Semua pasangan yang menikah berharap menjadi keluarga sakinah. Namun dalam mengarungi biduk rumah tangga, aral kerap mendera. Bagaimana menyikapinya?
Hal itu menjadi pertanyaan pembaca detik's Advocate. Berikut selengkapnya:
Saya wanita 46 tahun, sudah menikah 16 tahun, memiliki 3 orang anak (perempuan 15 tahun, Laki-laki 8 tahun dan 6 tahun).
Sebelum menikah sampai tahun 2018, saya dan suami sama-sama bekerja. Saya PNS dan suami pegawai BUMN. Suami hanya memberi nafkah ke saya hanya di 2 bulan awal pernikahan, dengan alasan saya tidak bisa dipercaya karena sering memberi ke keluarga saya (orang tua dan adik). Saya tidak menuntut karena penghasilan saya cukup untuk membiayai semua kebutuhan rumah tangga, kebutuhan pangan, sandang dan tersier keluarga termasuk makan minum suami.
Saya juga yang membayar utang untuk menambah aset karena kenyataannya penghasilan saya yang lebih besar, sehingga di autodebet dari rekening saya untuk semua KPR yang dimiliki. Sedangkan penghasilan suami, gaji dan hasil dari aset yang dimiliki (dikirim ke rekening suami), menurut suami sebagian digunakan untuk saham dan menambah aset selain dari KPR yang saya bayar.
Sejak Januari 2018, keluar persetujuan resign suami dari pekerjaan, dengan alasan kesehatan. Tapi saat mengajukan permohonan resign, suami mengatakan bahwa akan mencoba menjadi pengusaha. Saya mengizinkan karena berpikir masih ada penghasilan dari pekerjaan saya untuk membiayai rumah tangga kami.
Setelah resign, suami mencoba beberapa usaha, tapi belum berhasil, tapi masih memiliki penghasilan dari aset yang dipegang atau dikelola oleh suami.
Suami marah kepada saya, karena saya masih memberikan sebagian dari penghasilan yang saya dapatkan dari pekerjaan kepada keluarga saya (orang tua dan adik saya). Bahkan suami membuka rekening saya untuk dijadikan barang bukti bahwa saya masih mengirimkan sejumlah uang kepada keluarga saya, yang suami saya tidak setujui.
Memang saya pernah (terpaksa) berjanji untuk tidak mengirimkan uang, tapi saya bergumul dalam hati, kenapa saya kok tidak bisa berbakti kepada orang tua, selagi mereka masih ada. Jadi tanpa persetujuannya saya tetap mengirimkan keluarga saya, sebagian dari penghasilan saya, bahkan saya juga mengirimkan ke keluarga suami, walaupun nominal tidak sama. Suami merasa saya tidak adil. Walaupun suami, sama sekali tidak pernah memberikan uang kepada keluarga saya.
Ketika terjadi percekcokan di antara kami, puncaknya April 2023, suami meminta saya untuk memberikan semua rekening yang saya miliki (termasuk transaksi yang sudah bertahun-tahun sebelumnya) untuk melihat berapa yang saya transfer ke keluarga saya. Kalau itu saya berikan baru penghasilan dari aset yang ditransfer di bulan April 2023 akan diberikan ke saya.
Saya berpendapat, kalau penghasilan yang diberikan sejak April 2023 maka saya setuju untuk membuka rekening sejak April 2023. Suami marah sekali karena saya tidak menyetujui permintaannya. Saya dianggap tidak patuh kepada suami.
Penghasilan dari aset, menurut suami kurang lebih Rp 7 juta per bulan. Sejak Januari 2023, suami transfer saya Rp 500 ribu. Setelah melakukan konseling dengan pemuka agama, suami menambah transfer ke saya menjadi Rp 2 juta, dan itu berlangsung sampai Januari 2024. Walau bulan November tidak transfer ke saya. Di bulan November, suami membelikan saya emas dengan harga kurang lebih Rp 2 juta.
Sejak awal Februari 2024, suami memulai usaha di kota berbeda, dan sejak itu, suami tidak lagi menafkahi kami.
Baru-baru ini, suami mengatakan bahwa anak-anak akan dipindah sekolah (dipaksa) dari kota kami mendekati tempat usahanya. Saya tidak menyetujuinya, dan saya dianggap melawan, karena suami ada kepala keluarga dan pembuat keputusan.
Pertanyaan saya, bagaimana pandangan hukum atas sikap suami saya yang tidak menafkahi keluarga dengan baik, dan keinginannya untuk memisahkan anak-anak dari saya?
Apakah ada bantuan hukum yang bisa diberikan kepada saya seandainya suami saya benar-benar mengambil anak-anak saya secara paksa?
Terima kasih,
A
Simak juga 'Anak Kecil Kok Hamil?':
(asp/HSF)