TNI menyampaikan keberatan kepada KPK karena mengumumkan prajurit aktif sebagai tersangka. Belakangan KPK mengaku khilaf dan meminta maaf.
Prajurit aktif yang dimaksud adalah Kabasarnas Marsekal Madya (Marsdya) Henri Alfiandi (HA) dan Koorsmin Basarnas Letkol Afri Budi Cahyanto (ABC). Keduanya dijerat KPK sebagai tersangka dalam rangkaian operasi tangkap tangan (OTT) terkait dugaan suap pada sejumlah proyek di Basarnas.
Keberatan yang disampaikan TNI itu dilandasi aturan tentang perlakuan hukum bagi prajurit aktif yang seharusnya diproses secara militer. Adapun aturan peradilan bagi prajurit ini diatur dalam UU Nomor 31 Tahun 1997 Tentang Peradilan Militer. Landasannya ialah UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI. Dalam UU tersebut, yang dimaksud prajurit adalah anggota TNI.
Hal ini tertuang dalam Pasal 1 ayat 13. Begini bunyinya:
Prajurit adalah anggota TNI.
Selanjutnya, dijelaskan bahwa prajurit diadili di peradilan militer. Hal ini dijelaskan dalam Pasal 9 UU No 31 Tahun 1997 Tentang Peradilan Militer. Berikut isinya:
Pengadilan dalam lingkungan peradilan militer berwenang:
1. Mengadili tindak pidana yang dilakukan oleh seseorang yang pada waktu melakukan tindak pidana adalah:
a. Prajurit;
b. yang berdasarkan undang-undang dipersamakan dengan Prajurit;
c. anggota suatu golongan atau jawatan atau badan atau yang dipersamakan atau dianggap sebagai Prajurit berdasarkan undang-undang;
d. seseorang yang tidak masuk golongan pada huruf a, huruf b, dan huruf c tetapi atas keputusan Panglima dengan persetujuan Menteri Kehakiman harus diadili oleh suatu Pengadilan dalam lingkungan peradilan militer.
Selanjutnya, sebagaimana Pasal 1, prajurit akan diadili oleh Oditur, Atasan yang Berhak Menghukum (Ankum) dan Polisi Militer.
Simak Video 'Danpuspom: Panglima Sangat Kecewa Korupsi Masih Ada di Lingkungan TNI':
(rdp/dhn)