Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) menggugat UU Kejaksaan ke Mahkamah Konstitusi (MK) agar kewenangan jaksa ditambah dapat mengusut kasus kolusi dan nepotisme. Koordinator MAKI meminta agar MK menambah penjelasan dalam UU Kejaksaan itu untuk dapat juga mengusut kasus kolusi dan nepotisme karena selama ini baru mengusut korupsi.
Adapun pasal yang digugat MAKI adalah Pasal 30 Ayat (1) huruf d Undang - Undang Nomor 16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan Republik Indonesia terkait tugas dan kewenangan Kejaksaan. Berikut bunyi pasal tersebut:
d. melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan undang-undang;
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
MAKI menyebut dalam ketentuan kewenangan "penyidikan" dalam Pasal 30 Undang - Undang Nomor 16 Tahun 2004 sesuai dengan prinsip kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum sebagaimana dijamin dalam Pasal 28D Undang - Undang Dasar 1945, tetapi akan lebih hebat jika berwenang untuk menyidik perkara kolusi dan nepotisme sehingga semakin terwujud pemerintahan bersih berwibawa bebas KKN.
Oleh karenanya, MAKI meminta agar hakim MK memutuskan aturan terkait kewenangan Kejaksaan Republik Indonesia Pasal 30 Ayat (1) huruf d Undang -Undang Nomor 16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan Republik Indonesia, dalam melakukan Penyidikan pada Tindak Pidana Korupsi bertentangan dengan Undang - Undang Dasar 1945 jika tidak ditambah berwenang menangani perkara Kolusi dan Nepotisme.
"Pasal 30 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 67 dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4401), tidak bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang dimaknai Jaksa berwenang menyidik Korupsi, Kolusi dan Nepotisme, karenanya harus dinyatakan bertentangan secara bersyarat," demikian dikutip dari permohonan yang disampaikan Koordinator MAKI, Boyamin, Selasa (11/7/2023).
Adapun permohonan tersebut telah dibacakan dalam sidang pemeriksaan pendahuluan di Mahkamah Konstitusi hari ini. Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih meminta agar Boyamin memperjelas kerugian konstitusi yang dirasakannya. Sebab menurut Enny, dalam permohonan Boyamin belum menjabarkan secara rinci apa kerugian dari UU tersebut.
Selain itu, Enny menilai gugatan yang diajukan MAKI ini dapat berpotensi mempersempit kewenangan kejaksaan karena pemohon meminta dalam petitumnya memperluas norma kolusi dan nepotisme, tetapi ia mengaku bingung karena pemohon tidak memasukkan norma tindak pidana lain, misalnya kasus pelanggaran HAM di dalam petitumnya itu.
Di sisi lain, di MK saat ini juga telah ada gugatan lain yang menggugat agar menghapus kewenangan jaksa menyidik kasus korupsi. Namun, Enny menyebut gugatan tersebut masih berproses di MK dan belum diputus. Ia meminta agar MAKI memperbaiki permohonannya dan memperjelas permohonannya, karena norma kewenangan melakukan penyidikan kasus korupsi yang diminta oleh MAKI masih ada di dalam UU Kejaksaan tersebut, hanya saja dalam permohonannya MAKI meminta menambahkan frasa menangani kasus kolusi dan nepotisme.
"Nah ini kan barangnya masih tetap ada (penyidikan korupsi). Sekarang yang menjadi persoalan terus apa anggapan kerugiannya? Normanya tetap seperti itu. Bahkan kalau normanya ini dikaitkan dengan permohonan Saudara, yang kemudian ada di dalam petitum, itu di dalam petitum itu justru mempersempit, petitumnya yang dimaksud di situ adalah minta dimaknai dalam petitumnya itu kaitannya dengan kewenangan perkara korupsi, kolusi dan nepotisme. Padahal penjelasannya lebih luas, tindak pidana tertentu itu termasuk ada pengadilan HAM, ini gimana sebetulnya yang di mau ini?" tanya Enny.
