Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Banten menyoroti setoran retribusi pada sektor pariwisata di Kabupaten Lebak. Salah satu temuannya, retribusi yang masuk ke kas daerah tidak sebanding dengan potensi pendapatan yang diterima pengelola wisata.
Dari rilis laporan hasil pemeriksaan (LHP) BPK tahun 2022, pendapatan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Lebak dari retribusi di sektor wisata sebesar Rp 243,2 juta dari target Rp 243 juta.
Retribusi itu berasal dari Pantai Sawarna di Bayah, Kebun Teh Cikuya di Cibeber, Pemandian Air Panas Tirta Lebak Buana di Cipanas, Pantai Bagedur di Malingping, dan Museum Multatuli di Rangkasbitung.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dari kelima objek retribusi itu, hanya Museum Multatuli yang dikelola oleh Disbudpar Lebak, sedangkan empat objek wisata lainnya dikelola oleh pihak ketiga.
"Penentuan pihak ketiga yang mengelola objek retribusi tidak melalui proses pemilihan, melainkan melalui penunjukan langsung, sehingga Disbudpar tidak berkesempatan untuk memperoleh kerja sama dengan pihak ketiga yang mampu memberikan penawaran lebih baik," sebut rilis LHP BPK yang diterima detikcom, Kamis (23/11/2023).
Dari laporan BPK itu, disebutkan bahwa pengelola pemandian air panas Tirta Lebak Buana membayar retribusi sebesar Rp 70 juta per tahun. Sedangkan potensi pendapatannya bisa mencapai Rp 155,7 juta per tahun dari 12 ribu pengunjung.
Pengelola Pantai Sawarna membayar retribusi Rp 100 juta per tahun. Potensi pendapatannya Rp 533,7 juta per tahun dari 106 ribu pengunjung.
Selain itu, pengelola Kebun Teh Cikuya, Curug Ciporolak dan Lemar Damar membayar retribusi Rp 10 juta per tahun. Potensi pendapatannya Rp 73,6 juta per tahun dari 7.000 pengunjung.
Sedangkan pengelola Pantai Bagedur membayar retribusi Rp 50 juta per tahun. Potensi pendapatannya Rp 163,4 juta per tahun dari 32 ribu pengunjung.
"Data (jumlah pengunjung per tahun di setiap objek wisata) tidak digunakan Disbudpar sebagai dasar pertimbangan untuk menghitung nilai kontribusi dalam perjanjian kerja sama (PKS) dengan pihak ketiga," jelasnya.
"Nilai kontribusi di dalam PKS dapat ditingkatkan dengan mempertimbangkan biaya pengelolaan obyek rekreasi sehingga Pemkab Lebak dapat mengoptimalkan penerimaan PAD," sambungnya.
BPK juga menemukan bahwa kerja sama dengan pihak ketiga ini belum diatur dalam perda ataupun perbup. BPK menyebutkan proses pemilihan pihak ketiga tidak melalui kajian dan masih ada pengelola objek wisata yang belum berbadan hukum.
Tidak hanya itu, BPK juga menemukan ada pengelola wisata yang belum membayar retribusi sesuai dengan perjanjian kerja sama. Salah satu contohnya BumDes AM Hegarmanah selaku pengelola Kebun Teh Cikuya, Curug Ciporolak, dan Lemar Damar, yang baru menyetor Rp 1 juta dari perjanjian Rp 10 juta per tahun.
"Sehingga terdapat kekurangan penyetoran sebesar Rp 9 juta. Dari laporan data pengunjung tahun 2022, realisasi penerimaannya sebesar Rp 61,5 juta sehingga terdapat perbedaan yang cukup signifikan antara realisasi penerimaan dengan besaran kontribusi yang harus disetorkan Bumdes AM Hegarmanah kepada Pemkab Lebak," tambahnya.
BPK kemudian memberikan rekomendasi kepada Bupati Lebak untuk segera menindaklanjuti temuan ini. Bupati diminta membuat perda atau perbup kerja sama pengelolaan retribusi pariwisata dengan pihak ketiga.
Pemkab Lebak juga diminta melakukan kajian sebelum menentukan pengelola objek retribusi dan tarif kontribusinya. Selain itu, Pemkab diminta meningkatkan pengendalian dan pengawasan dalam proses pemilihan pihak ketiga.
(lir/lir)