Sampah menjadi masalah lingkungan yang kerap memicu pertikaian antarwarga. Salah satunya dialami warga Jakarta Barat. Bagaimana ceritanya?
Hal itu sebagaimana diceritakan pembaca detik's Advocate yang dikirim ke email: redaksi@detik.com dan di-cc ke andi.saputra@detik.com
Berikut kisah lengkapnya:
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Saya dari salah satu warga perumahan di Kedoya Utara, Kebon Jeruk. Ingin menyampaikan keluhan warga perkampungan yang membakar sampah sembarangan hingga menyebabkan polusi udara yang parah. Pihak RT/RW maupun kelurahan tidak bisa menanggapi dengan tegas. Padahal satu ketika sempat membakar salah satu rumah warga kompleks perumahan hingga perlu renovasi besar.
Apa dari tim detik dapat membantu untuk kasus seperti ini?
Terima kasih
Untuk menjawab pertanyaan di atas, kami meminta pendapat hukum kepada advokat KENNY HASIBUAN, S.H. Berikut jawabannya:
Membahas permasalahan hukum terkait dengan tindakan membakar sampah, maka tidak dapat dipisahkan dari aspek hukum lingkungan. Penulis mengamati setidaknya terdapat dua Undang-Undang yang relevan dengan permasalahan dimaksud, yakni UU No. 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah (UU Pengelolaan Sampah) dan UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PPLH).
Lebih lanjut larangan membakar sampah sembarangan dapat ditemukan dalam Pasal 29 ayat (1) huruf g UU Pengelolaan Sampah, sebagai berikut:
Setiap orang dilarang membakar sampah yang tidak sesuai dengan persyaratan teknis pengelolaan sampah.
Larangan membakar sampah sembarangan sebagaimana dikutip di atas, kemudian diatur lebih lanjut melalui peraturan daerah (Perda) oleh masing-masing pemerintah daerah. Khusus untuk daerah DKI Jakarta, ketentuan lebih diatur melalui Perda Provinsi DKI Jakarta No 3 Tahun 2013 tentang Pengelolaan Sampah serta perubahannya, Perda Provinsi DKI Jakarta No 4 Tahun 2014 (Perda Pengelolaan Sampah).
Berangkat dari Perda Pengelolaan Sampah, secara tegas telah diatur adanya larangan membakar sampah yang mengakibatkan pencemaran lingkungan, sebagaimana diatur dalam Pasal 126 Perda Pengelolaan Sampah, sebagai berikut:
Pasal 126
Setiap orang dilarang membakar sampah yang mencemari lingkungan
Berdasarkan uraian ketentuan di atas, secara sederhana dapat dikatakan tindakan membakar sampah sembarangan yang menyebabkan pencemaran lingkungan merupakan suatu bentuk perbuatan melanggar hukum.
PENERAPAN PERDA PENGELOLAAN SAMPAH
Disadur dari unggahan akun resmi Suku Dinas Lingkungan Hidup (LH) DKI Jakarta (@dinaslhdki), pada bulan Mei 2022 Suku Dinas LH DKI Jakarta pernah menindak seorang warga Jakarta Selatan berinisial AR atas tindakannya membakar sampah sembarangan, AR dinilai telah melanggar Pasal 130 ayat 1 huruf b Perda Pengelolaan sampah. Atas perbuatannya tersebut, AR dikenai sanksi administratif denda sebesar Rp 500 ribu.
Berdasarkan kasus di atas, diketahui dalam praktiknya, penegakan hukum melalui instrumen sanksi administratif terhadap pelaku pembakaran sampah sembarangan adalah melalui ketentuan Pasal 130 ayat 1 huruf b Perda Pengelolaan Sampah, sebagai berikut:
(1) Gubernur dapat memberikan sanksi administratif berupa uang paksa kepada:
...
b. Setiap orang dengan sengaja atau terbukti membuang, menumpuk sampah dan/atau bangkai binatang ke sungai/ kali/ kanal, waduk, situ, saluran air limbah, di jalan, taman, atau tempat umum, dikenakan uang paksa paling banyak Rp500.000,00 (lima ratus ribu Rupiah)
SANKSI PIDANA
Sehubungan dengan tindakan membakar sampah, Perda Pengelolaan Sampah telah mengatur secara spesifik dalam Pasal 135 ayat (1) jo. Pasal 126 huruf e sebagai berikut:
Pasal 135 ayat (1)
Setiap orang yang lalai atau dengan sengaja membakar sampah yang mencemari lingkungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 126 huruf e dikenakan sanksi pidana sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Penjelasan Pasal 135 ayat (1)
Sanksi pidana bagi setiap orang dengan sengaja atau lalai membakar sampah mencemari lingkungan sebagaimana diatur dalam Pasal 112 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Lebih lanjut, merujuk dalam ketentuan Pasal 112 UU PPLH, maka dapat dipahami sanksi pidana terhadap pelaku pembakaran sampah yang mencemari lingkungan adalah pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
Dalam beberapa kondisi, tindakan pembakaran sampah sembarangan yang akibatnya sampai menyebabkan kebakaran juga dapat dikenakan pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 188 (kelalaian) atau Pasal 187 KUHP (kesengajaan), dengan uraian ketentuan sebagai berikut:
Pasal 187 KUHP
Barang siapa dengan sengaja menimbulkan kebakaran, ledakan atau banjir, diancam dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun, jika karena perbuatan tersebut di atas timbul bahaya umum bagi barang;
Pasal 188 KUHP
Barang siapa karena kesalahan (kealpaan) menyebabkan kebakaran, ledakan atau banjir, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana kurungan paling lama satu tahun atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah, jika karena perbuatan itu timbul bahaya umum bagi barang, jika karena perbuatan itu timbul bahaya bagi nyawa orang lain, atau jika karena perbuatan itu mengakibatkan orang mati.
