Kritik mengemuka dilontarkan sejumlah pihak untuk pimpinan KPK. Hujan kritik datang usai pimpinan KPK menyampaikan permintaan maaf dan menyalahkan tim penyelidik KPK dalam menetapkan status tersangka korupsi Basarnas yang menjerat Kabasarnas Marsekal Madya (Marsdya) Henri Alfiandi.
Padahal, penetapan status tersangka Henri itu disampaikan oleh pimpinan KPK Alexander Marwata pada Rabu (26/7). KPK menetapkan dua orang TNI aktif yang menjabat di Basarnas yakni Henri dan Koorsmin Kabasarnas Letkol Afri Budi Cahyanto.
Namun, pada Jumat (28/7) kemarin, KPK justru meminta maaf dan mengaku khilaf karena telah menetapkan Henri dan Afri sebagai tersangka kasus suap pengadaan barang dan jasa di Basarnas.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Permintaan maaf itu disampaikan oleh Johanis Tanak. Tanak menyampaikan permintaan maaf setelah melakukan audiensi dengan rombongan petinggi TNI di Gedung KPK.
"Dalam pelaksanaan tangkap tangan itu, ternyata tim menemukan mengetahui adanya anggota TNI dan kami paham tim penyelidik kami mungkin ada kekhilafan ada kelupaan, bahwa sanya manakala ada melibatkan TNI harus diserahkan kepada TNI, bukan kita yang tangani, bukan KPK. Karena lembaga peradilan sebagaimana diatur ada empat lembaga peradilan, peradilan umum, militer, tata usaha negara, dan agama," kata Wakil Ketua KPK Johanis Tanak, di KPK.
Johanis mengatakan tindak pidana yang dilakukan anggota TNI sejatinya ditangani khusus oleh TNI. Dia mengakui ada kekhilafan dari penyidik KPK.
"Di sini ada kekeliruan kekhilafan dari tim kami yang melakukan penangkapan. Oleh karena itu, dalam rapat sudah menyampaikan teman-teman TNI sekiranya bisa disampaikan ke Panglima TNI atas kekhilafan ini mohon dimaafkan," kata dia.
Sikap itulah yang membuat KPK mendapat kritik. Suara kritik itu disampaikan untuk pimpinan KPK.
Pukat UGM
Pukat UGM menilai pimpinan KPK tidak seharusnya menyalahkan tim penyidik. Dia mengatakan surat perintah penyelidikan dan penyidikan juga harus ditandatangani oleh Pimpinan KPK.
"Saya merasa tidak tepat ketika pimpinan KPK itu menyalahkan penyidik, tadi kan mengatakan penyidik itu salah ya," kata peneliti Pukat UGM Zaenur Rohman kepada wartawan, Jumat (28/7).
Zaenur juga mengatakan tak ada landasan hukum bagi KPK untuk menetapkan anggota TNI aktif sebagai tersangka karena kasus yang melibatkan anggota TNI aktif hanya bisa ditangani oleh POM TNI. Dia mengatakan peristiwa ini berpengaruh terhadap citra KPK.
"Apa kemudian permintaan maaf ini dampaknya? Ya saya sih melihatnya ini dampaknya kepada citra profesionalitas dari KPK," katanya.
Meski demikian, dia menduga langkah KPK menetapkan Henri dan Afri sebagai tersangka dipicu beberapa kasus dugaan korupsi yang melibatkan personel militer tidak berjalan dengan lancar. Dia mengatakan KPK harusnya membentuk tim koneksitas berdasarkan Pasal 89 KUHAP antara tim penyidik KPK dan tim penyidik POM TNI.
"Kalau sekarang KPK sudah mengakui salah, tentu itu akan berdampak kepada citra profesionalitas KPK," ujarnya.
"Saya berharap perkara di Basarnas ini bisa tuntas dan bisa ada terjamin rasa keadilan masyarakat. Jangan sampai ada gap disparitas penanganannya, karena dilakukan oleh KPK dan POM TNI," imbuhnya.
Simak juga Video 'Salahkan Penyelidik soal OTT Basarnas, Pimpinan KPK Disindir eks Ketua':
Selengkapnya pada halaman berikut.
MAKI Minta Pimpinan KPK Harus Disanksi
Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) menilai pimpinan KPK harus dinyatakan melanggar kode etik. Terkait penetapan tersangka.
"KPK tidak cukup hanya minta maaf karena sudah melanggar HAM, yaitu penetapan dan pengumuman tersangka secara tidak sah. Pimpinan KPK harus kena kode etik," kata Koordinator MAKI Boyamin Saiman kepada wartawan, Jumat (28/7).
