Menyoal Edaran MA, Apakah Semua Agama Melarang Nikah Beda Agama?

Menyoal Edaran MA, Apakah Semua Agama Melarang Nikah Beda Agama?

Danu Damarjati - detikNews
Jumat, 28 Jul 2023 15:27 WIB
Hari Toleransi Internasional: Sejarah, Makna dan Cara Peringati
Gambar ilustrasi (Edi Wahyono/detikcom)
Jakarta -

Surat edaran Mahkamah Agung (MA) melarang hakim untuk mengizinkan pencatatan pernikahan beda agama. Surat edaran MA itu sedang dikaji oleh Kementerian Agama (Kemenag). Ngomong-ngomong, apakah semua agama melarang pernikahan beda agama?

Sebenarnya, persoalan upaya hukum mengenai pernikahan beda agama ini sudah berlangsung lama. Sikap-sikap perwakilan pelbagai kelompok agama juga sudah dikemukakan di ruang-ruang sidang gugatan pada masa sebelumnya.

Pada 18 Juni 2015, Mahkamah Konstitusi (MK) pernah menolak gugatan terhadap UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang diajukan Damian Agata Yuvens, Rangga Sujud Widigda, Anbar Jayadi, dan Luthfi Sahputra.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Dalam UU tersebut, ada Pasal 2 ayat 1 yang menyatakan bahwa "Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaan itu". Karena MK Menolak gugatan terhadap pasal itu, maka pasal itu tetap berlaku sampai sekarang. Artinya, dua sejoli yang menikah harus seagama, tidak bisa beda agama.

Perkembangan terbaru, Kamis (27/7) kemari, MA menerbitkan Surat Edaran kepada hakim-hakim seantero negara ini. MA melarang semua hakim mengizinkan pencatatan pernikahan beda agama. Surat edaran itu terbit setelah sejumlah pengadilan negeri (PN) di pelbagai daerah mengizinkan pernikahan beda agama.

ADVERTISEMENT

Menyoal surat edaran MA, sebenarnya apakah semua agama melarang nikah beda agama? Berikut adalah keterangan dari perwakilan kelompok-kelompok agama yang ada di Indonesia, yang pernah dihadirkan di persidangan MK.

1. Islam: Melarang

Dalam menguji gugatan pernikahan beda agama yang diajukan Damian Agata Yuvens, dkk, MK pernah menghadirkan pandangan kelompok lintas agama pada 5 November 2014 silam. Dari kelompok Islam, ada perwakilan Majelis Ulama Indonesia (MUI) saat itu yakni Zainal Arifin Hesen dan M Luthfie Hakim, serta dari Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Ahmad Ishomuddin.

"MUI menilai bahwa Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan merupakan produk hukum yang telah sesuai dengan kebutuhan dan keinginan masyarakat," kata MUI sebagaimana dilansir dari risalah sidang dari situs web MK.

Dari PBNU, Ishomuddin menjelaskan ulama telah sepakat bahwa pernikahan antara orang Islam dengan orang musyrik adalah haram. Ini berdasarkan Alquran Surat Al-Mumtahanah ayat 10. Seorang musllimah (perempuan) tidak boleh dinikahkan dengan nonmuslim dari golongan musyrik atau ahli kitab (Yahudi, Nasrani). Dasarnya adalah Surat Al Mumtahanah ayat 1. Haram pula bagi seorang muslim (laki-laki) menikahi perempuan Yahudi dan Nasrani yang keluar dari agamanya kemudian menjadi penyembah berhala atau ateis.

Untuk hukum seorang muslim menikahi perempuan Yahudi atau Nasrani, ada tiga pendapat: boleh, makruh, dan haram. Landasan argumennya adalah pendapat ulama terdahulu, catatan sikap sahabat nabi, serta Surat Al-Baqarah ayat 221 dalam Al-Qur'an.

