Memiliki rumah bisa jadi menjadi mimpi setiap orang. Tapi bagaimana bila sudah down payment (DP) tapi proyek malah mangkrak? Apa solusi hukumnya?
Hal itu menjadi pertanyaan pembaca detik's Advocate, yaitu:
Selamat pagi pak
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Saya September 2022 akad KPR rumah dgn depelover dengan membayar DP Rp 50 juta. Lokasi rumah ada di belakang Polsek Cipayung. Sebelum pembayaran DP, yang membuat kami yakin untuk membayar DP, bangunan yang dibuat di lokasi sudah dibuat 2 bangunan tapi belum jadi. (1 bangunan baru pondasi, 1 sudah jadi setengah rumah).
Tanya ke RT setempat katanya tanah lagi di urus perizinan. Tapi sampai dengan sekarang rumah yang dimaksud belum kunjung ada progresnya. Berulang kali di pertanyakan kepada depelover yang bersangkutan mereka beralasan kalau tukangnya lagi istirahat, lagi musim hujan dan lain-lain.
Setelah dicari informasi, ternyata tanahnya masih bermasalah. Di SPR-nay tidak tertulis kapan rumah akan dibuat. Kami terus mendesak developer tersebut, sampai sekaramg tidak ada respon dari pihak mereka.
Bagaimana agar mereka mengembalikan uang DP saya?
Kami sudah laporan kepolisian tapi tidak ada tanggapan pak.
Tolong masukkannya pak
Baca juga: KPR Saya Lancar Tapi AJB Tak Kunjung Datang, Apa Solusi Hukumnya? |
Terima kasih atas pertanyaan yang Saudara sampaikan. Kami akan membantu untuk menjawabnya.
PERDATA
Kami mengasumsikan adanya suatu Perjanjian Pengikatan Jual Beli sebagai dasar perikatan antara Saudara dan pihak developer, sehingga permasalahan yang sedang dihadapi saat ini sepenuhnya harus mengacu kepada isi Perjanjian Pengikatan Jual Beli yang sudah disepakati.
Aturan hukum tentang Perjanjian Pengikatan Jual Beli atas suatu rumah terdapat di dalam Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 2016 Tentang Penyelenggaran Perumahan Dan Kawasan Permukiman (PP 14/2016) Juncto Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2021 Tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 2016 Tentang Penyelenggaran Perumahan Dan Kawasan Permukiman (PP 12/2021). Di dalam Pasal 1 Angka (11) PP 12/2021 dinyatakan bahwa, Perjanjian Pendahuluan Jual Beli atau Perjanjian Pengikatan Jual Beli yang selanjutnya disebut PPJB adalah kesepakatan antara pelaku pembangunan dan setiap orang, untuk melakukan jual beli Rumah atau satuan Rumah susun, yang dapat dilakukan oleh pelaku pembangunan sebelum pembangunan untuk Rumah susun atau dalam proses pembangunan untuk Rumah tunggal dan Rumah deret, yang dibuat di hadapan Notaris.
Selanjutnya berdasarkan ketentuan Pasal 22 Huruf (I) PP 12/2021, PPJB dilakukan setelah developer memenuhi persyaratan kepastian atas :
a. Status kepemilikan tanah;
b. Hal yang diperjanjikan;
c. Persetujuan Bangunan Gedung (PBG);
d. Ketersediaan prasarana, sarana, dan utilitas umum;
e. Keterbangunan paling sedikit 20% (dua puluh persen).
Kemudian berdasarkan ketentuan Pasal 22 Huruf (J) PP 12/2021, PPJB paling sedikit harus memuat :
a. Identitas para pihak;
b. Uraian obyek PPJB;
c. Harga Rumah dan tata cara pembayaran;
d. Jaminan pelaku pembangunan;
e. Hak dan kewajiban para pihak;
f. Waktu serah terima bangunan;
g. Pemeliharaan bangunan;
h. Penggunaan bangunan;
i. Pengalihan hak;
j. Pembatalan dan berakhirnya PPJB;
k. Penyelesaian sengketa.
Oleh karena PPJB bentuknya adalah perjanjian, maka secara umum tunduk kepada ketentuan yang diatur di dalam Pasal 1313 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) yang menyatakan bahwa, perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih. Selain itu, juga bersandar kepada ketentuan Pasal 1320 KUHPerdata yang menyatakan bahwa untuk sahnya perjanjian diperlukan empat syarat yakni, sepakat, cakap, adanya suatu hal tertentu, dan suatu sebab yang halal.
Terhadap isi dari PPJB yang sudah ditandatangani wajib dilaksanakan oleh para pihak dengan sebaik-baiknya, sehingga dengan demikian terikat kepada ketentuan Pasal 1338 Ayat (1) dan Ayat (3) KUHPerdata, yaitu bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya; Suatu perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik.
Berdasarkan aturan-aturan hukum tersebut di atas, maka tindakan developer yang tidak memenuhi janjinya, dapat dituntut secara perdata melalui gugatan ke Pengadilan Negeri. Pelanggaran dalam memenuhi janji atau prestasi menyebabkan Wanprestasi. Wanprestasi adalah kelalaian / ketidakmampuan debitur dalam memenuhi prestasi. Adapun prestasi dapat dilihat dari ketentuan Pasal 1234 KUHPerdata yang menyatakan :
"Tiap-tiap perikatan adalah untuk memberikan sesuatu, untuk berbuat sesuatu, atau untuk tidak berbuat sesuatu".
Lebih lanjut, Prof. Subekti, S.H. dalam bukunya Hukum Perjanjian, menjelaskan tentang Wanprestasi seorang debitur dapat berupa empat macam yaitu :
β’ Tidak melakukan apa yang disanggupi untuk dilakukannya;
β’ Melakukan apa yang dijanjikannya, namun tidak sebagaimana yang dijanjikan;
β’ Melakukan apa yang dijanjikannya, namun terlambat;
β’ Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukan.
Simak juga Video: Rumah DP Rp 0 Jadi Kosan, Riza Patria: Sampaikan ke Pemerintah Sekarang