Boyamin menilai KPK memang tak bisa menetapkan anggota militer aktif sebagai tersangka. Dia mengatakan KPK harus berkoordinasi dengan POM TNI melalui tim koneksitas. Dia mengatakan penetapan tersangka terhadap anggota TNI oleh KPK bakal dengan mudah dikalahkan di praperadilan.
"Tapi kesalahannya keterlaluan dan tidak bisa dimaafkan karena proses hukum," ujarnya.
"Pimpinan KPK yang pimpin konpers harus kena sanksi berat dari Dewas KPK," tambah Boyamin.
Boyamin meyakini penetapan Kabasarnas dan Koorsmin Kabasarnas sebagai tersangka merupakan keputusan pimpinan KPK. Apalagi, katanya, konferensi pers pengumuman tersangka juga dipimpin oleh Wakil Ketua KPK Alexander Marwata.
"Mungkin Firli Bahuri saja yang bisa berkelit karena alasan di luar kota. Tapi bisa dilacak data apakah Firli Bahuri juga beri persetujuan via online internet," ucapnya.
Pimpinan KPK Diminta Tanggung Jawab
Lebih lanjut, mantan penyidik KPK Yudi Purnomo menilai kisruh kasus Basarnas menjadi tanggung jawab sepenuhnya pimpinan KPK.
"Pimpinan KPK yang paling bertanggung jawab dalam proses OTT karena mereka yang memberikan perintah dalam bentuk surat perintah penyelidikan dan menetapkan seseorang sebagai tersangka," kata Yudi kepada wartawan, Sabtu (29/7/2023).
"Jadi pimpinan haruslah menyalahkan diri sendiri, jangan anak buah," tambahnya.
Yudi mengatakan sikap pimpinan KPK menyalahkan penyelidik di kasus korupsi Basarnas akan berdampak buruk pada upaya pemberantasan korupsi yang dilakukan KPK. Para penyelidik dan penyidik, kata Yudi, akan takut dalam menuntaskan tugasnya.
"Menyalahkan anak buah bisa jadi akan menyebabkan moral pegawai runtuh karena merasa pimpinan tidak mau bertanggung jawab dan ini bisa berbahaya bagi kegiatan pemberantasan korupsi ke depannya. Pegawai akan takut melakukan sesuatu hal atau tindakan walaupun itu benar karena kalau ada apa-apa mereka akan disalahkan," katanya.
Hal senada juga dikatakan peneliti senior Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Fakultas Hukum Universitas Andalas, Feri Amsari, menilai pimpinan KPK salah dan telah melanggar UU KPK terkait proses hukum dugaan korupsi Kabasarnas Marsdya TNI Henri Alfiandi dan Koorsmin Kabasarnas Letkol Afri Budi Cahyanto. Feri juga menyebut pimpinan KPK tidak bisa menyalahkan anak buahnya dalam kisruh penetapan tersangka.
"Sesuai ketentuan Pasal 39 ayat 2 UU KPK bahwa seluruh proses penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan di KPK itu di bawah pimpinan KPK. Sehingga penentuan tersangka dan segala macam tentu dikoordinasi oleh pimpinan KPK," ujar Feri kepada wartawan, Sabtu (29/7).
Feri menyebut titik kesalahan dari kisruh ini adalah pimpinan KPK. Pimpinan KPK, katanya, tidak memahami UU KPK.
"Itu sesungguhnya kealpaan besar itu ada di pimpinan KPK yang tidak memahami juga ketentuan Pasal 42 UU KPK yang menyatakan bahwa proses penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan untuk perkara yang berkoneksitas itu dipimpin oleh KPK juga," katanya.
"Artinya, KPK tidak menyadari batasan-batasan kewenangannya, sehingga kemudian penetapan tersangka melampaui batas kewenangan, padahal mestinya dikoordinasikan dengan baik," imbuhnya.
Menurut Feri, jika pimpinan KPK paham dengan aturan, kesalahan ini tidak akan terjadi. Dalam kasus OTT dugaan suap di proyek Basarnas ini, lanjutnya, semestinya pihak KPK terus berkoordinasi dengan TNI.
Berkoordinasi maksud Feri adalah KPK memimpin agar oditur militer dapat melaksanakan tugasnya dengan baik. Feri mengatakan KPK tidak menyerahkan 100 persen kasus pada peradilan militer, tapi memastikan proses penyelidikan, penyidikan dan penuntutan berjalan benar.
"Meskipun semangat reformasi terhadap perjuangan korupsi menginginkan kalau kasus extraordinary crime tindak pidana korupsi itu melalui peradilan biasa, tapi secara praktik, dan berdasarkan ketentuan (Pasal) 42 tadi, mestinya KPK sadar memang KPK berwewenang untuk melakukan OTT, tapi tahapan-tahapan berikutnya harus dikoordinasikan dengan Mabes TNI," jelasnya.
