningkatkan volume perdagangan, memfasilitasi kerjasama karbon internasional, dan meminimalkan hambatan pasar. MRA dapat dilakukan antar pemilik skema penerbitan sertifikat pengurangan emisi GRK (SPE GRK), baik oleh Lembaga pemerintah maupun non pemerintah. Modalitas regulasi dalam pelaksanaan MRA telah diatur pada Perpres 98 tahun 2021 (pasal 77)dan Permen LHK 21 tahun 2022 (Pasal 70).
Ada beberapa contoh MRA negara atau jurisdiksi telah memiliki kesepakatan untuk mengakui skema perdagangan karbon satu sama lain, seperti kesepakatan antara Uni Eropa dan Swiss yang mengakui skema karbon masing-masing. Dalam kerjasama yang sering disebut sebagai market linking ini, unit karbon yang serupa PTBAE-PU dari mekanisme Uni Eropa dapat diperdagangkan di jurisdiksi Swiss, demikian sebaliknya.
Sedangkan MRA perdagangan karbon yang dilakukan antar skema sertifikasi saat ini belum ada yang dilakukan secara komprehensif. Namun beberapa skema melakukan pengakuan secara parsial dan/atau tidak terlembaga, seperti CORSIA yang tidak menyelenggarakan skema sertifikasi sendiri namun memperbolehkan penggunaan unit karbon dari beberapa skema terpilih, Gold Standard yang memperbolehkan penggunaan metodologi dari Clean Development Mechanism, dan beberapa contoh lain.
4. Hingga sampai saat ini, apakah di Indonesia ada pengalaman yang nanti dapat dijadikan sebagai contoh MRA untuk mengembangkan MRA dalam perdagangan karbon?
Indonesia memiliki contoh MRA komprehensif yang pernah dilakukan dalam akreditasi lembaga penilaian kesesuaian melalui β "Asia Pacific Accreditation Cooperation Mutual Recognition Arrangement" (APAC MRA). MRA ini merupakan kerja sama di bidang akreditasi antara badan akreditasi nasional di wilayah Asia Pasifik, termasuk Komite Akreditasi Nasional (KAN) Indonesia. Melalui APAC MRA, badan akreditasi yang telah diakui di negara-negara yang terlibat dapat saling mengakui hasil akreditasi mereka, memudahkan perdagangan internasional dan meningkatkan kepercayaan antara negara-negara tersebut.
Dengan demikian MRA dapat menjembatani antar pemilik skema untuk mengatasi hambatan pasar internasional yang dilakukan secara transparan, akurat dan dapat diperbandingkan antar kedua pemilik skema yang saling mengakui dan bekerjasama. Khususnya terkait dengan aspek teknis MRV, otorisasi dan corresponding adjustment, selama mendukung capaian target NDC negara Indonesia, tidak mengganggu tercapainya target NDC dan tidak double counting atau double claim.
5. Dalam konteks nasional, apakah ada regulasi yang dijadikan sebagai dasar dalam pelaksanaan MRA. Selain itu apabila ada mandat regulasi, apakah ada implikasi dalam perdagangan karbon luar negeri?
Sebagaimana saya sampaikan di atas bahwa modalitas regulasi dalam pelaksanaan MRA telah diatur pada Perpres 98 tahun 2021 dan Permen LHK 21 tahun 2022. Perpres 98 tahun 2021 Pasal 77 secara garis besar mengatur bahwa pengelolaan Kerjasama saling pengakuan dilakukan melalui saling membuka informasi penggunaan standar MRV, melakukan penilaian kesesuaian terhadap penggunaan standar internasional dan/atau Standar Nasional Indonesia, pernyataan hasil penilaian kesesuaian terhadap standar internasional dan atau Standar Nasional Indonesia membuat dan melaksanakan kerja sama saling pengakuan (mutual recognition), dan mencatatkan sertifikasi yang diakui kedua belah pihak di SRN PPI.
Pelaksanaan MRA didukung dengan peningkatan kapasitas pelaksanaan verifikasi, publikasi, dan promosi Kerjasama.
Sementara, prosedur melakukan Kerjasama Saling Pengakuan secara lebih rinci diatur melalui Permen 21 tahun 2022 Pasal 68 dan Pasal 70. Langkah nyata yang dilakukan adalah dengan saling membuka system MRV, menyepakati methodology, system registry dan LVV yang digunakan untuk menjamin dan mengendalikan mutu unit karbon yang dihasilkan.
