Suami Tak Memberi Nafkah dengan Baik, Saya Harus Bagaimana?

detik's Advocate

Suami Tak Memberi Nafkah dengan Baik, Saya Harus Bagaimana?

Andi Saputra - detikNews
Senin, 22 Apr 2024 09:42 WIB
ilustrasi cerai
Ilustrasi (iStock)
Jakarta -

Semua pasangan yang menikah berharap menjadi keluarga sakinah. Namun dalam mengarungi biduk rumah tangga, aral kerap mendera. Bagaimana menyikapinya?

Hal itu menjadi pertanyaan pembaca detik's Advocate. Berikut selengkapnya:

Saya wanita 46 tahun, sudah menikah 16 tahun, memiliki 3 orang anak (perempuan 15 tahun, Laki-laki 8 tahun dan 6 tahun).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Sebelum menikah sampai tahun 2018, saya dan suami sama-sama bekerja. Saya PNS dan suami pegawai BUMN. Suami hanya memberi nafkah ke saya hanya di 2 bulan awal pernikahan, dengan alasan saya tidak bisa dipercaya karena sering memberi ke keluarga saya (orang tua dan adik). Saya tidak menuntut karena penghasilan saya cukup untuk membiayai semua kebutuhan rumah tangga, kebutuhan pangan, sandang dan tersier keluarga termasuk makan minum suami.

Saya juga yang membayar utang untuk menambah aset karena kenyataannya penghasilan saya yang lebih besar, sehingga di autodebet dari rekening saya untuk semua KPR yang dimiliki. Sedangkan penghasilan suami, gaji dan hasil dari aset yang dimiliki (dikirim ke rekening suami), menurut suami sebagian digunakan untuk saham dan menambah aset selain dari KPR yang saya bayar.

ADVERTISEMENT

Sejak Januari 2018, keluar persetujuan resign suami dari pekerjaan, dengan alasan kesehatan. Tapi saat mengajukan permohonan resign, suami mengatakan bahwa akan mencoba menjadi pengusaha. Saya mengizinkan karena berpikir masih ada penghasilan dari pekerjaan saya untuk membiayai rumah tangga kami.

Setelah resign, suami mencoba beberapa usaha, tapi belum berhasil, tapi masih memiliki penghasilan dari aset yang dipegang atau dikelola oleh suami.
Suami marah kepada saya, karena saya masih memberikan sebagian dari penghasilan yang saya dapatkan dari pekerjaan kepada keluarga saya (orang tua dan adik saya). Bahkan suami membuka rekening saya untuk dijadikan barang bukti bahwa saya masih mengirimkan sejumlah uang kepada keluarga saya, yang suami saya tidak setujui.

Memang saya pernah (terpaksa) berjanji untuk tidak mengirimkan uang, tapi saya bergumul dalam hati, kenapa saya kok tidak bisa berbakti kepada orang tua, selagi mereka masih ada. Jadi tanpa persetujuannya saya tetap mengirimkan keluarga saya, sebagian dari penghasilan saya, bahkan saya juga mengirimkan ke keluarga suami, walaupun nominal tidak sama. Suami merasa saya tidak adil. Walaupun suami, sama sekali tidak pernah memberikan uang kepada keluarga saya.

Ketika terjadi percekcokan di antara kami, puncaknya April 2023, suami meminta saya untuk memberikan semua rekening yang saya miliki (termasuk transaksi yang sudah bertahun-tahun sebelumnya) untuk melihat berapa yang saya transfer ke keluarga saya. Kalau itu saya berikan baru penghasilan dari aset yang ditransfer di bulan April 2023 akan diberikan ke saya.

Saya berpendapat, kalau penghasilan yang diberikan sejak April 2023 maka saya setuju untuk membuka rekening sejak April 2023. Suami marah sekali karena saya tidak menyetujui permintaannya. Saya dianggap tidak patuh kepada suami.

