Pembagian waris sudah diatur secara rigid dalam peraturan. Baik untuk yang beragama Islam, non Muslim, merujuk ke hukum waris Tionghoa atau hukum adat. Lalu bagaimana kedudukan keturunan dari istri kedua yang diceraikan?
Hal itu menjadi pertanyaan pembaca detik's Advocate, yaitu:
Assalamualaikum, selamat siang mas/mba
Saya RJ dari Medan
Izin saya bertanya mas/mba dan tim redaksi detikcom
Almarhum bapak saya pernah melaksanakan pernikahan dua kali. Dari pernikahan yang pertama bapak saya memiliki 4 orang anak dan dari pernikahan yang kedua memiliki 2 anak.
Pernikahan yang kedua berujung perceraian,dan saya adalah anak dari pernikahan kedua bapak saya.
Dalam hal ini saya ingin bertanya:
1. Apakah ibu saya berhak atas harta perkawinannya dengan bapak saya yang didapatkan selama pernikahan kedua?
2. Harta yang sedang diperebutkan oleh pihak istri pertama adalah sebuah rumah yang saat ini ditempati oleh ibu saya. Di mana rumah tersebut didapatkan dari pernikahan ibu dan bapak saya. Dan surat rumah tersebut telah disimpan oleh istri pertama.
Apakah ibu saya bisa mendapatkan haknya?
3. Berapakah ketetapan pembagian harta warisan dari bapak untuk ibu saya?
4. Bisakah istri pertama dan anak-anaknya menuntut kami mantan istri kedua dan anak-anak kandung dari alm bapak ?
Mohon pencerahan nya mas/mba
Karena pihak istri pertama akan membawa ke jalur hukum,sementara saya dan keluarga tidak mengerti sama sekali dengan hukum.
Terima kasih
RJ
Medan
Untuk menjawab pertanyaan di atas, kami meminta jawaban dari advokat Hadiansyah Saputra SH. Berikut jawabannya:
Terima kasih atas pertanyaan yang Saudari ajukan. Kami ikut merasa prihatin atas permasalahan yang Saudari alami, semoga Saudari segera menemukan jalan keluar dan penyelesaian yang baik atas permasalahan tersebut.
Sebelum memberikan pendapat dan jawaban kami atas pertanyaan Saudari penting untuk diketahui terlebih dahulu agama dari Pewaris, karena akan menetukan hukum waris mana yang menjadi acuan. Mengingat Saudari tidak menyebutkan agama Pewaris maka izinkan kami berasumsi bahwa Pewaris beragama Islam.
Sebagaimana deskripsi Saudari kami menyimpulkan bahwa Ayah Saudari melakukan poligami dalam arti mempunyai lebih dari seorang istri (dalam hal ini 2 orang Istri) dalam waktu bersamaan. Mengenai pertanyaan Saudari:
1. Apakah ibu saya berhak atas harta perkawinan nya dengan bapak saya yang didapatkan selama pernikahan kedua?
Bahwa kami mengasumsikan yang Saudari maksud dengan harta perkawinan adalah "harta kekayaan dalam perkawinan" atau yang dikenal dengan istilah "Syirkah", yang menurut Kompilasi Hukum Islam (selanjutnya disebut "KHI"), Buku I tentang Hukum Perkawinan, Bab I Ketentuan Umum, huruf (f) adalah:
harta yang diperoleh baik sendiri-sendiri atau bersama suami-isteri selama dalam ikatan perkawinan berlangsung selanjutnya disebut harta bersama, tanpa mempersoalkan terdaftar atas nama siapa pun.
Hal serupa juga diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (selanjutnya disebut "UU Perkawinan"), khususnya Bab VII tentang Harta Benda Dalam Perkawinan, Pasal 35 ayat (1) yang berbunyi:
"(1) Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama".
Mengenai apakah Ibu Saudari selaku Istri kedua berhak atas harta kekayaan dalam perkawinan/Syirkah dengan Ayah Saudari yang didapatkan selama perkawinan kedua, menurut pendapat kami selama tidak ada perjanjian perkawinan mengenai pemisahan harta maka Ibu Saudari selaku Istri kedua tetap berhak atas harta kekayaan dalam perkawinan/Syirkah antara lain berdasarkan ketentuan Pasal 97 KHI yang menyatakan:
"Janda atau duda cerai masing-masing berhak seperdua dari harta bersama sepanjang tidak ditentukan lain dalam perjanjian perkawinan"
Hal senada juga diatur di dalam Pasal 37 UU Perkawinan jo. Putusan Mahkamah Agung RI No. 1448 K/Sip/1974 yang menyatakan:
"Sejak berlakunya UU RI No/1974 tentang perkawinan harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama sehingga pada saatnya terjadinya perceraian harta bersama tersebut harus dibagi sama rata antara bekas istri/suami".
Artinya sepanjang dapat dibuktikan bahwa harta tersebut adalah harta kekayaan dalam perkawinan/Syirkah yang diperoleh Ayah dan Ibu Saudari di dalam perkawinannya yang artinya adalah harta bersama, maka Ibu Saudari berhak mendapatkan bagian atas gono-gini/harta bersama dari perkawinan tersebut.
(asp/dhn)