Konflik keluarga penuh cerita. Salah satunya dialami pembaca detik's Advocate. Seorang suami diusir istrinya sehingga sakit. Setelah itu, si mantan istri tidak mau berbagi harta gono-gini. Bagaimana solusi hukumnya?
Berikut pertanyaan lengkap pembaca yang diterima detik's Advocate. Pembaca detikcom juga bisa mengajukan pertanyaan serupa dan dikirim ke email: redaksi@detik.com dan di-cc ke andi.saputra@detik.com.
Assalamualikum. Wr.wb
Selamat pagi
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Perkenalkan saya andi dari Bekasi
Saya mau bertanya tentang pembagian harta gono gini yang sulit dibagi oleh mantan istri.
Saya digugat cerai sama istri karena saya sakit keras, dan saya tidak diberikan suart pemberitahuan sidang perceraian dari Pengadilan Agama. Tiba-tiba selang beberapa minggu saya mendapatkan surat akta cerai dari Pengadilan Agama, dan kondisi saya sedang sakit keras, saya diusir dari rumah sendiri karena saya sedang sakit maka saya tidk bisa melawan. Padahal rumah itu atas nama sertifikat saya. Akhirnya saya diberi tempat tinggal oleh temen saya karena saya terlantar.
Saya mempunyai 2 anak laki-laki berusia 12 tahun dan 18 tahun. Semua anak saya tidak ada yang peduli karena doktrin mantan istri.
Rumah dikuasai oleh mantan istri dan didukung oleh saudara-saudaranya.
Sewaktu saya sakit keras saya dipaksa agar mengambil kredit ke bank dengan agunan sertifikat rumah, uang pencairan sudah di tangan istri dan saya digugat cerai lalu diusir dari rumah sendiri (rumah yang menjadi agunan bank atas nama saya)
Saya meminta pembagian harta gono gini secara kekeluargaan tetapi mantan istri menahan menunggu waktu yang tidak ditentukan. Padahal hidup saya sudah sebatang kara, tidak punya rumah dan saya menumpang ke teman saya.
Mohon petunjuk agar rumah tersebut cepat dijual dan dibagi hasilnya.
Sedangkan saya masih dalam keadaan sakit stroke dan mungkin aga susah untuk bolak-balik ke pengadilan atau sewa pengacara.
Terimakasih
Walaikumsalam.wr.wb
Untuk menjawab pertanyaan pembaca detik's Advocate di atas, kami meminta pendapat advokat Yudhi Ongkowijaya, S.H., M.H. Berikut penjelasan lengkapnya:
Terima kasih atas pertanyaan yang disampaikan. Kami akan membantu untuk menjawabnya.
Konsep mengenai harta bersama pada awalnya berasal dari adat istiadat yang berkembang dalam masyarakat, yang kemudian didukung dan diatur oleh hukum positif yang berlaku di Indonesia. Rumusan tentang harta bersama dapat dilihat dalam ketentuan Pasal 35 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan (UU 1/1974), yang menyatakan bahwa harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama.
Kemudian, di dalam ketentuan Pasal 1 huruf (f) Kompilasi Hukum Islam (KHI), menyebutkan bahwa harta kekayaan dalam perkawinan atau syirkah adalah harta yang diperoleh baik sendiri-sendiri atau bersama suami istri selama dalam ikatan perkawinan berlangsung selanjutnya disebut harta bersama, tanpa mempersoalkan terdaftar atas nama siapapun. Lalu juga, di dalam ketentuan Pasal 119 Ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata), yang menyatakan bahwa mulai dari saat perkawinan dilangsungkan, demi hukum berlakulah persatuan bulat antara harta kekayaan suami dan istri, sepanjang tidak ditentukan lain dalam Perjanjian Perkawinan.
Terkait dengan pembagian harta bersama, bisa dilihat dalam ketentuan Pasal 37 UU 1/1974, yang menyatakan bila perkawinan putus karena perceraian, harta bersama diatur menurut hukumnya masing-masing. Kalimat "menurut hukumnya masing-masing" disini berarti mengacu kepada hukum agama, hukum adat, dan hukum-hukum lainnya.