Maka, PBNU menyatakan perempuan muslimah hanya boleh dinikahkan dengan muslim. Seorang muslim hanya boleh menikah dengan muslimah. Pria muslim haram menikahi penganut selain Yahudi dan Nasrani. Pernikahan mulim dengan perempuan Yahudi atau Nasrani hukumnya adalah haram.

"Demikian pula seorang pria muslim hanya boleh menikah dengan wanita beragama Islam dan hukumnya haram pria muslim menikahi wanita Yahudi atau wanita Nasrani dengan beberapa alasan yang pertama, kecil kemungkinan untuk menarik wanita kitabiah masuk ke dalam Islam dan masih banyak cara lain untuk berdakwah mengajak orang lain masuk ke dalam agama Islam," kata Ishomuddin dalam risalah sidang tersebut. Maka, PBNU sepakat dengan Pasal 2 ayat (1) UU tentang Perkawinan.

Belakangan setelah MA menerbitkan Surat Edaran, Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jawa Timur, Sukadiono, menyebut Surat Edaran MA sudah tepat. Menurutnya, surat Edaran MA yang kontra terhadap pernikahan beda agama itu sudah sesuai ajaran Islam. "Itu mempertegas menikah ya harus satu agama," kata Sukadiono dilansir detikJatim, Kamis (20/7) pekan lalu.

Lihat juga Video 'Tok! MK Tolak Gugatan Pernikahan Beda Agama':

[Gambas:Video 20detik]



Selanjutnya, Kristen Katolik dan Protestan:

2. Kristen Katolik (KWI): Tidak melarang

Dari pihak Kristen Katolik, ada Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) yang pernah berbicara di ruang sidang Pleno MK, 24 November 2014 silam. Perwakilan KWI yang menyampaikan keterangannya saat itu adalah Romo Purbo Tantomo. KWI mengkritik Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan. KWI tidak melarang pernikahan beda agama.

"Perkawinan dilangsungkan untuk meraih kebahagiaan dan siapapun kita tidak berhak untuk melawan kehendak Tuhan. Secara khusus negara bertugas dalam memberikan perlindungan dalam keputusan individu untuk hidup secara berdampingan," kata Romo Purbo, dilansir situs web MK.

Menurut Romo Purbo, negara tidak boleh mempersempit dan menghalang-halangi individu yang hendak mencari kebahagiaan karena hal tersebut sama saja dengan membatasi penghargaan terhadap hak asasi manusia dan secara kenegaraan mengikis nilai-nilai Pancasila.

"Negara bertanggung jawab melindungi perkawinan dan keluarga, namun pada kenyataannya Pasal 2 ayat 1 ketentuan tersebut banyak menyulitkan pasangan-pasangan yang ingin menikah," ujar Romo Purbo.

"Menikah dan keyakinan adalah dua hal yang menyangkut hak pribadi, negara tidak boleh mengganggu atau bahkan membuat seseorang kehilangan salah satu haknya oleh sebab sesuatu hal yang seharusnya tetap bisa berjalan beriringan (menikah dan mempertahankan keyakinan-red)," kata pemuka agama Katolik tersebut.

Ilustrasi pernikahan beda agama.Ilustrasi pernikahan beda agama. Foto: Edi Wahyono

3. Kristen Protestan (PGI): Tidak melarang

Dari Kristen Protestan, ada Nikson Gans Lalu yang mengemukakan pandangannya. Nikson berasal dari Komisi Hukum Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI). PGI bersifat kriti terhadap Pasal 2 ayat (1) tentang Perkawinan yang melarang pernikahan beda agama itu. Seharusnya, menurut PGI, urusan perkawinan diserahkan pada aturan masing-masing agama (lex specialis derogat legi generalis), bukan diatur undang-undang.

"Bahwa penerapan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1074 telah menyimpang dari rasa keadilan karena secara teologis orang yang berbeda agama pun tidak boleh dilarang atau tidak dihalangi untuk menikah," kata dia.

