Hakim MK Minta Ortu Anak Cerebral Palsy Perjelas Gugatan soal Ganja Medis

Andi Saputra - detikNews
Minggu, 18 Feb 2024 09:50 WIB
Ilustrasi MK (Foto: Ari Saputra/detikcom)
Jakarta -

Pipit Sri Hartanti dan Supardi meminta agar Mahkamah Konstitusi (MK) melegalisasi ganja untuk keperluan medis. Alasannya, salah satu anak mereka mengalami cerebral palsy sejak kecil.

Pipit-Supardi menggugat UU 8 tahun 1976 tentang Pengesahan Konvensi Tunggal Narkotika 1961 Beserta Protokol yang Mengubahnya. Dalam permohonannya, keduanya menguji Pasal 1 ayat (2) UU 8/1976 yang menyatakan:

Protokol yang mengubah Konvensi Tunggal Narkotika 1961 yang salinan-salinan naskahnya dilampirkan pada undang-undang ini

Dan materi Paragraf 7 dan Paragraf 8 UU Narkotika. Menurut Pemohon, kedua pasal tersebut bertentangan dengan Pasal 28C Ayat (1), Pasal 28D Ayat (1), Pasal 28H Ayat (1), dan Pasal 28H Ayat (2) UUD 1945.

Atas gugatan itu, hakim konstitusi M Guntur Hamzah menekankan tentang konsiderans 'mengingat' yang diujikan para Pemohon. Dia mengatakan hal itu dapat merusak konstruksi dari sebuah undang-undang.

"Apa arti dari permintaan ini, jelaskan lagi sehingga tidak kabur. Kalau begini saja, Mahkamah akan menilai kabur karena petitum yang dibuat menimbulkan kebingungan," kata Guntur sebagaimana tertuang dalam risalah sidang MK, yang dikutip dari website MK, (18/2/2024).

Hakim konstitusi Daniel Yusmic memberikan nasihat perbaikan permohonan berupa keharusan para pemohon untuk menguraikan pasal-pasal yang dijadikan landasan pengujian dengan kerugian konstitusionalitas norma yang terlanggar.

"Juga perlu memberikan perbandingan dengan keberlakuan konvensi internasional yang berlaku di beberapa negara lainnya," kata Daniel.

Pengacara Pipit-Supardi, Singgih Tomi Gumilang, menyampaikan kliennya telah melakukan upaya untuk kesembuhan anaknya. Menurutnya, terapi menggunakan minyak dari formulasi cannabis atau ganja dengan kandungan cannabidiol dan THC efektif kepada anak yang menderita gangguan motorik kompleks.

"Penggolongan zat narkotika merupakan hak setiap negara sepanjang dilakukan dengan niat baik untuk pengembangan layanan kesehatan dan kemampuan mengontrol zat dengan memastikan izin edar sesuai dengan peruntukkannya," ujar Singgih.

"Para Pemohon memohon agar Mahkamah menyatakan muatan materi dari Pasal 1 ayat (2) beserta Penjelasannya serta materi muatan Paragraf 7 dan Paragraf 8 uji Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1976 tentang Pengesahan Konvensi Tunggal Narkotika 1961 Beserta Protokol yang Mengubahnya sepanjang kalimat 'Protokol yang Mengubah Konvensi Tunggal Narkotika 1961' dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengingat sepanjang tidak dimaknai sebagai 'Protokol yang Mengubah Konvensi Tunggal Narkotika hingga protokol sesi ke-63 termasuk di dalamnya dokumen Commission on Narcotic Drugs Sixty-third session Vienna, 2-6 March 2020, yang menggunakan dokumen E/CN.7/2020/CRP.9'," sambungnya.

Sidang akan dilanjutkan lagi pada 26 Februari 2024. Untuk diketahui, MK pernah mengadili isu serupa soal ganja medis. MK menolak gugatan UU Narkotika serta menyatakan dapat memahami dan memiliki rasa empati yang tinggi kepada para penderita penyakit tertentu yang menurut para penggugat dapat disembuhkan dengan terapi yang menggunakan jenis Narkotika Golongan I.




(asp/haf)
Berita Terkait
Berita detikcom Lainnya
Berita Terpopuler

Video

Foto

detikNetwork