Hai detik's Advocate, Apakah Nunggak Bayar Utang Bisa Dipenjara?

detik's Advocate

Hai detik's Advocate, Apakah Nunggak Bayar Utang Bisa Dipenjara?

Tim detikcom - detikNews
Senin, 04 Sep 2023 09:09 WIB
Ilustrasi likuiditas perusahaan.
Ilustrasi (Josh Appel/Unsplash)
Jakarta -

Utang piutang menjadi salah satu pertanyaan paling banyak ditanyakan ke detik's Advocate. Banyak yang bertanya-tanya, bagi yang punya piutang, apakah menagihnya bisa dengan jalur pidana. Tapi bagi yang punya utang, ketakutan bila telat bayar utang bisa masuk penjara. Bagaimana sebetulnya status hukumnya?

Di luar masalah utang-piutang, pembaca detikcom juga bisa mengajukan pertanyaan serupa dan dikirim ke email: redaksi@detik.com dan di-cc ke andi.saputra@detik.com.

Bagi pemilik piutang, kerap menyebut perbuatan nunggak bayar utang adalah tibu-tipu. Pemilik piutang lalu melaporkan ke kepolisian dengan delik penipuan. Lalu apakah nunggak bayar utang bisa dipenjara?

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Berdasarkan Yurisprudensi Nomor 4/Yur/Pid/2018, Mahkamah Agung (MA) menyebutkan tegas bila nunggak utang bukan penipuan sepanjang bisa dibuktikan tidak ada itikad buruk. Hal itu tertulis tegas yaitu:

Para pihak yang tidak memenuhi kewajiban dalam perjanjian yang dibuat secara sah bukan penipuan, namun wanprestasi yang masuk dalam ranah keperdataan,kecuali jika perjanjian tersebut didasari dengan itikad buruk/tidak baik.

ADVERTISEMENT

Latar Belakang

Konsep perjanjian pada dasarnya adalah hubungan keperdataan yang diatur dalam Burgerlijk Wetboek (BW). Apabila orang yang berjanji tidak memenuhi janji yang telah ditentukan, maka berdasarkan Pasal 1365 BW, orang tersebut dapat disebut telah melakukan wanprestasi atau cidera janji.

Namun,pada praktiknya, ada orang-orang yang dilaporkan ke Polisi karena tidak memenuhi janji yang telah ditentukan. Umumnya, pihak pelapor merasa bahwa oran gtersebut telah menipu pelapor karena janji yang harus dilaksanakan ternyatatidak dipenuhi, padahal pelapor telah menyerahkan barang dan/atau uang kepadaorang tersebut.

Kondisi ini menimbulkan permasalahan hukum kapan seseorang yang tidak memenuhi sebuah perjanjian dapat dikatakan telah melakukan wanprestasi, sehingga penyelesaian perkaranya harus dilakukan secara perdata, dan kapan orang tersebut dapat dikatakan telah melakukan penipuan yang penyelesaian perkaranya dilakukan secara pidana.

Apa Sikap MA?

Atas permasalahan tersebut, Mahkamah Agung telah konsisten berpendapat bahwa apabila seseorang tidak memenuhi kewajiban dalam sebuah perjanjian, di mana perjanjian tersebut dibuat secara sah dan tidak didasari itikad buruk, maka perbuatan tersebut bukanlah sebuah penipuan, namun masalah keperdataan, sehingga orang tersebut harus dinyatakan lepas dari segala tuntutan hukum.

Contoh Kasus

Pandangan ini dapat ditemukan dalam Putusan No. 598K/Pid/2016 (Ati Else Samalo) yang menyebutkan bahwa:

Terdakwa terbukti telah meminjam uang kepada saksi Wa Ode Ikra binti La Ode Mera (saksi korban) sebesar Rp4.750.000,00(empat juta tujuh ratus lima puluh ribu rupiah), namun Terdakwa tidak mengembalikan hutang tersebut kepada saksi korban sesuai dengan waktu yang diperjanjikan, meskipun telah ditagih berulang kali oleh saksi korban, oleh karenanya hal tersebut sebagai hubungan keperdataan bukan sebagai perbuatan pidana, sehingga penyelesaiannya merupakan domain hukum perdata, dan karenanya pula terhadap Terdakwa harus dilepaskan dari segala tuntutan hukum.

