Angka Putus Sekolah Naik, Waket MPR Minta Pembelajaran Diperluas

Angka Putus Sekolah Naik, Waket MPR Minta Pembelajaran Diperluas

Erika Dyah Fitriani - detikNews
Rabu, 07 Jun 2023 21:15 WIB
Wakil Ketua MPR RI Lestari Moerdijat
Foto: dok. MPR
Jakarta -

Wakil Ketua MPR RI Lestari Moerdijat meminta ruang pembelajaran dibuka seluas-luasnya bagi setiap anak bangsa. Hal ini ia sampaikan saat membuka diskusi bertema 'Mengurangi Angka Putus Sekolah dalam Mempersiapkan Generasi Penerus Menuju Indonesia 2045' yang digelar Forum Diskusi Denpasar 12.

Menurutnya, ruang belajar ini dapat dibuka dengan mengoptimalkan sumber daya semaksimal mungkin. Dengan demikian, seluruh elemen dapat mempersiapkan generasi emas dan berdaya saing di masa datang.

Ia mengungkapkan berdasarkan laporan BPS, angka putus sekolah kembali meningkat pada 2022 setelah mengalami tren penurunan sejak 2016. Menurutnya, fenomena putus sekolah ini tidak bisa dianggap remeh.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Peningkatan angka putus sekolah selama pandemi maupun disrupsi saat ini menunjukkan kita belum mampu melalui situasi krisis dan ketidakpastian global secara smooth di sektor pendidikan," kata Lestari dalam keterangannya, Rabu (7/6/2023).

Perempuan yang akrab disapa Rerie ini mengatakan butuh penanganan dan solusi yang serius jika ingin mencerdaskan seluruh anak bangsa, meningkatkan kualitas SDM, dan menuju pencapaian kesejahteraan nasional.

ADVERTISEMENT

Lebih lanjut, ia menilai putus sekolah dapat disebabkan berbagai faktor. Beberapa di antaranya ketidakinginan individu untuk melanjutkan sekolah, beban belajar yang terlampau berat, kemalasan, masalah finansial rumah tangga, atau masalah lain yang menyebabkan siswa/i memutuskan tidak melanjutkan sekolah.

Anggota Majelis Tinggi Partai NasDem itu mengatakan keluarga dan lingkungan perlu menjadi pemerhati pertama dalam menyikapi persoalan putus sekolah itu. Selain itu, pemerintah melalui inisiatifnya diimbau memahami bahwa tidak semua anak memiliki kesempatan yang sama dan dukungan sumber daya yang sama dalam mengenyam pendidikan.

Untuk itu, ia menegaskan seluruh elemen masyarakat, pemerhati pendidikan, dan pemerintah harus memiliki political will dalam mewujudkan generasi emas yang berdaya saing. Salah satunya dengan membuka kesempatan belajar seluas-luasnya bagi setiap warga negara.

Sebagai informasi, diskusi ini dimoderatori oleh Dr. Irwansyah (Tenaga Ahli Wakil Ketua MPR RI) itu. Hadir pula sejumlah narasumber yang terdiri dari Ratih Megasari Singkarru, M.Sc. (Kapoksi Komisi X Fraksi NasDem DPR RI), Anindito Aditomo, S.Psi., M.Phil., Ph.D. (Kepala Badan Standar, Kurikulum, dan Asesmen Pendidikan, Kemendikbudristek RI), dan Dr. Jejen Musfah, MA (Wakil Sekjen Pengurus Besar Persatuan Guru Republik Indonesia /PB PGRI - Pemred Majalah Suara Guru).

Selain itu, Halili Hasan (Direktur Eksekutif SETARA Institute), Indrastuti (Wartawan Media Indonesia Bidang Pendidikan), dan Ahmad Baedhowi AR (Direktur Eksekutif Yayasan Sukma Bangsa) turut hadir sebagai penanggap.

Kapoksi Komisi X Fraksi NasDem DPR RI Ratih Megasari Singkarru mengungkapkan pada periode 2012-2023, rata-rata peserta didik hanya mengenyam pendidikan delapan tahun. Bahkan di sejumlah daerah tertentu ada yang hanya tujuh tahun padahal penerapan wajib belajar saat ini ialah 12 tahun.

Menurutnya, ada sejumlah kendala yang menyebabkan angka putus sekolah ini. Mulai dari kondisi ekonomi keluarga, daya tampung sekolah, faktor geografi, pandemi, dan pemahaman keluarga tentang pendidikan.

Ia mengatakan banyak anak usia sekolah terpaksa bekerja karena kendala finansial. Selain itu, daya tampung SMA dan SMK yang terbatas menyebabkan sekolah tidak mampu menampung seluruh lulusan SMP.

Faktor geografis juga disebut menjadi alasan anak putus sekolah, karena kepadatan penduduk yang rendah membuat adanya biaya tambahan untuk menuju ke sekolah. Padahal, tegas Ratih, dampak putus sekolah akan menyebabkan IPM rendah, pengangguranm dan sulit meningkatkan kesejahteraan.

