Polda Metro Jaya menangkap dua wanita terkait perdagangan orang ke luar negeri dengan modus dijadikan pekerja migran ilegal. Polisi menduga kedua tersangka ini diperintah sang mastermind di luar negeri.
Dirkrimum Polda Metro Jaya Kombes Hengki Haryadi mengatakan pihaknya tengah mencari tahu sosok mastermind tersebut dan memburunya.
"Target kami jaringan cukup luas mereka punya kaki-kaki di wilayah-wilayah dan ini akan kita kejar termasuk mastermind, big bos di belakangnya akan dikejar," kata Hengki Haryadi di Polda Metro Jaya, Jakarta, Jumat (9/6/2023).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Hengki mengatakan pihaknya telah membentuk tim untuk mengejar pihak-pihak yang terlibat dalam perdagangan orang tersebut.
"Tim sudah dibentuk Satgas Polda Metro Jaya, kita akan melakukan pengejaran terhadap pelaku-pelaku yang terlibat dalam TPPO," jelasnya.
Penyalur Diperintah WNA
Sementara itu, Panit 5 Subdit Renakta Ditreskrimum Polda Metro Jaya, Iptu Widodo, mengatakan dua wanita penyalur pekerja migran ilegal mendapatkan order dari mastermind yang merupakan WNA.
"Untuk kedua tersangka mereka mencari tenaga setelah mendapat permintaan dari mastermind," kata Widodo.
WNA tersebut meminta si penyalur untuk menyalurkan calon pekerja migran secara ilegal.
"Saya sampaikan yang dimaksud mastermind ada dugaan melibatkan warga negara asing. Jadi permintaan dari sana, ada kebutuhan di sana, kemudian disambungkan di Indonesia, meskipun di Indonesia dilarang inilah celah yang dilihat oleh pelaku sehingga kirimkan korban korban ini ke luar negeri ke Arab, Timur Tengah dengan cara-cara yang tidak prosedural," bebernya.
Baca selengkapnya di halaman selanjutnya....
Pengungkapan Kasus
Dirkrimum Polda Metro Jaya Kombes Hengki Haryadi mengatakan dalam kasus TPPO yang diungkap Subdit Renakta dua wanita sudah jadi tersangka. Tersangka A (30) ditangkap di wilayah Cempaka Putih, Jakarta Pusat. Di lokasi tersebut, calon pekerja migran berinisial LH (35) bisa diselamatkan.
Sementara itu, tersangka kedua wanita berinisial HCI (61) ditangkap di wilayah Ciracas, Jakarta Timur. Sebanyak 5 calon pekerja migran bisa diselamatkan.
Hengki menjelaskan kedua tersangka menggunakan modus operandi yang serupa. Keduanya memberi iming-iming uang kepada keluarga korban supaya korban diizinkan berangkat ke luar negeri.
"Di mana pemberian uang ini adalah dalam rangka untuk memperoleh izin daripada suami atau orang tua sehingga diizinkan diberangkatkan keluar negeri secara ilegal," kata Hengki dalam jumpa pers di Polda Metro Jaya, Jumat (9/6/2023).
Sama dengan modus lainnya, para tersangka menggunakan visa ziarah untuk memberangkatkan para tenaga kerja ke Arab Saudi. Namun, di luar negeri sudah ada sindikat lain yang akan mengubah visa tersebut menjadi visa kerja dan sebagainya.
"Namun di luar negeri sudah ada sindikatnya lagi yang mengubah visa menjadi visa kerja dan sebagainya. Ini sudah Kami amati sejak lama kelompok ini," ujarnya.
Kepada penyidik, A mengaku sudah mengirimkan 8 kali TKI ilegal ke Arab Saudi, tapi belum diketahui jumlahnya. Sementara itu, HCI sendiri sudah mengirimkan kurang lebih 80 tenaga ilegal ke Singapura dan Myanmar.
Hengki menambahkan kasus ini terbongkar berkat adanya informasi dari TKI yang pernah dikirimkan oleh kedua tersangka. Kepada petugas mereka mengaku mendapat gaji yang tidak semestinya dan tidak sesuai yang dijanjikan. Selain itu, dia diminta membayar denda saat meminta untuk pulang.
"Kita dapat info dari yang sudah dari luar negeri. Mendapat gaji tidak sesuai semestinya tidak sesuai yang dijanjikan. Kemudian dia kalau mau pulang takut karena didenda lagi," jelasnya.
Saat ini keduanya sudah ditetapkan jadi tersangka dan ditahan. Pihak kepolisian juga mengamankan beberapa barang bukti, mulai dari paspor hingga bukti transfer buku daftar TKI yang sudah dikirimkan ke luar negeri.
Atas kasus tersebut, kedua tersangka dijerat Pasal 2 dan/atau Pasal 4 dan/atau Pasal 10 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Tindak Pidana Perdagangan Orang dan/atau Pasal 81 Jo Pasal 69 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2017 Tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia dengan ancaman pidana maksimal 15 tahun.