ASPEK PERBUATAN MELAWAN HUKUM
Selain dari segi hukum administratif maupun pidana, tindakan membakar sampah sembarangan juga dapat dilihat segi hukum perdata. Adanya kerugian yang ditimbulkan atas tindakan membakar sampah sembarangan memungkinkan pemilik rumah untuk menuntut ganti kerugian kepada pelaku pembakaran atas dasar Perbuatan Melawan Hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 1365 Kitab KUH Perdata.
Pasal 1365 KUHPerdata :
"Tiap Perbuatan Melanggar Hukum (Oonrechtmatige daad), yang membawa kerugian kepada seorang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut".
Adapun unsur-unsur yang diatur dalam Pasal 1365 di atas, yakni:
a. Bertentangan dengan kewajiban hukum si Pelaku;
b. Melanggar hak subjektif orang lain;
c. Melanggar kaidah tata susila;
d. Bertentangan dengan asas kepatutan, sikap kehati-hatian yang seharusnya dimiliki seseorang dalam pergaulan sesama masyarakat, atau terhadap harta benda orang lain.
Mengenai kriteria pertama yaitu bertentangan dengan kewajiban hukum si pelaku, dimaksudkan bahwa suatu perbuatan melawan hukum apabila perbuatan tersebut bertentangan dengan kewajiban menurut undang-undang, yang dimaksudkan adalah setiap ketentuan umum yang bersifat mengikat. Apabila seseorang menimbulkan kerugian bagi orang lain dengan cara melanggar suatu ketentuan undang-undang (baik dalam artian formil maupun materiil), maka seseorang tersebut dinyatakan telah melakukan Perbuatan Melawan Hukum, karena bertindak secara bertentangan dengan kewajiban hukumnya.
Selanjutnya, dihubungkan dengan ketentuan Perda Pengelolaan Sampah yang mengatur larangan membakar sampah sembarangan, dengan demikian pemilik rumah yang dirugikan atas pembakaran sampah dimaksud dapat mengajukan gugatan perdata;
Upaya penyelesaian permasalahan pembakaran sampah sebaiknya didahului dengan cara-cara pendekatan musyawarah dan mufakat. Pengacara Kenny Hasibuan SH |
UPAYA YANG DAPAT DILAKUKAN
Setelah memahami ketentuan-ketentuan hukum terkait dengan perbuatan membakar sampah sebagaimana yang telah diuraikan di atas, Penulis memandang ada beberapa upaya yang dapat ditempuh, sebagai berikut:
1. Membuat laporan atau pengaduan ke Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) atas dasar adanya gangguan ketertiban umum maupun dugaan pelanggaran Perda;
2. Membuat laporan atau pengaduan ke Suku Dinas Lingkungan Hidup;
3. Membuat laporan polisi dalam hal adanya dugaan pidana pembakaran sampah yang sampai mengakibatkan kebakaran;
4. Mengajukan gugatan perdata atas dasar Perbuatan Melawan Hukum;
Terlepas dari upaya-upaya sebagaimana disebutkan di atas, Penulis memandang upaya penyelesaian permasalahan pembakaran sampah sebaiknya didahului dengan cara-cara pendekatan musyawarah dan mufakat. Pemilik rumah dapat mengikut sertakan perangkat daerah setempat (RT, RW, atau Kelurahan) maupun tokoh masyarakat guna menjembatani penyelesaian sengketa. Adapun penulis sarankan, mengingat penyelesaian sengketa melalui jalur litigasi relatif memakan waktu dan biaya lebih banyak dibandingkan dengan cara-cara pendekatan musyawarah dan mufakat.
Demikian penjelasan yang dapat disampaikan, kiranya dapat menjadi pemahaman hukum dan pedoman dalam kehidupan bertetangga, maupun bermasyarakat dengan menjunjung nilai-nilai sosial dan kepatutan yang hidup di tengah masyarakat.
Semoga bermanfaat.
KENNY HASIBUAN, S.H.
Advokat, Pengurus dan Kurator
Tentang detik's Advocate
detik's Advocate adalah rubrik di detikcom berupa tanya-jawab dan konsultasi hukum dari pembaca detikcom. Semua pertanyaan akan dijawab dan dikupas tuntas oleh para pakar di bidangnya.
Pembaca boleh bertanya semua hal tentang hukum, baik masalah pidana, perdata, keluarga, hubungan dengan kekasih, UU Informasi dan Teknologi Elektronik (ITE), hukum merekam hubungan badan (UU Pornografi), hukum internasional, hukum waris, hukum pajak, perlindungan konsumen dan lain-lain.
Identitas penanya bisa ditulis terang atau disamarkan, disesuaikan dengan keinginan pembaca. Seluruh identitas penanya kami jamin akan dirahasiakan.
![]() |
Pertanyaan dan masalah hukum/pertanyaan seputar hukum di atas, bisa dikirim ke kami ya di email: redaksi@detik.com dan di-cc ke-email: andi.saputra@detik.com
Semua jawaban di rubrik ini bersifat informatif belaka dan bukan bagian dari legal opinion yang bisa dijadikan alat bukti di pengadilan serta tidak bisa digugat.
(asp/asp)