Sehubungan dengan peringatan Hari Ibu 22 Desember mendatang, Wakil Ketua MPR RI Lestari Moerdijat menekankan momentum ini harus menjadi penegasan akan keberdayaan perempuan, yang berperan penting dalam dinamika pembangunan nasional.
Hal itu disampaikannya saat menjadi pembicara kunci Seminar Nasional Peringatan Hari Ibu Tahun 2023, bertema 'Wanita Kuat dalam bidang Pertahanan, Kebudayaan dan Strategi Pembangunan', di Arsip Nasional Republik Indonesia/ANRI, Jakarta, hari ini.
"Peringatan Hari Ibu 2023 harus menjadi momentum untuk menegaskan bahwa perempuan pada dasarnya berdaya, sehingga pelibatan perempuan dalam upaya pembangunan bangsa adalah sebuah keniscayaan," kata Lestari dalam keterangannya, Kamis (21/12/2023).
Menurutnya, diperlukan perubahan pola pikir dengan menyelami peran perempuan dalam peradaban bangsa. Sehingga, peringatan Hari Ibu menjadi momentum merayakan pencapaian perempuan dalam sejarah, dan mendefinisikan kembali peran perempuan dalam dinamika pembangunan bangsa.
Perempuan Nusantara dalam catatan Portugis, ungkap wanita yang disapa Rerie ini, memiliki keutamaan intelektual dan moral sehingga mampu menjaga kerukunan dan perdamaian, menjadi diplomat antar-kesultanan, mengelola institusi perwakilan, serta mengemban tugas pemerintahan.
Dia pun menyebutkan Ratu Kalinyamat, menjadi salah satu tokoh penting pada abad XVI yang mampu memimpin dalam bidang pertahanan, kebudayaan dan pembangunan sehingga Jepara mencapai puncak kejayaan.
Kepemimpinan Ratu Jepara yang mengagumkan itu disimpulkan dalam satu frasa mendalam Rainha de Japara, Senhora poderosa, e rica1. Ratu Jepara, perempuan sakti dan kaya raya. Sakti merujuk pada pengetahuan mendalam dan kesahajaan yang ditampilkan Ratu Kalinyamat.
Rerie mengatakan sepak terjang Ratu Kalinyamat menjadi inspirasi dan bukti, bahwa perempuan adalah motor penggerak sekaligus peletak pemikiran tentang cinta Tanah Air, yang tampak dengan penolakan pada setiap bentuk kolonialisme.
Anggota Komisi X DPR RI itu menilai, penganugerahan gelar Pahlawan Nasional kepada Ratu Kalinyamat meneguhkan pengakuan bangsa dan negara atas peranan perempuan, yang pernah mengalami distorsi narasi dalam sejarah yang mendiskreditkan peran dan kepemimpinan mereka, hingga mengalami subordinasi sistemik yang melekat dalam budaya.
Lebih lanjut, dia menegaskan jauh sebelum perempuan mengalami pelemahan dalam struktur sosial-budaya, rekam jejak kepemimpinan dan peran perempuan Nusantara telah ada sejak abad VII sampai abad XVII.
Seperti Ratu Shima dari Kerajaan Kalingga di abad VII, Ken Dedes di abad XII, Gayatri Rajapatni di abad XIII, Tribuana Tunggadewi di abad XIV, Dyah Pitaloka Citraresmi di abad XIV, dan Nyai Gede Pinatih di abad XVI.
Rerie meneruskan Perempuan Nusantara memiliki sejarah yang melekat dengan peran penting dalam sebuah tatanan budaya. Mengutip Qismullah Yusuf dalam 21 Wanita Perkasa Yang Ditempa oleh Budaya Aceh (2021), perempuan pada dasarnya diperkasakan dan dilemahkan oleh budaya.
Keseluruhan catatan perjuangan perempuan sesudah abad XVI mengerucut pada pilar pertahanan-keamanan, pengembangan karya intelektual budaya, tatanan sosial kemasyarakatan dan perhatian menyeluruh dalam dinamika pembangunan.
Ironinya, tambah Rerie, dalam perkembangan sejarah perempuan terperangkap dalam subordinasi budaya, subyek yang lekat dengan urusan domestik maupun privat, dan memiliki ruang terbatas dalam dinamika publik sepanjang abad XVII sampai abad XX.
Anggota Majelis Tinggi Partai NasDem itu pun mendorong agar prinsip kesetaraan yang telah tertanam jauh sebelum kolonialisme, harus menempatkan perempuan dan laki-laki mampu berperan dalam ranah privat dan publik sesuai kapabilitas yang dimiliki.
Di akhir, dia menegaskan Penetapan Hari Ibu pada Kongres Perempuan III di Bandung pada 23-27 Juli 1938 lalu, harus menjadi pengingat bagi seluruh anak bangsa tentang pergerakan dan perjuangan perempuan yang tercatat dalam sejarah. Khususnya, tentang peran dan kepemimpinan perempuan sepanjang periode peradaban dalam pertahanan, kebudayaan dan pembangunan bangsa.
(akn/ega)