Feri meyakini polemik ini terjadi karena pimpinan KPK tidak paham dengan UU KPK. Dia pun mempertanyakan kualitas pimpinan KPK.
"Dan ini penting, ini menunjukkan bahwa pimpinan KPK tidak paham dengan UU KPK itu sendiri, kualitas jauh sekali dari harapan. Sehingga dalam kasus ini muncul hal-hal yang kita khawatirkan, yaitu terjadinya benturan atau penyalahgunaan wewenang yang dilakukan pimpinan KPK tanpa betul-betul memahami UU KPK," ucap Feri.
Sikap Pimpinan KPK Dianggap Memalukan
Kritik keras lainnya datang dari mantan Ketua KPK Abraham Samad. Dia menilai sikap KPK yang dianggap 'cuci tangan' dalam penetapan tersangka Henri tindakan yang sangat memalukan.
"Apa yang dilakukan pimpinan KPK dan ada kesan mempersalahkan teman-teman penyelidik dan penyidik ini menurut saya sesuatu yang sangat dungu dan memalukan," kata Abraham saat dihubungi, Sabtu (29/7).
Abraham menyinggung sistem kolektif kolegial yang selalu dipegang oleh pimpinan KPK. Dia menilai tiap penetapan tersangka merupakan keputusan yang telah diputus bersama oleh para pimpinan KPK.
"Tidak ada anak buah yang salah di KPK karena prosedur datang dari bawah dan diputuskannya di tingkat pimpinan. Menurut saya, kala ada kekeliruan, itu yang tanggung jawab pimpinan KPK," katanya.
Dia menambahkan, sebagai bentuk pertanggungjawaban, para pimpinan KPK harus mengundurkan diri imbas kekisruhan di kasus OTT Basarnas tersebut.
"Salah satu bentuk tanggung jawab yang dilakukan pimpinan KPK, dia harus mundur dong, bukan Direktur Penyidiknya, tapi pimpinan KPK-nya yang harus mundur. Itu bentuk pertanggungjawaban dari mereka sebenarnya. Apa yang terjadi sekarang ini sesuatu yang tidak pernah terjadi sebelumnya dan ini sangat memalukan. Ini menggambarkan betapa tidak profesionalnya pimpinan KPK dalam menangani kasus-kasus," tutur Samad.
Koalisi Masyarakat Sipil Nilai KPK Keliru
Koalisi Masyarakat Sipil menilai pimpinan KPK tidak seharusnya meminta maaf.
"Kami menilai, langkah KPK yang meminta maaf dan menyerahkan kasus dugaan korupsi Kabasarnas dan Koorsmin Kabasarnas kepada Puspom TNI merupakan langkah yang keliru dan dapat merusak sistem penegakan hukum pemberantasan korupsi di Indonesia," bunyi keterangan Koalisi Masyarakat Sipil yang diterima, Sabtu (29/7).
Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan terdiri atas Imparsial, Elsam, Centra Initiative, PBHI Nasional, WALHI, YLBHI, Amnesty International Indonesia, Public Virtue, Forum de Facto, KontraS, LBH Pers, ICW, LBH Masyarakat, HRWG, ICJR, LBH Jakarta, LBH Malang, Setara Institute, AJI Jakarta, AlDP.
Menurutnya, KPK seharusnya menggunakan UU KPK sebagai pijakan dan landasan hukum dalam memproses militer aktif yang terlibat dalam kejahatan korupsi tersebut. KPK, katanya, dapat mengabaikan mekanisme peradilan militer dengan dasar asas lex specialist derogat lex generalis (UU yang khusus mengesampingkan UU yang umum).
"Dengan demikian, KPK harusnya mengusut kasus ini hingga tuntas dan tidak perlu meminta maaf. Permintaan maaf dan penyerahan perkara kedua prajurit tersebut kepada Puspom TNI hanya akan menghalangi pengungkapan kasus tersebut secara transparan dan akuntabel. Lebih dari itu, permintaan maaf dan penyerahan proses hukum keduanya tersebut bisa menjadi jalan impunitas bagi keduanya," katanya.
Lebih lanjut Koalisi Masyarakat Sipil mengatakan penetapan tersangka yang dilakukan KPK kepada Henri dan Afri Budi sudah benar. Sebab, KPK telah mendapat bukti terkait keikutsertaan mereka dalam kasus dugaan korupsi itu.
"Akan menjadi aneh jika KPK justru tidak mentersangkakan Kabasarnas dan anak buahnya, padahal dalam perkara ini mereka berdua diduga sebagai penerima suap. Mereka yang sudah menjadi tersangka tidak bisa mendalilkan bahwa penetapan tersangka terhadap mereka hanya bisa dilakukan oleh penyidik di institusi TNI karena dugaan korupsi ini tidak ada kaitannya sama sekali dengan institusi TNI dan kepentingan militer," katanya.
