Mahkamah Agung (MA) mengeluarkan Surat Edaran MA (SEMA) Nomor 2 Tahun 2023 tentang Petunjuk Bagi Hakim dalam Mengadili Perkara Permohonan Pencatatan Perkawinan Antar-Umat Beragama yang Berbeda Agama dan Kepercayaan. SEMA 2/2023 itu ditandatangi Ketua MA Muhammad Syarifuddin.
"Surat Edaran MA itu ditujukan ke ketua Pengadilan Banding dan Ketua Pengadilan tingkat pertama. Isinya memberikan petunjuk bagi hakim dalam mengadili perkara permohonan pencatatan perkawinan antar umat yang berbeda agama dan kepercayaan," kata jubir MA Suharto kepada wartawan, Rabu (19/7/2023).
Tujuan SEMA itu, kata Suharto, untuk memberikan kepastian dan kesatuan penerapan hukum dan itu juga merujuk pada ketentuan UU.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Itu sesuai fungsi MA. Lihat Pasal 32 UU Nomor 14 Tahun 1985 yang tidak diubah dalam UU Nomor 5/2004, tapi kemudian Pasal 32 diubah dalam UU Nomor 3/2009," ucap Suharto yang juga hakim agung itu.
Pengaturan pernikahan diatur dalam UU Perkawinan. Namun didapati juga di UU Adminduk.
"Mencermati dua atau lebih UU yang terkesan berseberangan atau bertentangan, maka yang paling bijak kita gunakan asas-asas perundang-undangan. SEMA memberi petunjuk ke pengadilan di bawah MA, sesuai fungsi MA sandarannya atau rujukannya juga UU Perkawinan Pasal 2," ungkap Suharo.
"Mesti kita bedakan dengan jernih antara perkawinan dengan pencatatan," pungkasnya.
Berikut isi SEMA yang dikutip detikcom, Selasa (18/7):
Untuk memberikan kepastian dan kesatuan hukum dalam mengadili permohonan pencatatan perkawinan antarumat beragama yang berbeda agama dan kepercayaan, para hakim harus berpedoman pada ketentuan sebagai berikut:
1. Perkawinan yang sah adalah yang dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaan itu, sesuai Pasal 2 ayat 1 dan Pasal 8 huruf f UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
2. Pengadilan tidak mengabulkan permohonan pencatatan perkawinan antar umat beragama yang berbeda agama dan kepercayaan.
Hal itu menyikapi sejumlah pengadilan mengabulkan permohonan pencatatan nikah beda agama berdasarkan UU Adminduk. UU itu pernah digugat ke Mahkamah Konstitusi (MK) untuk dibatalkan tapi ditolak.
Lihat juga Video 'Tok! MK Tolak Gugatan Pernikahan Beda Agama':
Simak pertimbangan MK selengkapnya di halaman berikutnya.
Berikut pertimbangan MK tersebut:
Pasal 34 UU 23/2006 menegaskan bahwa setiap warga negara yang telah melangsungkan perkawinan sah menurut peraturan perundang-undangan, berhak mencatatkan perkawinannya pada kantor catatan sipil bagi pasangan yang beragama non-Islam, dan di Kantor Urusan Agama (KUA) bagi pasangan beragama Islam.
Jaminan pencatatan perkawinan bagi setiap warga negara juga dapat dilakukan terhadap perkawinan yang ditetapkan oleh pengadilan.
Meskipun dalam penjelasannya dijelaskan yang dimaksud perkawinan yang ditetapkan oleh pengadilan, adalah perkawinan yang dilakukan antar-umat yang berbeda agama, menurut Mahkamah bukan berarti negara mengakui perkawinan beda agama karena negara, dalam hal ini mengikuti penafsiran yang telah dilakukan oleh lembaga atau organisasi keagamaan yang memiliki otoritas mengeluarkan penafsiran.
Dalam hal terjadi perbedaan penafsiran maka lembaga atau organisasi keagamaan dari individu tersebut yang berwenang menyelesaikannya.
Sebagai sebuah peristiwa kependudukan, kepentingan negara, in casu pemerintah, adalah mencatat sebagaimana mestinya perubahan status kependudukan seseorang sehingga mendapatkan perlindungan, pengakuan, status pribadi dan status hukum atas setiap peristiwa kependudukan tersebut termasuk dalam hal ini pencatatan perkawinan yang dilakukan melalui penetapan oleh pengadilan.