Hukum perburuhan di Indonesia mengatur sistem ketenagakerjaan, dari prakerja hingga purnakerja. Namun, masih banyak ditemui sengketa dalam kenyataannya.
Hal itu menjadi pertanyaan pembaca detik's Advocate. Pembaca lainnya bisa menanyakan pertanyaan serupa dan dikirim ke e-mail: redaksi@detik.com dan di-cc ke andi.saputra@detik.com. Berikut pertanyaan pembaca:
Yth Bapak/Ibu Advokat
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Saya Nathasya, melalui email ini saya ingin menerima informasi terkait permasalahan yang saya hadapi terkait ketenagakerjaan di kantor lama saya.
Saya bekerja di kantor perwakilan perusahaan negara asing yang berlokasi di Wisma GKBI dalam area Jakarta Pusat dari Februari 2021 sampai Oktober 2023. Dalam masa kerja saya, dari bulan Februari sampai November 2021 saya bekerja sebagai pegawai kontrak, dan Desember 2021 hingga Oktober 2023 sebagai pegawai tetap.
Ketidakjelasan informasi yang saya dapatkan saat penandatanganan kontrak kerja di Desember 2021 sebagai pegawai tetap menjadi awal mula saya merasa adanya kekurangan informasi yang berhak saya dapatkan dari Human Resources Manager (HRM).
Saat itu saya masih maklum karena saya yakin nantinya akan ada perubahan dalam implementasi ketenagakerjaan di kantor. Namun ketidakjelasan ini semakin bertambah saat saya mengajukan permohonan resign dari kantor tersebut. Tidak ada informasi atau penjelasan terkait benefit apa yang saya nanti dapatkan, serta permohonan dokumen pendukung yang bisa saya berikan ke perusahaan baru juga mengalami kesulitan.
Terkait dokumen (paklaring, informasi terkait BPJS/BPJSTK, serta slip gaji) harus saya tanyakan dan minta terlebih dahulu kepada Human Resources Manager (HRM) agar dapat diberikan.
Setelah saya resign, tepatnya di tanggal 13 Oktober 2023, pada tanggal pemberian upah yaitu 21 Oktober 2023, saya menerima prorata gaji di bulan Oktober dari tanggal 1 sampai 13. Tidak ada penjelasan sebelumnya dari angka prorata gaji di bulan Oktober. Saya menanyakan angka tersebut kepada HRM dan menerima penjelasan melalui WhatsApp. Permohonan informasi berlanjut terkait prorata Tunjangan Hari Raya (THR) dan incentive yang seharusnya bisa saya dapatkan. Namun HRM mengatakan beliau menerima saran dari pengacara kantor untuk berhak tidak memberikan prorata THR kepada pegawai yang mengundurkan diri.
Penjelasan yang saya terima saat itu dari HRM tidak bisa saya mengerti. Saya pun membaca dan bertanya kepada konsultan, HRM periode sebelumnya di kantor tersebut, dan beberapa pegawai kantor tersebut yang sudah resign. Hasil dari diskusi saya dengan pihak-pihak tersebut, perusahaan selalu memberikan prorata THR ketika staff resign.
Adanya ketidaksesuaian dalam implementasi ini membuat saya kehilangan hak saya untuk mendapatkan apa yang bisa saya dapatkan. Jika ada perubahan dalam ketentuan perusahaan, pegawai berhak mendapatkan informasi tersebut. Saya yakini bahwa adanya kekurangan informasi yang diberikan oleh HRM karena Manajer atau Deputy Director dijabat oleh Tenaga Kerja Asing tanpa ada keahlian di bidang personalia/HR.