"Tolong ini bisa diuraikan saya kira yang pokok-pokok di sini karena menyangkut kerugian hak konstitusional. Apa sesungguhnya anggapan kerugian hak konstitusional para pemohon itu dengan adanya norma yang dimana pemohon menyatakan normanya memang seperti itu maunya, gitu loh. Terus kerugiannya dimana? Jadi ini perlu di jelaskan, kalau tidak ada ya tidak ada kerugian," lanjut Enny.
Menanggapi itu, Boyamin menjelaskan gugatan tersebut merupakan bentuk 'intervensi' terhadap gugatan orang lain yang meminta agar kewenangan jaksa menangani penyidikan kasus korupsi dihapus. Justru, MAKI melalui gugatan ini meminta agar hakim MK tetap memutuskan kewenangan jaksa menyidik kasus korupsi tetapi menambah kewenangannya menangani kasus kolusi dan nepotisme di dalam UU Kejaksaan.
Meski demikian, Boyamin akan mengajukan perbaikan permohonan pada sidang berikutnya.
"Pertama memang ikhtiar saya berbeda dengan orang lain, dalam konteks yang seakan-akan menuduh sesuatu yang belum, ini cara mencintai MK saya yang bagian dari sistim dilahirkan reformasi," kata Boyamin.
"Kenapa saya mengajukan ini, ini kan saya mendengar suara-suara yang lain ya sudah saya mengajukan saja sebagai bentuk permohonan tanda kutip intervensi terhadap permohonan nomor 28," kata Boyamin.
Baca halaman selanjutnya.
Ia menyebut dalam perkara ini ia meminta agar hakim MK menambah penjelasan tentang kewenangan jaksa menyidik kolusi dan nepotisme. Namun terkait frasa pelanggaran HAM berat tetap akan ada di penjelasan pidana tertentu, oleh karenanya, MAKI akan mengajukan perbaikan permohonan pada sidang berikutnya sesuai saran yang disampaikan hakim konstitusi.
"Sebenarnya yang ingin kami ajukan uji materi ini adalah penjelasannya, jadi bukan pasalnya. Penjelasan mengatakan korupsi, korupsi itu dimaknai juga termasuk kolusi dan nepotisme. Jadi bukan pasalnya, jadi penjelasannya. Nanti akan kami perbaiki. Frasa penjelasan itu kan tindak pidana tertentu itu termasuk HAM berat dan korupsi. Nah korupsi itu frasanya dimaknai lagi juga mengatur korupsi dan nepotisme sebagai UU," katanya.
Sebelumnya, Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) meminta Mahkamah Konstitusi (MK) menambah kewenangan jaksa mengusut kasus kolusi dan nepotisme. Selama ini, kejaksaan baru mendapatkan kewenangan menyidik kasus korupsi saja.
"Menyatakan Pasal 30 ayat 1 huruf D UU Kejaksaan bertentangan dengan UU 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai 'kejaksaan mempunyai tugas dan berwenang melakukan penyidikan perkara korupsi, kolusi dan nepotisme," demikian bunyi petitum permohonan MAKI, Selasa (13/6/2023).
Ikut bergabung pula melakukan judicial review Lembaga Pengawasan, Pengawalan, dan Penegakan Hukum Indonesia (LP3HI) dan mahasiswa UNS Surakarta, Arkaan Wahyu. Menurut MAKI dkk, kewenangan penyidikan sebuah perkara tertentu oleh lembaga tertentu. Kemudian berkembang dan tersebar dalam produk perundang-undangan (Pajak, Bea Cukai, Jasa Keuangan oleh OJK, dan KPK).
"Sehingga kewenangan penyidikan perkara korupsi oleh Kejaksaan berdasar UU adalah praktik ketatanegaraan yang kemudian dikembangkan oleh pembentuk UU sebagai ejawantah asas 'open legal policy' tanpa bermaksud tidak melaksanakan Kitab Hukum Acara Pidana secara murni dan konsekuen," urainya.