Apakah Suami Banyak Utang Bisa Jadi Alasan Gugat Cerai?

detik's Advocate

Apakah Suami Banyak Utang Bisa Jadi Alasan Gugat Cerai?

Tim detikcom - detikNews
Selasa, 30 Jan 2024 09:30 WIB
Pengacara Yudhi Ongkowijoyo
Yudhi Ongkowijoyo (dok.pri)
Jakarta -

Banyak alasan mengapa perceraian terjadi. Seperti kekerasan dalam rumah tangga hingga perselingkuhan. Namun, bisakah pasangan yang banyak utang menjadi alasan perceraian?

Hal itu menjadi pertanyaan pembaca detik's Advocate. Berikut pertanyaan selengkapnya:

Ada beberapa pertanyaan mohon bantuan nasihatnya.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Perusahaan suami memiliki utang kepada beberapa rekanannya maupun pada mandor dan pekerja. Apakah utang perusahaan tersebut istri dan anak anak juga turut bertanggung jawab jika suami istri bercerai?

Sementara, istri dan anak-anak sama sekali tidak dilibatkan dalam pengelolaan perusahaan hingga proses utang-utang tersebut. Istri tersebut bekerja dan hasil pekerjaannya untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarga dan sang suami juga sudah lama tidak memberikan nafkah serta sudah pisah rumah beberapa bulan. Namun para debitur sering menanyakan bahkan mendatangi rumah untuk menanyakan keberadaan suami (mengganggu).

ADVERTISEMENT

Dengan alasan tersebut apakah bisa jadi alasan perceraian?

Namun suami belum bisa daftar ke pengadilan karena alasan menunggu ada uang dulu.
Dan bagaimana dengan hak atas dua anak yang telah dewasa? (sulung perempuan sudah berusia 22 tahun masih single, bungsu laki laki berusia 21 tajun masih single dan kuliah)

Mohon nama saya disamarkan.

Terima kasih

Untuk menjawab pertanyaan pembaca detik's Advocate di atas, kami meminta pendapat advokat Yudhi Ongkowijaya SH MH. Berikut penjelasan lengkapnya:

Terima kasih atas pertanyaan yang disampaikan. Kami akan coba membantu untuk menjawabnya.

Kami kurang cukup mendapatkan gambaran mengenai kedudukan suami Saudari di perusahaan, apakah sebagai direktur atau komisaris ataukah sebagai pemegang saham saja. Untuk itu, kami mengasumsikan yang dimaksud dengan perusahaan tersebut adalah berbentuk perseroan terbatas (PT) dan suami Saudari selaku pemiliknya (pemegang saham).

Suatu PT mempunyai kekayaan yang terpisah dari aset pribadi para pemegang sahamnya. Apabila terjadi kerugian maupun bahkan kebangkrutan, maka yang menjadi kewajiban pemegang saham hanya harta kekayaan PT saja sejumlah kepemilikan saham.

Dalam kondisi tertentu, dimungkinkan misalnya jika sebuah PT hendak mengajukan kredit kepada bank dengan jaminan aset perusahaan namun nilai aset tersebut tidak mencukupi, maka perlu dilakukan pengikatan kepada aset pribadi pihak ketiga (direktur/komisaris/pemegang saham) atau dikenal dengan nama Jaminan Perorangan (Personal Guarantee).

Dalam buku "Hukum Jaminan" (UII Press, 2017) karangan Riky Rustam, halaman 79, yang dimaksud dengan Jaminan Perorangan adalah suatu perjanjian dengan mana seorang pihak ketiga, guna kepentingan si berpiutang, mengikatkan diri untuk memenuhi perikatan si berutang manakala orang ini tidak memenuhinya. Namun dengan catatan, yaitu apabila orang yang memberikan jaminan aset pribadinya tersebut ikut menandatangani dokumen Personal Guarantee. Oleh karena itu, utang PT tidak bisa dikaitkan dengan harta kekayaan pribadi direktur/komisaris/pemegang saham selama tidak ada Personal Guarantee dari yang bersangkutan.

Dalam situasi yang demikian, maka Saudari sebagai istri tidak akan terseret-seret atas kewajiban utang perusahaan suami, terlebih apabila antara Saudari dengan suami terdapat Perjanjian Perkawinan/Perjanjian Pisah Harta. Pun misalnya segala harta atau aset yang diperoleh selama masa perkawinan merupakan harta bersama (harta gono gini), hal itu tetap tidak bisa menarik harta kekayaan pribadi suami sepanjang tidak pernah ada dokumen Personal Guarantee yang ditandatangani oleh suami Saudari.