Penghasilan dari aset, menurut suami kurang lebih Rp 7 juta per bulan. Sejak Januari 2023, suami transfer saya Rp 500 ribu. Setelah melakukan konseling dengan pemuka agama, suami menambah transfer ke saya menjadi Rp 2 juta, dan itu berlangsung sampai Januari 2024. Walau bulan November tidak transfer ke saya. Di bulan November, suami membelikan saya emas dengan harga kurang lebih Rp 2 juta.

Sejak awal Februari 2024, suami memulai usaha di kota berbeda, dan sejak itu, suami tidak lagi menafkahi kami.

Baru-baru ini, suami mengatakan bahwa anak-anak akan dipindah sekolah (dipaksa) dari kota kami mendekati tempat usahanya. Saya tidak menyetujuinya, dan saya dianggap melawan, karena suami ada kepala keluarga dan pembuat keputusan.

Pertanyaan saya, bagaimana pandangan hukum atas sikap suami saya yang tidak menafkahi keluarga dengan baik, dan keinginannya untuk memisahkan anak-anak dari saya?

Apakah ada bantuan hukum yang bisa diberikan kepada saya seandainya suami saya benar-benar mengambil anak-anak saya secara paksa?

Terima kasih,
A

Simak juga 'Anak Kecil Kok Hamil?':

[Gambas:Video 20detik]



Untuk menjawab pertanyaan di atas, kami meminta pendapat hukum dari advokat Hadiansyah Saputra, S.H. Berikut jawaban lengkapnya:

Terima kasih atas pertanyaan yang saudari ajukan. Kami ikut merasa prihatin atas permasalahan yang Saudari alami, semoga Saudari segera menemukan jalan keluar dan penyelesaian yang baik atas permasalahan tersebut.

Pertanyaan Saudari:

1. bagaimana pandangan hukum atas sikap suami saya yang tidak menafkahi keluarga dengan baik, dan keinginannya untuk memisahkan anak-anak dari saya?
2. Apakah ada bantuan hukum yang bisa diberikan kepada saya seandainya suami saya benar-benar mengambil anak-anak saya secara paksa?

Pendapat kami:

1. Bagaimana pandangan hukum atas sikap suami saya yang tidak menafkahi keluarga dengan baik, dan keinginannya untuk memisahkan anak-anak dari saya?

Bahwa pengertian kata "nafkah" menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah (1) belanja untuk hidup; (uang) pendapatan; (2) bekal hidup sehari-hari; rezeki.

Adapun pengaturan dasar mengenai kewajiban suami untuk memberikan nafkah dapat dilihat antara lain di dalam:

a. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata ("KUHPerdata"), Pasal 107 ayat (2) yang berbunyi:

"Setiap suami wajib menerima isterinya di rumah yang ditempatinya. Dia wajib melindungi isterinya, dan memberinya apa saja yang perlu, sesuai dengan kedudukan dan kemampuannya".

b. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan ("UU Perkawinan"), Pasal 34 ayat (1) yang berbunyi:

"Suami wajib melindungi isterinya dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai kemampuannya".

c. Kompilasi Hukum Islam, Buku I tentang Hukum Perkawinan, Bagian Ketiga tentang Kewajiban Suami, Pasal 80 yang berbunyi:

"Suami wajib melindungi isterinya dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya".

Berdasarkan ketentuan-ketentuan tersebut, dapat kita simpulkan secara jelas satu prinsip bahwa memberikan nafkah ataupun segala sesuatu keperluan hidup istri adalah merupakan kewajiban seorang suami. Namun mengenai berapa besaran nafkah yang harus diberikan seorang suami kepada istrinya itu sepenuhnya disesuaikan dengan kemampuan sang suami tersebut, yang tentunya harus dilaksanakan secara proporsional.

Menurut pendapat kami, jika suami mempunyai kemampuan untuk menafkahi istri dan keluarga dengan cukup, maka sepatutnya suami mencukupi kebutuhan nafkah istri dan keluarganya tersebut dengan cukup pula, namun jika ia tidak menafkahi istri dan keluarganya dengan cukup padahal ia mempunyai kemampuan untuk itu, maka ia telah berlaku tidak adil kepada istri dan keluarganya, oleh karenanya menurut hukum Saudari selaku istri mempunyai hak untuk mengajukan gugatan ke Pengadilan Agama (untuk Muslim) atau Pengadilan Negeri (untuk bukan Muslim) untuk menuntut hak nafkah terhadap suami tersebut.