Ratih berpendapat data antarkementerian yang semakin terintegrasi akan sangat membantu mewujudkan proses pendidikan yang tepat kepada setiap anak bangsa yang membutuhkan.

Sementara itu, Kepala Badan Standar, Kurikulum, dan Asesmen Pendidikan, Kemendikbudristek RI, Anindito Aditomo berpendapat untuk melihat angka putus sekolah harus dikaitkan secara historis. Menurutnya, dibandingkan 20 tahun lalu, saat ini terjadi peningkatan angka partisipasi sekolah bahkan mendekati 100%.

Namun ada pekerjaan rumah yang masih dihadapi, yakni pada jenjang SMA yang hingga saat ini angka partisipasinya baru mencapai 73,15%. Ia mengatakan wajib belajar 12 tahun sebenarnya masih pada tingkat komitmen. Namun secara undang-undang saat ini yang berlaku adalah Wajib Belajar 9 tahun. Hal ini terlihat dari realisasi angka partisipasi sekolah di tingkat SMP yang sudah mencapai 95%.

Anindito mengakui masih ada kesenjangan dalam mengakses pendidikan di Tanah Air dengan berbagai latar belakang kendala yang dihadapi. Untuk itu, ia mengatakan pendidikan harus dibuat bermakna dan relevan, sehingga anak mampu memenuhi harapan keluarga ketika disekolahkan.

Program Merdeka Belajar, menurut Anindito, merupakan salah satu upaya pemerintah meningkatkan akses untuk memperbaiki kualitas pendidikan. Oleh karena itu, sekolah harus menjadi tempat yang membuka kesempatan pengembangan profil pelajar Pancasila. Setiap satuan pendidikan juga diminta bertransformasi menjadi lingkungan belajar yang aman, efektif, dan menantang.

Berdasarkan riset yang dilakukan lembaganya, Direktur Eksekutif SETARA Institute Halili Hasan menilai penyebab putus sekolah tidak semata faktor ekonomi tetapi juga aspek sosial. Saat ini berkembang fenomena sosial yang memperlihatkan seseorang bisa menjadi kaya hanya dengan memanfaatkan teknologi informasi. Hal ini pun membuat masyarakat menilai pendidikan tidak penting lagi untuk mewujudkan masa depan mereka.

Ia berpendapat masyarakat membutuhkan dorongan agar lebih dekat dengan pendidikan yang mampu mewujudkan kehidupan bangsa yang lebih baik.

Wartawan salah satu media nasional di bidang Pendidikan Indrastuti berpendapat faktor sosial dan ekonomi sejak dahulu menjadi faktor pendorong angka putus sekolah, meski sudah ada program Wajib Belajar dan PIP.

Pertanyaan yang harus diajukan kepada pemerintah, tambahnya, apakah biaya yang dikeluarkan oleh orang tua sebanding dengan output yang diharapkan.

Ia mengatakan bila peserta didik bisa bertujuan segera bekerja, maka akan lebih baik diarahkan ke sekolah kejuruan. Namun, setiap daerah menghadapi tantangan yang berbeda-beda dalam mewujudkannya.

Direktur Eksekutif Yayasan Sukma Bangsa, Ahmad Baedhowi AR berpendapat Pasal 31 UUD 1945 mengamanatkan setiap warga negara berhak mendapat pendidikan dan setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya. Oleh karena itu, ia mengatakan perlu dicek pelanggarannya jika terjadi putus sekolah.

"Apakah struktur anggaran pendidikan kita sehat atau tidak?" kata Baedhowi.

Ia menilai isu pendidikan selalu dimasukkan dalam diskursus politik. Menurutnya, terminologi sekolah gratis tidak tepat karena hanya pemerintah yang seolah-olah bertanggung jawab dalam membiayai pendidikan. Padahal masyarakat juga ikut berkontribusi mewujudkan sekolah gratis.

Di sisi lain, Wakil Sekjen Pengurus Besar Persatuan Guru Republik Indonesia Jejen Musfah berpendapat faktor keterbatasan ekonomi merupakan salah satu penyebab putus sekolah. Ia menegaskan pemerintah harus mewujudkan sekolah gratis di Tanah Air, termasuk sekolah madrasah swasta.

Menurutnya, peserta didik yang tidak mampu dan bersekolah di sekolah swasta juga harus ditanggung oleh negara. Jejen juga menilai pernikahan dini turut menjadi penyebab putus sekolah. Selain itu, surplus kebijakan di sektor pendidikan yang lemah dalam implementasi dinilai menjadi satu penyebab putus sekolah. Sebbba tidak ada kolaborasi dan kerja sama yang baik antarpemangku kebijakan.

Halaman 2 dari 2
(prf/ega)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini
Selengkapnya



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Ajang penghargaan persembahan detikcom bersama Polri kepada sosok polisi teladan. Baca beragam kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini.
Hide Ads