Yurisprudensi Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1448 K/Sip/1974 mempertegas ketentuan Pasal 37 tersebut dengan menyatakan bahwa sejak berlakunya Undang-Undang Perkawinan sebagai hukum positif, maka harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama sehingga pada saat terjadinya perceraian, harta bersama tersebut harus dibagi sama rata antara mantan suami istri.
Selanjutnya, di dalam ketentuan Pasal 97 KHI, dinyatakan bahwa janda atau duda yang bercerai, maka masing-masing berhak seperdua (Β½) dari harta bersama, sepanjang tidak ditentukan lain dalam Perjanjian Perkawinan.
Berdasarkan pertanyaan Saudara, rumah yang menjadi harta bersama saat ini dikuasai sepihak oleh mantan istri. Sekalipun demikian, hal tersebut tidak mengakibatkan hak kepemilikan atas rumah menjadi beralih sepenuhnya ke pihak mantan istri. Demikian pula, mantan istri tidak dapat melakukan perbuatan hukum apapun terhadap rumah tersebut. Hal ini mengacu kepada ketentuan Pasal 92 KHI, yang menyatakan suami atau istri tanpa persetujuan pihak lainnya, tidak diperbolehkan menjual atau memindahkan harta bersama. Terkait dengan rumah yang sudah diagunkan untuk fasilitas kredit, maka menjadi beban utang bersama yang harus dikurangi dari harta bersama sebelum dilakukan pembagian.
Menurut pendapat kami, dengan memperhatikan kondisi Saudara saat ini yang sedang sakit, maka perihal pembagian harta bersama sebaiknya dibicarakan secara musyawarah dengan mantan istri dan keluarga lainnya. Namun apabila pembicaraan secara musyawarah kekeluargaan tidak mendapatkan titik temu, maka dengan sangat terpaksa Saudara mesti menempuh upaya hukum dengan mengajukan Gugatan Pembagian Harta Bersama (harta gono gini) ke Pengadilan Agama.
Hal ini mengacu kepada ketentuan Pasal 88 KHI, yang menyebutkan bahwa apabila terjadi perselisihan antara suami istri tentang harta bersama, maka penyelesaian perselisihan itu diajukan kepada Pengadilan Agama. Kewenangan Pengadilan Agama tersebut juga sesuai dengan apa yang tercantum pada bagian Penjelasan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama Pasal 49 Ayat (2), yang menyatakan bahwa bidang perkawinan sebagaimana dimaksud dalam Ayat (1) huruf (a) ialah hal-hal yang diatur dalam atau berdasarkan undang-undang mengenai perkawinan yang berlaku, salah satunya yaitu mengenai penyelesaian harta bersama.
Demikian jawaban dari kami, semoga dapat bermanfaat. Salam.
Yudhi Ongkowijaya, S.H., M.H.
Partner pada Law Office ELMA & Partners
www.lawofficeelma.com
![]() |
Tentang detik's Advocate
detik's Advocate adalah rubrik di detikcom berupa tanya-jawab dan konsultasi hukum dari pembaca detikcom. Semua pertanyaan akan dijawab dan dikupas tuntas oleh para pakar di bidangnya.
Pembaca boleh bertanya semua hal tentang hukum, baik masalah pidana, perdata, keluarga, hubungan dengan kekasih, UU Informasi dan Teknologi Elektronik (ITE), hukum merekam hubungan badan (UU Pornografi), hukum internasional, hukum waris, hukum pajak, perlindungan konsumen dan lain-lain.
Identitas penanya bisa ditulis terang atau disamarkan, disesuaikan dengan keinginan pembaca. Seluruh identitas penanya kami jamin akan dirahasiakan.
Pertanyaan dan masalah hukum/pertanyaan seputar hukum di atas, bisa dikirim ke kami ya di email: redaksi@detik.com dan di-cc ke-email: andi.saputra@detik.com
Semua jawaban di rubrik ini bersifat informatif belaka dan bukan bagian dari legal opinion yang bisa dijadikan alat bukti di pengadilan serta tidak bisa digugat.
Lihat juga Video: Jengkel Ditinggal Nikah, Istri di Probolinggo Dibunuh Suami-Anak Kandung