UU PKDRT

Selain daripada hal di atas, apabila perbuatan suami tersebut mengakibatkan Saudari sebagai istri dan anak-anak Saudari menjadi terlantar, maka suami juga dapat diduga telah melakukan "penelantaran/menelantarkan" sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, khususnya Pasal 9 ayat (1) jo. Pasal 49, yang berbunyi:

Pasal 9 ayat (1):

"Setiap orang dilarang menelantarkan orang dalam lingkup rumah tangganya, padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan atau perjanjian ia wajib memberikan kehidupan, perawatan, atau pemeliharaan kepada orang tersebut".

Pasal 49:

"Dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak Rp 15.000.000 (lima belas juta rupiah), setiap orang yang:

a. Menelantarkan orang lain dalam lingkup rumah tangganya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1);

Sebaliknya, jika sang suami tidak mempunyai kemampuan untuk mencukupi kebutuhan nafkah istri dan keluarga, maka sepatutnya tentu istri juga dapat memahami keadaan suaminya, dan bersama-sama mencari jalan keluar dari kondisi tersebut.

Sebagai perbandingan dan untuk keberimbangan, kiranya perlu juga kami sampaikan mengenai kewajiban istri terhadap suami, antara lain:

1. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata ("KUHPerdata"), Pasal 106 ayat (2) yang berbunyi:

"Setiap isteri harus patuh kepada suaminya. Dia wajib tinggal serumah dengan suaminya dan mengikutinya, di mana pun dianggapnya perlu untuk bertempat tinggal".

2. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan ("UU Perkawinan"), Pasal 34 ayat (2) yang berbunyi:

"Istri wajib mengatur urusan rumah-tangga sebaik-baiknya".

3. Kompilasi Hukum Islam, Buku I tentang Hukum Perkawinan, Bagian Keenam tentang Kewajiban Istri, Pasal 83 ayat (1) dan (2) yang berbunyi:

"Kewajiban utama bagi seorang istri ialah berbakti lahir dan batin kepada suami di dalam yang dibenarkan oleh hukum islam".

"Istri menyelenggarakan dan mengatur keperluan rumah tangga sehari-hari dengan sebaik-baiknya".

2. Apakah ada bantuan hukum yang bisa diberikan kepada saya seandainya suami saya benar-benar mengambil anak-anak saya secara paksa?

Bahwa mengenai keinginan suami Saudari untuk memindahkan sekolah anak-anak dari kota dimana saat ini Saudari dan anak-anak bertempat tinggal ke kota yang dekat dengan tempat usaha suami menurut pendapat kami tidak dapat serta merta diartikan sebagai suami mencoba memisahkan Saudari dari anak-anak Saudari.

Bahwa di samping itu selama Saudari dan suami Saudari masih terikat dalam perkawinan maka menurut ketentuan UU Perkawinan, Pasal 47 ayat (1) anak yang belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan ada dibawah kekuasaan orang tuanya selama mereka tidak dicabut dari kekuasaannya, pengaturan serupa juga dapat ditemui di dalam ketentuan Pasal 299 KUHPerdata yang menyatakan "selama perkawinan orang tuanya, setiap anak sampai dewasa tetap berada dalam kekuasaan kedua orang tuanya, sejauh kedua orang tua tersebut tidak dilepaskan atau dipecat dari kekuasaan itu". Artinya sepanjang sepengetahuan kami selama orang tua masih mempunyai kekuasaan tersebut baik suami maupun istri tidak dapat dikategorikan mengambil anak-anak secara paksa.

