Pada prinsipnya PHK diperkenankan oleh UU sepanjang memenuhi syarat. Namun bagaimana bila ada 'manipulasi' alasan dan dicari-cari kesalahan untuk memecat karyawan?
Berikut pertanyaan pembaca yang diterima detik's Advocate. Pembaca detikcom juga bisa mengajukan pertanyaan serupa dan dikirim ke email: redaksi@detik.com dan di-cc ke andi.saputra@detik.com. Berikut pertanyaan lengkapnya:
Singkat cerita saya bekerja di salah satu perusahaan sejak tahun 2000. Dikarenakan ada permasalahan akhirnya saya di-PHK. Permasalahan tersebut sudah dilaporkan oleh perusahaan kepada pihak berwajib dan saya tidak hanya berstatus saksi dan tidak bisa menjadi tersangka tapi tetap saja saya di-PHK dan diwajibkan mengganti kerugian perusahaan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Saya tidak menyetujui penggantian tersebut dikarenakan saya bukanlah pelaku yang disangkakan dan juga pesangon saya tidak bisa dikeluarkan oleh perusahaan dengan alasan saya telah melakukan kesalahan fatal.
Yang jadi pertanyaan:
1.Saya bisakah saya tetap menuntut hak pesangon saya?
2.Kalau bisa jalur apakah yang harus saya tempuh?
Terimakasih.
Tsaqib Bogor
Untuk menjawab pertanyaan pembaca detik's Advocate di atas, kami meminta pendapat advokat Yudhi Ongkowijaya, S.H., M.H. Berikut penjelasan lengkapnya:
Terima kasih atas pertanyaan yang Saudara sampaikan. Kami akan coba membantu untuk menjawabnya.
Berdasarkan pertanyaan di atas, Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) yang dilakukan oleh perusahaan terhadap Saudara adalah karena adanya dugaan perbuatan pidana yang menyebabkan kerugian bagi perusahaan. Terkait hal tersebut, pada dasarnya PHK dapat dilakukan oleh perusahaan dengan syarat-syarat sebagaimana tercantum di dalam Pasal 80 Angka (42) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja (UU Ciptaker) yang menyisipkan satu pasal diantara ketentuan Pasal 154 dan Pasal 155 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan (UU Ketenagakerjaan) yaitu Pasal 154A.
Apabila pertanyaan Saudara dihubungkan dengan ketentuan perundang-undangan tersebut, kami berasumsi bahwa penyebab PHK yang paling mungkin terjadi kepada Saudara adalah karena diakibatkan oleh alasan sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Pasal 154A Ayat (1) Huruf (k) UU Ketenagakerjaan Juncto Pasal 36 Huruf (k) Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2021 Tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, Alih Daya, Waktu Kerja Dan Waktu Istirahat, Dan Pemutusan Hubungan Kerja (PP 35/2021), yang menyatakan :
"Pemutusan hubungan kerja dapat terjadi karena alasan pekerja/buruh melakukan pelanggaran ketentuan yang diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama dan sebelumnya telah diberikan surat peringatan pertama, kedua, dan ketiga secara berturut-turut masing-masing berlaku untuk paling lama 6 (enam) bulan kecuali ditetapkan lain dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama"
Pada dasarnya, dalam hal terjadi pemutusan hubungan kerja, maka perusahaan wajib membayarkan uang pesangon dan/atau uang penghargaan masa kerja, dan uang penggantian hak yang seharusnya diterima. Hal ini sesuai sebagaimana ketentuan Pasal 80 Angka (44) UU Ciptaker yang mengubah ketentuan Pasal 156 UU Ketenagakerjaan Juncto Pasal 40 Ayat (1) PP 35/2021. Ketentuan mengenai besaran uang pesangon, uang penghargaan masa kerja, dan uang penggantian hak, diatur secara khusus di dalam ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) pasal yang sama.
Pelanggaran atas kewajiban membayarkan uang pesangon, uang penghargaan masa kerja, dan uang penggantian hak, dapat dikenakan sanksi pidana sebagaimana ketentuan Pasal 80 Angka (63) UU Ciptaker yang mengubah ketentuan Pasal 185 Ayat (1) UU Ketenagakerjaan, yang menyatakan :
"Ketentuan Pasal 185 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut :
(1) Barang siapa melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 Ayat (2), Pasal 68, Pasal 69 Ayat (2), Pasal 80, Pasal 82, Pasal 88A Ayat (3), Pasal 88E Ayat (2), Pasal 143, Pasal 156 Ayat (1), atau Pasal 160 Ayat (4), dikenai sanksi pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp. 100.000.000,00 (seratus juta Rupiah) dan paling banyak Rp. 400.000.000,00 (empat ratus juta Rupiah)"
Selain langkah hukum secara pidana, Saudara juga dapat menempuh upaya penyelesaian perselisihan hubungan industrial melalui musyawarah dengan pihak perusahaan. Perundingan ini disebut dengan bipartit. Apabila proses bipartit tidak menemukan penyelesaian, maka Saudara dapat melaporkannya kepada Dinas Tenaga Kerja setempat untuk mencatatkan perselisihan tersebut dengan membawa serta bukti bahwa upaya bipartit telah ditempuh tetapi menemui kegagalan. Proses ini disebut dengan tripartit. Dinas Tenaga Kerja akan berupaya mendamaikan dan mencarikan jalan keluar dari perselisihan tersebut melalui Mediasi Hubungan Indutrial antara Saudara dengan perusahaan.
Selanjutnya apabila mediasi di Dinas Tenaga Kerja setempat tetap tidak mendapatkan hasil penyelesaian, maka sebagai langkah lebih lanjut Saudara dapat menempuh upaya hukum dengan mengajukan gugatan perselisihan hubungan industrial melalui Pengadilan Hubungan Industrial.
Demikian jawaban dari kami, semoga dapat bermanfaat.
Salam.
Yudhi Ongkowijaya, S.H., M.H.
Partner pada Law Office ELMA & Partners
www.lawofficeelma.com
Tentang detik's Advocate
detik's Advocate adalah rubrik di detikcom berupa tanya-jawab dan konsultasi hukum dari pembaca detikcom. Semua pertanyaan akan dijawab dan dikupas tuntas oleh para pakar di bidangnya.
Pembaca boleh bertanya semua hal tentang hukum, baik masalah pidana, perdata, keluarga, hubungan dengan kekasih, UU Informasi dan Teknologi Elektronik (ITE), hukum merekam hubungan badan (UU Pornografi), hukum internasional, hukum waris, hukum pajak, perlindungan konsumen dan lain-lain.
![]() |
Identitas penanya bisa ditulis terang atau disamarkan, disesuaikan dengan keinginan pembaca. Seluruh identitas penanya kami jamin akan dirahasiakan.
Pertanyaan dan masalah hukum/pertanyaan seputar hukum di atas, bisa dikirim ke kami ya di email: redaksi@detik.com dan di-cc ke-email: andi.saputra@detik.com
Semua jawaban di rubrik ini bersifat informatif belaka dan bukan bagian dari legal opinion yang bisa dijadikan alat bukti di pengadilan serta tidak bisa digugat.
Simak juga 'Penjelasan Toko Buku Gunung Agung soal Kabar PHK Massal':