Pandangan serupa juga tercantum dalam beberapa putusan. Pertama, Putusan No. 1357 K/Pid/2015 (Hein Noubert Kaunang), yang menyatakan:

Bahwa berdasarkan fakta tersebut, Mahkamah Agung berpendapat bahwa hubungan hukum yang terjalin antara para Terdakwa dengan saksi korban adalah hubungan keperdataan berupa hubungan utang piutang dengan jaminan sebidang tanah kebun dan tanah atau rumah milik para Terdakwa, dan ternyata dalam hubungan hukum tersebut para Terdakwa melakukan ingkar janji atau wanprestasi dengan cara tidak menyerahkan tanah kebun dan tanah atau rumah miliknya kepada saksi korban. Perbuatan para Terdakwa tersebut bukan merupakan tindak pidana, akan tetapi perbuatan para Terdakwa tersebut merupakan perbuatan yang bersifat keperdataan yang penyelesaiannya dapat ditempuh melalui hukum keperdataan.

Para pihak yang tidak memenuhi kewajiban dalam perjanjian yang dibuat secara sah bukan penipuan, namun wanprestasi yang masuk dalam ranah keperdataan,kecuali jika perjanjian tersebut didasari dengan itikad buruk/tidak baik.Yurispudensi Nomor 4/Yur/Pid/2018

Kedua, Putusan No. 1316 K/Pid/2016 (Linda Wakary), yang menyatakan:

Karena kasus ini diawali dengan adanya perjanjian jual beli antara Saksi korban dengan Terdakwa dan Terdakwa tidak memenuhi kewajibannya dalam perjanjian itu, oleh karenanya perkara a quo adalah masuk lingkup perdata. Sehubungan dengan itu, maka Terdakwa harus dilepas dari segala tuntutan hukum.

Ketiga, Putusan No. 1336 K/Pid/2016 (Agusmita) yang menyatakan:

Bahwa sekiranya di kemudian hari saksi Apriandi tidak bisa mengembalikan pinjaman uang kepada saksi korban di antaranya disebabkan karena Terdakwa juga belum membayar pinjamannya kepada saksi Apriandi, maka permasalahan tersebut merupakan dan masuk ranah hukum perdata yang secara yuridis harus diselesaikan di hadapan Hakim perdata.

Keempat, Putusan No. 902 K/Pid/2017 (Asmawati) yang menyatakan:

Bahwa perkara a quo bermula dari adanya pinjam meminjam sejumlah uang antara Terdakwa dengan korban, namun pada saat jatuh tempo yang dijanjikan Terdakwa tidak bisa mengembalikan pinjaman tersebut, sehingga merupakan utang dan masuk ranah perdata, sehingga penyelesaiannya melalui jalur perdata.

Dari putusan-putusan-tersebut terlihat bahwa pada dasarnya, suatu perkara yang diawali dengan adanya hubungan keperdataan, seperti perjanjian, dan perbuatan yang menyebabkan perjanjian tersebut tidak dapat dilaksanakan terjadi setelah perjanjian tersebut dibuat, maka perkara tersebut adalah perkara perdata dan bukan perkara pidana.

Hal ini juga sejalan dengan yang disebutkan dalam Putusan No. 1601 K/Pid/1990 yang menyatakan bahwa apabila perbuatan yang mengakibatkan gagalnya perjanjian terjadi setelah perjanjian dilahirkan, maka akibat hukum yang timbul adalah wanprestasi yang merupakan ranah hukum perdata.

Pandangan ini juga ditemukan dalam Putusan No. 43 K/Pid/2016 (Haryono Eddyarto), No. 1327 K/Pid/2016 (Apriandi), No. 342 K/Pid/2017 (Markus Baginda), dan No. 994 K/Pid/2017 (Aprida Yani).