Lain halnya jika perkawinan telah putus dan telah ditentukan juga siapa yang menjadi wali dari anak-anak tersebut, sehingga jika pihak yang bukan merupakan wali mengambil anak-anak tersebut dari walinya maka setidaknya dapat diduga melanggar ketentuan Pasal 330 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ("KUHP"), yang berbunyi:

(1) Barang siapa dengan sengaja menarik seorang yang belum cukup umur dari kekuasaan yang menurut undang-undang ditentukan atas dirinya, atau dari pengawasan orang yang berwenang untuk itu, diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun

(2) Bilamana dalam hal ini dilakukan tipu muslihat, kekerasan atau ancaman kekerasan, atau bilamana anaknya belum berumur dua belas tahun, dijatuhkan pidana penjara paling lama sembilan tahun.

Sebagai edukasi perkenankanlah kami mengingatkan bahwa dalam menjalankan biduk rumah tangga terkadang kita mengalami masa-masa yang sulit, namun sedapat mungkin suami dan istri harus berjuang untuk menjalin komunikasi 2 (dua) arah yang intensif, meredam ego, terbuka dan berusaha untuk saling mengerti agar tercapai persesuaian mengenai pemahaman bersama atas kondisi dan situasi di dalam rumah tangga maupun mengenai keinginan dan harapan masing-masing suami maupun istri, demi kebersamaan dan keutuhan dalam rumah tangga dan agar suami dan istri tidak saling "menyakiti" satu sama lain, dengan tentunya kita harus mengenang kembali mengenai alasan kita menikah dan membina rumah tangga dengan pasangan kita. Demikian pula kita selaku orang tua harus sensitif terhadap kemungkinan perasaan yang dirasakan oleh anak-anak kita akibat perselisihan yang terjadi, jangan sampai rangkaian perselisihan, pertengkaran dan keributan antara orang tua meninggalkan bekas luka yang mendalam di dalam diri anak-anak kita yang pada akhirnya dapat mempengaruhi kondisi psikis dan karakter anak-anak di kemudian hari.

Mungkin tidak ada pernikahan yang sempurna, namun sebaik-baik yang bisa kita lakukan adalah menjaga pernikahan itu dengan sebaik-baiknya.

Demikian jawaban dan pendapat kami, semoga bermanfaat untuk menyelesaikan permasalahan yang Saudara alami.

Terima kasih.

Referensi:

β€’ Kitab Undang-Undang Hukum Perdata;
β€’ Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan;
β€’ Kompilasi Hukum Islam;
β€’ Kitab Undang-Undang Hukum Pidana;
β€’ Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga.

Demikian Pendapat Hukum ini kami berikan sesuai dengan independensi dan profesionalisme kami selaku advokat. Atas perhatian dan kerja sama yang baik, kami ucapkan terima kasih.

Hormat Kami

Hadiansyah Saputra, S.H.

Advokat


Tentang detik's Advocate

detik's Advocate adalah rubrik di detikcom berupa tanya-jawab dan konsultasi hukum dari pembaca detikcom. Semua pertanyaan akan dijawab dan dikupas tuntas oleh para pakar di bidangnya.

Pembaca boleh bertanya semua hal tentang hukum, baik masalah pidana, perdata, keluarga, hubungan dengan kekasih, UU Informasi dan Teknologi Elektronik (ITE), hukum merekam hubungan badan (UU Pornografi), hukum internasional, hukum waris, hukum pajak, perlindungan konsumen dan lain-lain.

Identitas penanya bisa ditulis terang atau disamarkan, disesuaikan dengan keinginan pembaca. Seluruh identitas penanya kami jamin akan dirahasiakan.

Pertanyaan dan masalah hukum/pertanyaan seputar hukum di atas, bisa dikirim ke kami ya di email: redaksi@detik.com dan di-cc ke-email: andi.saputra@detik.com

detik's advocate

Kami harap pembaca mengajukan pertanyaan dengan detail, runutan kronologi apa yang dialami. Semakin baik bila dilampirkan sejumlah alat bukti untuk mendukung permasalahan Anda.

Semua jawaban di rubrik ini bersifat informatif belaka dan bukan bagian dari legal opinion yang bisa dijadikan alat bukti di pengadilan serta tidak bisa digugat.

Halaman 5 dari 5
(asp/HSF)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini
Selengkapnya



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Ajang penghargaan persembahan detikcom bersama Polri kepada sosok polisi teladan. Baca beragam kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini.
Hide Ads