Aktivis Perempuan Puji Komitmen DPR Kawal Penerapan UU TPKS

Erika Dyah - detikNews
Rabu, 13 Sep 2023 16:53 WIB
Ketua DPR RI Puan Maharani (Foto: Dok. Istimewa)
Jakarta -

Aktivis Perempuan dari Sarinah Institute Luky Sandra Amalia mengapresiasi upaya Ketua DPR RI Puan Maharani dan jajarannya yang mengawal penerapan Undang-Undang No 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS). Ia menilai Puan mampu memperjuangkan hak-hak kaum perempuan.

Adapun salah satu perjuangan Puan dalam memperjuangkan kesetaraan gender terlihat saat menyoroti peristiwa kawin tangkap di Kabupaten Sumba Barat Daya, Nusa Tenggara Timur (NTT).

"Saya setuju dengan pernyataan Ketua DPR bahwa perempuan punya hak asasinya sebagai manusia yang dijamin oleh negara. Karena itu, semestinya kasus-kasus seperti ini tidak boleh lagi terjadi," ujar Amalia dalam keterangan tertulis, Rabu (13/9/2023).

Amalia menilai dalam kasus tersebut masih ada ketimpangan relasi kuasa yang menyudutkan kaum perempuan. Puan menyadari masih banyak perempuan diperlakukan sebagai objek. Padahal dalam prinsip hak asasi manusia (HAM), setiap perempuan berhak menentukan sendiri pasangannya.

"Kasus ini menunjukkan bagaimana perempuan masih ditempatkan sebagai sub-ordinate yang bisa diatur oleh pihak-pihak ordinate-nya, termasuk orang tuanya sendiri," jelas Amalia.

"Kita bisa melihat ternyata masih banyak perempuan yang diperlakukan sebagai objek, seolah perempuan itu tidak bisa menentukan arah hidupnya sendiri sehingga kapan dan dengan siapa mereka harus menikah pun diatur oleh pihak-pihak yang merasa punya hak atas diri perempuan tersebut," sambungnya.

Amalia menegaskan pemaksaan pernikahan merupakan poin yang telah diatur dalam UU TPKS. Sebagai salah satu tokoh yang ikut memperjuangkan UU TPKS, ia menyebut Puan terus berkomitmen agar UU tersebut diimplementasikan dengan baik.

"Salah satu instrumen hukum yang penting dalam kasus ini adalah UU TPKS yang merupakan payung hukum terkait dengan tindak pidana kekerasan seksual," tuturnya.

Peneliti di Pusat Riset Politik, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) itu mengatakan peristiwa kekerasan terhadap perempuan yang berbalut budaya secara turun temurun seharusnya dapat berubah seiring perkembangan zaman. Terlebih, sudah ada UU TPKS yang melarang adanya pemaksaan perkawinan, termasuk yang mengatasnamakan praktik budaya.

Aktivis Perempuan dari Sarinah Institute Luky Sandra Amalia (Foto: Dok. Istimewa)

"Sebagai payung hukum, UU TPKS ini membutuhkan seperangkat regulasi turunan supaya payung hukum ini bisa memayungi kasus-kasus tindak pidana kekerasan seksual dengan lebih efektif," jelas Amalia.

Ia pun memandang masih banyak kasus-kasus kekerasan seksual yang terjadi, dengan perempuan sebagai korbannya. Oleh karena itu, ia menegaskan aturan turunan sangat dibutuhkan seperti yang selama ini terus disuarakan oleh banyak anggota DPR.

"Kita semua tentu berharap bahwa DPR di periode saat ini, yang mumpung masih dipimpin seorang perempuan ini bisa mendesak mitra kerjanya, yaitu pemerintah, untuk segera menerbitkan aturan-aturan turunan supaya implementasi UU TPKS lebih efektif," harap Amalia.

Selain mendesak penerbitan aturan turunan UU TPKS, Amalia menegaskan pentingnya edukasi kepada masyarakat tentang peranan UU TPKS. Menurutnya, langkah tersebut perlu dilakukan agar tidak ada lagi adat atau budaya yang berbenturan dengan regulasi hukum.

"Hal ini penting mengingat masih banyak kasus-kasus kekerasan seksual yang terjadi di sekitar kita yang sebagian besar korbannya adalah perempuan dan anak-anak generasi masa depan bangsa ini," papar mahasiswa PhD di University of Sydney tersebut.

Halaman Selanjutnya: Puan Soroti Kasus Kawin Tangkap di NTT




(akd/akd)
Berita Terkait
Berita detikcom Lainnya
Berita Terpopuler

Video

Foto

detikNetwork