Berdasarkan Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 8 tahun 2021, Pasal 3 menjelaskan pemberi kerja TKA meliputi:
a. instansi pemerintah, perwakilan negara asing, dan badan internasional; dan
Pasal 4 menjelaskan setiap TKA yang dipekerjakan oleh Pemberi Kerja TKA harus:
a. memiliki pendidikan sesuai dengan kualifikasi jabatan yang akan diduduki;
b. memiliki kompetensi atau pengalaman kerja paling sedikit 5 (lima) tahun sesuai dengan kualifikasi jabatan yang akan diduduki; dan
c. mengalihkan keahliannya kepada Tenaga Kerja Pendamping TKA.
Serta berdasarkan Keputusan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 349 tahun 2019 yang menjelaskan jabatan tertentu yang dilarang diduduki oleh Tenaga Kerja Asing dengan lampiran yang menjelaskan salah satu jabatan yang dilarang adalah Manajer Personalia atau Human Resource Manager. Sehingga dari kebijakan tersebut, apakah saya bisa mengajukan aduan bahwa perusahaan lama saya tidak mengimplementasikan peraturan ketenagakerjaan di Indonesia dan membuat ketidaksesuaian dan ketidakjelasan saya sebagai pegawai dalam mendapatkan hak saya.
Jika saya bisa mengajukan aduan, saya bisa melampirkan bukti percakapan saya dengan HRM, staff yang sudah resign, dan HRM periode sebelumnya untuk membuktikan adanya ketidaksesuaian kebijakan internal.
Mohon informasi dan saran Bapak/Ibu.
Terima kasih atas waktu dan bantuannya.
Best Regards,
Nathasya Faradisch
Untuk menjawab pertanyaan pembaca detik's Advocate di atas, kami meminta pendapat advokat Handika Febrian, S.H. Berikut ini penjelasan lengkapnya:
Salam sejahtera Ibu Nathasya, semoga selalu diberikan kesehatan dan kelancaran dalam setiap aktivitasnya.
Sebelumnya kami turut prihatin atas permasalahan hak ketenagakerjaan yang disampaikan, mudah-mudahan penjelasan dari kami dapat sedikit memberikan jalan keluar terhadap hal tersebut.
Perlu kami sampaikan aturan main dalam perusahaan seharusnya mengacu pada Peraturan Perusahaan yang disahkan oleh Dinas Ketenagakerjaan setempat, peraturan tersebut mengatur secara detail hak dan kewajiban antara perusahaan dengan karyawannnya. Seharusnya peraturan tersebut menjadi acuan dalam setiap tindakan yang diambil baik oleh perusahaan atau karyawan seputar ketenagakerjaan. Jika tidak ada Peraturan Perusahaan maka perusahaan atau karyawan wajib mengacu pada ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku atau Perjanjian kerja antara para pihak.
Terkait hak karyawan seputar resign karena kami tidak mengetahui peraturan di internal perusahaan tetapi dalam ketentuan Pasal 7 Permenaker 6/2016, Pemberian THR bagi pekerja/buruh merupakan kewajiban bagi perusahaan meskipun hubungan kerja antara pekerja dan perusahaan telah berakhir sebelum hari raya keagamaan. Adapun pengaturannya sebagai berikut:
1. Pekerja/buruh yang hubungan kerjanya berdasarkan perjanjian kerja waktu tidak tertentu dan mengalami pemutusan hubungan kerja terhitung sejak 30 (tiga puluh) hari sebelum Hari Raya Keagamaan, berhak atas THR Keagamaan.
2. THR Keagamaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku untuk tahun berjalan pada saat terjadinya pemutusan hubungan kerja oleh Pengusaha.
Berdasarkan hal tersebut di atas, maka karyawan tetap yang resign sebulan atau 30 hari kalender sebelum hari raya wajib mendapatkan uang THR secara pro rata dari perusahaan.
Terkait pemberian THR secara pro rata terhadap karyawan yang resign sebelum hari raya di perusahaan anda bekerja sebelumnya, bisa kami simpulkan hal tersebut adalah kebijakan atau peraturan yang ditetapkan oleh perusahaan secara tersendiri dan hal tersebut diperbolehkan oleh peraturan perundang-undangan.