SETARA Sebut Marwah KPK Runtuh
Selanjutnya, Ketua Dewan Nasional SETARA Institute, Hendardi, mengkritik permintaan maaf yang dilakukan KPK terkait kasus dugaan korupsi di Basarnas yang menjerat Kabasarnas Marsdya Henri Alfiandi. Hendardi menilai KPK lemah.
"Peristiwa klarifikasi dan permintaan maaf atas penetapan tersangka anggota TNI, suatu tindakan hukum yang sah dan berdasarkan UU, adalah puncak kelemahan KPK menjaga dan menjalankan fungsinya secara independen. KPK memilih tunduk pada intimidasi institusi TNI, yang sebenarnya bertentangan dengan prinsip kesamaan di muka hukum sebagaimana amanat Konstitusi. Peristiwa ini juga menunjukkan supremasi TNI masih teramat kokoh, karena meskipun tertangkap tangan melakukan tindak pidana korupsi, korps TNI pasti akan membela dan KPK melepaskannya," ujar Ketua Dewan Nasional SETARA Institute, Hendardi kepada wartawan, Sabtu (29/7/2023).
"Peragaan ketidakadilan dalam penegakan hukum ini harus diakhiri. Presiden dan DPR tidak bisa membiarkan konflik norma dalam berbagai UU di atas terus menjadi instrumen ketidakadilan yang melembaga," imbuhnya.
Hendardi lantas menyoroti permintaan maaf KPK yang dilakukan setelah TNI menyatakan keberatan atas penetapan tersangka tersebut. Dia juga menilai seharusnya TNI tidak menyampaikan keberatan terkait kasus dugaan korupsi di Basarnas itu.
"Keberatan TNI atas suatu proses hukum, tidak seharusnya dilakukan dalam bentuk intimidasi institusi. Dalih anggota TNI tidak tunduk pada peradilan umum adalah argumen usang yang terus digunakan TNI untuk melindungi oknum anggota yang bermasalah dengan hukum. Jikapun TNI tidak sepakat dengan langkah KPK, seharusnya menempuh jalur praperadilan," jelasnya.
Ahli Hukum Nilai Kasus Korupsi Dinyatakan Kejahatan Lintas Profesi
Terkait ramainya kritik untuk KPK, Ahli hukum pidana Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar, menyoroti sikap pimpinan KPK yang menyalahkan anak buah terkait kisruh penetapan tersangka Kabasarnas Marsdya Henri Alfiandi dan Koorsmin Kabasarnas Letkol Afri Budi Cahyanto.
Fickar bicara mengenai pentingnya aturan hukum yang merata bagi pelaku korupsi.
"Ya aturannya orang yang berstatus militer, jika melakukan tindak pidana, maka menjadi kewenangan peradilan militer, termasuk di dalamnya polisi atau penyidik militer, oditur militer atau penuntut umum, dan hakim militer," kata Fickar saat dihubungi, Sabtu (29/7).
Fickar memahami aturan tersebut terkesan tidak adil. Namun aturan hukum militer mengatur seperti itu.
"Memang aturan ini tidak adil, mestinya hanya berlaku di waktu perang saja dan terbatas pada kejahatan yang bersifat militer, tetapi KUHPM dan KUHAP militernya masih mengatur seperti itu, memang kelihatannya tidak adil," katanya.
Fickar pun mengusulkan seharusnya tindak pidana korupsi itu dijadikan sebagai kejahatan lintas profesi. Jadi semua orang yang terjerat dalam kasus korupsi di KPK bisa ditangani KPK.
"Seharusnya korupsi itu dinyatakan sebagai kejahatan lintas profesi, lintas institusi, sehingga KPK bisa menangani korupsi yang dilakukan oleh siapa pun di lembaga apa pun, termasuk di lembaga militer," ucap Fickar.
"Aturannya harus diubah, dengan tetap menjadi kewenangan peradilan militer, maka dengan aturan seperti ini pengaryaan personel militer di institusi sipil menjadi tidak punya pijakan hukum lagi. Ini aspek negatif dari pengaryaan militer di instansi sipil, mestinya militer yang bertugas di instansi sipil diberhentikan sementara sebagai militer, sehingga sepenuhnya menjadi sipil dan tunduk pada hukum sipil, termasuk terhadap UU Korupsi. Dalam hal ada unsur sipil yang bersama-sama melakukan korupsinya dengan personel militer, maka bisa diadili dengan cara koneksitas sebagaimana diatur KUHAP," tutur Fickar.