Selain itu, setiap perbuatan hukum atas harta bersama harus mendapatkan persetujuan suami istri, sebagaimana ketentuan Pasal 36 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan (UU 1/1974), yang menyatakan bahwa mengenai harta bersama, suami atau istri dapat bertindak atas perjanjian kedua belah pihak. Artinya, penggunaan harta bersama harus dilakukan atas persetujuan bersama suami istri, kecuali bila ditentukan lain dalam Perjanjian Perkawinan. Jika suami Saudari melakukan perbuatan hukum yang ada kaitannya dengan harta bersama tanpa persetujuan Saudari selaku istrinya yang sah, maka perbuatan tersebut menjadi cacat hukum dan dapat dibatalkan.

Sehubungan dengan kondisi rumah tangga Saudari saat ini yang mengalami permasalahan yang mungkin bisa berakibat kepada perpisahan, pada dasarnya persoalan ekonomi tidak bisa dijadikan alasan untuk mengajukan gugatan perceraian. Namun demikian, apabila permasalahan tersebut berlarut-larut menyebabkan percekcokan yang tidak berkesudahan di antara Saudari dan suami, maka dapat menjadi salah satu alasan untuk menggugat cerai. Hal ini sebagaimana ketentuan Pasal 19 Huruf (f) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, yang menyatakan:

"Perceraian dapat terjadi karena alasan atau alasan-alasan:

f. antara suami-istri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga"

Terkait dengan kewajiban nafkah kepada anak-anak yang harus menerima akibat perceraian orang tuanya, hal ini diatur di dalam ketentuan Pasal 41 UU 1/1974, yang pada pokoknya mengatur bahwa baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya semata-mata berdasarkan kepentingan anak, dan bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan anak itu bilamana bapak dalam kenyataan tidak dapat memenuhi kewajiban, Pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut.

Akan tetapi, ketentuan pasal di atas hanya berlaku bagi anak-anak di bawah umur yang dianggap belum dewasa menurut hukum. Sebagaimana pertanyaan Saudari, anak-anak hasil perkawinan Saudari dan suami saat ini sudah berusia 22 dan 21 tahun hal mana sudah memenuhi usia dewasa menurut hukum, sehingga menurut kami tidak wajib untuk dinafkahi apabila terjadi perceraian diantara orang tuanya.

Demikian jawaban dari kami, semoga dapat bermanfaat. Salam.

Yudhi Ongkowijaya, S.H., M.H.
Partner pada Law Office ELMA & Partners
www.lawofficeelma.com


Tentang detik's Advocate

detik's Advocate adalah rubrik di detikcom berupa tanya-jawab dan konsultasi hukum dari pembaca detikcom. Semua pertanyaan akan dijawab dan dikupas tuntas oleh para pakar di bidangnya.

Pembaca boleh bertanya semua hal tentang hukum, baik masalah pidana, perdata, keluarga, hubungan dengan kekasih, UU Informasi dan Teknologi Elektronik (ITE), hukum merekam hubungan badan (UU Pornografi), hukum internasional, hukum waris, hukum pajak, perlindungan konsumen dan lain-lain.

detik's advocate

Identitas penanya bisa ditulis terang atau disamarkan, disesuaikan dengan keinginan pembaca. Seluruh identitas penanya kami jamin akan dirahasiakan.

Pertanyaan dan masalah hukum/pertanyaan seputar hukum di atas, bisa dikirim ke kami ya di email: redaksi@detik.com dan di-cc ke-email: andi.saputra@detik.com

Kami harap pembaca mengajukan pertanyaan dengan detail, runutan kronologi apa yang dialami. Semakin baik bila dilampirkan sejumlah alat bukti untuk mendukung permasalahan Anda.

Semua jawaban di rubrik ini bersifat informatif belaka dan bukan bagian dari legal opinion yang bisa dijadikan alat bukti di pengadilan serta tidak bisa digugat.

Lihat juga Video: Gegara Utang, Rumah Warga di Surabaya Dilempari Batu

[Gambas:Video 20detik]



(asp/HSF)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini
Selengkapnya



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Ajang penghargaan persembahan detikcom bersama Polri kepada sosok polisi teladan. Baca beragam kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini.
Hide Ads