Dapat saya simpulkan bahwa Modalitas dan prosedur secara prinsip telah lengkap dalam regulasi, sehingga MRA dapat dioperasionalkan untuk mengatasi hambatan pasar karbon internasional. Bagi Pelaku Usaha yang telah telah memiliki Sertifikat Pengurangan Emisi yang diterbitkan oleh Lembaga lain dapat melakukan perdagangan karbon luar negeri setelah ada Kerjasama saling pengakuan dan tercatat dalam SRN PPI.
6. Apakah ada semacam pengalaman pengakuan Sertifikat Pengurangan Emisi GRK yang dihasilkan mekanisme sertifikasi selain mekanisme sertifikasi pengurangan Emisi GRK nasional yang pernah dilakukan Indonesia pasca keluarnya regulasi Perpres dan permen sebagaimana ibu Dirjen sampaikan yang mungkin dapat dijadikan sebagai langkah awal sebelum regulasi detail MRA ini dapat dilakukan?
Pengalaman Konversi ini didasarkan pada Ketentuan Peralihan Pasal 86 ayat (1) dinyatakan bahwa Pelaku Usaha yang telah melaksanakan Perdagangan Karbon sebelum Perpres 98/2021 berlaku, wajib mencatatkan dan melaporkan pelaksanaan Aksi Mitigasi Perubahan Iklim dan Unit Karbon yang dimiliki melalui SRN PPI paling lambat 1 (satu) tahun sejak Peraturan Presiden ini diundangkan. Selanjutnya ayat (2) menyatakan bahwa Unit Karbon yang masih dimiliki Pelaku Usaha dan sudah dicatatkan dan dilaporkan melalui SRN PPI sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dijual hanya untuk Perdagangan Karbon dalam negeri.
Selanjutnya aturan main Konversi yang dihasilkan mekanisme sertifikasi selain SPE GRK nasional merujuk pada mandat Perpres 98/2021 Pasal 71 dan pasal 72 ayat (8) dan Permen 21/2022, dimana Kredit karbon dari mekanisme registri lain yang akan dikonversi menjadi SPE-GRK harus memenuhi beberapa kriteria kelayakan, antara lain berasal dari aksi mitigasi yang berlokasi di Indonesia dan telah terdaftar pada Sistem Registri Nasional Pengendalian Perubahan Iklim (SRN PPI), diterbitkan oleh mekanisme asal yang memiliki reputasi baik dan kredibel, serta menerapkan validasi dan verifikasi yang dilakukan oleh pihak ketiga yang terakreditasi oleh UNFCCC atau terakreditasi sesuai ISO 14065 oleh Badan Akreditasi yang menjadi anggota dari International Accreditation Forum (IAF), menggunakan metodologi yang telah ditetapkan oleh Direktorat Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim KLHK, Badan Standarisasi Nasional, atau UNFCCC, dan dihasilkan dari akisi mitigasi sebelum 1 Januari 2021.
KLHK pernah melakukan konversi sejumlah sertifikat karbon yang berasal dari satu skema krediting karbon yang diselenggarakan oleh lembaga non-pemerintah menjadi SPE-GRK. Selanjutnya, lembaga penerbit sertifikat awal menghapuskan sejumlah sertifikat tersebut pada sistem registrasinya, untuk kemudian dicatatkan pada SRN-PPI.
7. Apakah MRA yang dijelaskan tersebut merupakan koridor yang tersedia untuk dapat menyelaraskan skema pemberian sertifikat pengurangan emisi GRK yang diatur dalam pasar kepatuhan dan yang diatur melalui pasar sukarela?
Benar. Tata kelola menjadi kuncinya. Potensi ekonomi karbon dibarengi dengan ketersediaan landasan legal dalam menetapkan Nilai Ekonomi Karbon, dan akan dapat dimanfaatkan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Untuk dapat mewujudkan hal tersebut, maka penyelenggaraan pasar karbon harus menjadi bagian dari upaya penanganan isu perubahan iklim. Oleh karenanya, ekosistem ekonomi karbon yang transparan, berintegritas inklusif dan adil harus diciptakan. Pengaturan NEK oleh Indonesia merupakan salah satu perwujudan komitmen/modal awal untuk menunjang tercapainya Collaborative Management on Climate Change.
Simak Video 'Singapura Hingga Korsel Tertarik Investasi Simpan Karbon Indonesia':