Selanjutnya, Hindu, Buddha, Konghucu:

4. Hindu (PHDI): Melarang

Dalam konteks persidangan di MK saat itu, pihak umat Hindu juga dihadirkan, yakni dari Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI). Mereka menyatakan pernikahan beda agama tidak dibenarkan dalam agama Hindu.

"Perkawinan harus melalui proses yang disebut Wiwaha Samskara dan adalah peristiwa sakral yang dipimpin oleh Pandita, maka kedua mempelai diharuskan memeluk agama Hindu (beragama sama)," ujar I Nengah Dana, dilansir situs web MK.

Meskipun demikian ia mengakui bahwa ada aturan dalam Hindu terutama di India yang memperbolehkan perkawinan beda agama, namun terbatas hanya untuk agama-agama yang serumpun, seperti Buddha, Jaina, dan Sikh, pengertian ini kemudian diperluas untuk semua sekte Hinduisme di sana. Namun, hal ini di Indonesia tidak dikenal sebagaimana telah diatur dalam tradisi suci yang telah berlangsung selama turun-temurun.

5. Buddha (Walubi): Patuh terhadap UU

Perwakilan Umat Buddha Indonesia (Walubi) mengemukakan pendapatnya lewat Ketua Bidang Ajaran, Suhadi Sendjaja. Walubi tidak memberi penegasan apakah dalam Buddha membolehkan pernikahan beda agama atau tidak, dan tidak memberi penegasan apakah menolak Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan atau tidak, kecuali menyatakan patuh terhadap UU itu sebagai aturan hukum di Indonesia.

"Pertama, yang berkaitan dengan perkawinan. Dalam hukum agama Buddha, Buddha mengatakan sepasang manusia bisa melangsungkan pernikahan itu karena ada jodoh masa lampau yang sangat kuat dan sangat dalam. Oleh karena itu, ini yang merupakan landasan keyakinan dari agama Buddha," kata Suhadi.

"Umat Buddha juga patuh kepada Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 di dalam memberikan pelayanan keagamaan untuk hal-hal yang berkaitan dengan upacara pernikahan," kata dia.

Dikutip dari situs web Buddhanet, situs yang dikelola Buddha Dharma Education Association di Australia, pernikahan bukanlah termasuk upacara suci (sakramen) dalam Buddhisme. Pernikahan diatur oleh hukum negara masing-masing dan penganut Buddha diharapkan patuh terhadap hukum di negara masing-masing tersebut. Bahkan dalam tradisi Theravada tertentu, biksu dilarang menjalankan upacara pernikahan.

6. Konghucu (Matakin): Tak bisa tapi tak boleh dihalangi

Konghucu lewat Majelis Tinggi Agama Konghucu (Matakin) menyatakan perkawinan beda agama tidak dapat dilaksanakan Li Yuan atau pemberkatan perkawinan.

"Li Yuan perkawinan dilaksanakan hanya bagi kedua mempelai yang beragama Konghucu," kata Wakil Ketua Umum Matakin Uung Sendana L Lingaraja saat memberikan keterangan sebagai Pihak Terkait dalam sidang Pengujian UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan di MK Jakarta, dilansir Antara, 24 November 2014.

Namun, menurut Uung, pernikahan beda agama bukan persoalan utama. Restu bisa diberikan bagi siapapun yang telanjur melangsungkan perkawinan.

"Pernikahan dilakukan atas dasar kebahagiaan dan meneruskan keturunan. Perbedaan politis, etnis, kepahaman, budaya, bahkan agama tidak bisa menghalangi adanya perkawinan," ujar pria yang juga merupakan Wakil Ketua Umum Matakain saat itu, dilansir situs web MK.

Halaman 2 dari 3
(dnu/asp)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini
Selengkapnya



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Ajang penghargaan persembahan detikcom bersama Polri kepada sosok polisi teladan. Baca beragam kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini.
Hide Ads