Jika anda merasa seharusnya mendapatkan hak THR pro rata sebagaimana ditentukan oleh perusahaan sebelumnya, anda dapat mengajukan sengketa perselisihan ketenagakerjaan terkait perselisihan hak, di mana perselisihan hak adalah perselisihan yang timbul karena tidak dipenuhinya hak, akibat perbedaan pelaksanaan atau penafsiran terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan, perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama. Perselisihan hak ini juga bisa didefinisikan sebagai perselisihan mengenai hak normatif yang sudah ditetapkan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, perjanjian kerja bersama, atau peraturan perundang-undangan (Penjelasan Pasal 2 UU nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial).
Mekanismenya dengan mengajukan permohonan perundingan bipartit untuk penyelesaian musyawarah mufakat setelah itu jika tidak ada titik temu dapat dilanjutkan proses tripartit di disnaker setempat, dalam proses tripartit penyelesaian perselisihan akan dipandu oleh mediator ketenagakerjaan.
Sanksi bagi Perusahaan yang Tidak Membayar THR Karyawan
Benar bahwa jika perusahaan tidak membayar THR karyawan dan hal tersebut dilaporkan, maka perusahaan akan dikenai sanksi administratif salah satunya teguran tertulis.
Namun, tidak hanya teguran tertulis, perusahaan yang tidak membayarkan THR dapat dikenai sanksi administratif lain yang diatur di dalam Pasal 79 ayat (1) PP Pengupahan, berupa:
a) teguran tertulis;
b) pembatasan kegiatan usaha;
c) penghentian sementara sebagian atau seluruh alat produksi; dan
d) pembekuan kegiatan usaha.
Selain itu, berdasarkan Pasal 10 ayat (1) dan (2) Permenaker 6/2016, perusahaan yang terlambat membayar THR kepada pekerja/buruh dikenai denda sebesar 5% dari total THR yang harus dibayar sejak berakhirnya batas waktu kewajiban untuk membayar.Pengenaan denda tersebut tidak menghilangkan kewajiban pengusaha untuk membayar THR kepada karyawan.
Mengenai sanksi teguran tertulis, merujuk pada Pasal 80 ayat (2) dan (3) PP Pengupahan ditentukan bahwa teguran tertulis dituangkan dalam bentuk nota pemeriksaan berdasarkan hasil pemeriksaan yang telah dilakukan oleh Pengawas Ketenagakerjaan setelah mendapatkan pengaduan dan/atau tindak lanjut dari hasil pengawasan ketenagakerjaan.
Demikian yang dapat kami sampaikan, atas perhatiannya diucapkan terima kasih.
Handika Febrian, S.H.
Partner pada Febrian Siahaan Law Office
Tentang detik's Advocate
detik's Advocate adalah rubrik di detikcom berupa tanya-jawab dan konsultasi hukum dari pembaca detikcom. Semua pertanyaan akan dijawab dan dikupas tuntas oleh para pakar di bidangnya.
Pembaca boleh bertanya semua hal tentang hukum, baik masalah pidana, perdata, keluarga, hubungan dengan kekasih, UU Informasi dan Teknologi Elektronik (ITE), hukum merekam hubungan badan (UU Pornografi), hukum internasional, hukum waris, hukum pajak, perlindungan konsumen dan lain-lain.
![]() |
Identitas penanya bisa ditulis terang atau disamarkan, disesuaikan dengan keinginan pembaca. Seluruh identitas penanya kami jamin akan dirahasiakan.
Pertanyaan dan masalah hukum/pertanyaan seputar hukum di atas, bisa dikirim ke kami ya di email: redaksi@detik.com dan di-cc ke-email: andi.saputra@detik.com
Semua jawaban di rubrik ini bersifat informatif belaka dan bukan bagian dari legal opinion yang bisa dijadikan alat bukti di pengadilan serta tidak bisa digugat.
(asp/asp)