Lalu Kapan Wanprestasi Jadi Delik Penipuan?

Namun demikian tidak semua perbuatan tidak melaksanakan kewajiban perjanjian tidak dapat dipandang sebagai penipuan. Apabila perjanjian tersebut dibuat dengan didasari itikad buruk/tidak baik niat jahat untuk merugikan orang lain, maka perbuatan tersebut bukan merupakan wanprestasi, tetapi tindak pidana penipuan.

Pandangan ini terdapat dalam putusan No. 1689 K/Pid/2015 (Henry Kurniadi) yang menyebutkan bahwa:

Bahwa alasan kasasi Terdakwa yang menyatakan kasus Terdakwa bukan kasus pidana melainkan kasus perdata selanjutnya utang piutang, antara Terdakwa dengan Astrindo Travel tidak dapat dibenarkan karena Terdakwa dalam pemesanan tiket tersebut telah menggunakan nama palsu atau jabatan palsu, hubungan hukum keperdataan yang tidak didasari dengan kejujuran,dan itikad buruk untuk merugikan orang lain adalah penipuan.

Perjanjian yang didasari dengan itikad buruk atau niat jahat untuk merugikan orang lain bukan wanprestasi tetapi penipuanPutusan No 366K/Pid/2016

Putusan lain yang menyatakan hal serupa adalah Putusan No 366K/Pid/2016 (I Wayan Sunarta) yang menyatakan dengan tegas bahwa perjanjian yang didasari dengan itikad buruk atau niat jahat untuk merugikan orang lain bukan wanprestasi tetapi penipuan dan Putusan No. 211 K/Pid/2017 (Erni Saroinsong)yang pada intinya menyatakan bahwa meskipun hubungan hukum antara Terdakwa dan Saksi Korban Robert Thoenesia awalnya pinjam meminjam uang sebesar Rp 2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah) untuk modal kerja proyek pengadaan bibit kakao Dinas Perkebunan Provinsi Sulawesi Selatan.

Namun, sebelum melakukan pinjaman tersebut Terdakwa telah memiliki itikad tidak baik kepada Saksi Korban Robert Thoenesia, maka perbuatan materiil Terdakwa telah memenuhi seluruh unsur Pasal 378 KUHP (penipuan).

Namun yang harus diingat, utang tetap harus dilunasi loh. Bagi yang tidak bisa melunasinya, maka bisa jadi warisan yang harus dilunasi pewaris.

Terima kasih

Tim Pengasuh detik's Advocate

Tentang detik's Advocate

detik's Advocate adalah rubrik di detikcom berupa tanya-jawab dan konsultasi hukum dari pembaca detikcom. Semua pertanyaan akan dijawab dan dikupas tuntas oleh para pakar di bidangnya.

Pembaca boleh bertanya semua hal tentang hukum, baik masalah pidana, perdata, keluarga, hubungan dengan kekasih, UU Informasi dan Teknologi Elektronik (ITE), hukum merekam hubungan badan (UU Pornografi), hukum internasional, hukum waris, hukum pajak, perlindungan konsumen dan lain-lain.

detik's advocate

Identitas penanya bisa ditulis terang atau disamarkan, disesuaikan dengan keinginan pembaca. Seluruh identitas penanya kami jamin akan dirahasiakan.

Pertanyaan dan masalah hukum/pertanyaan seputar hukum di atas, bisa dikirim ke kami ya di email: redaksi@detik.com dan di-cc ke-email: andi.saputra@detik.com

Semua jawaban di rubrik ini bersifat informatif belaka dan bukan bagian dari legal opinion yang bisa dijadikan alat bukti di pengadilan serta tidak bisa digugat.

Halaman 2 dari 3
(asp/asp)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini
Selengkapnya



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Ajang penghargaan persembahan detikcom bersama Polri kepada sosok polisi teladan. Baca beragam kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini.
Hide Ads