Lima tahun sudah Mayang Sari (25) menjalani hidup sebagai pengidap gagal ginjal. Di tahun 2017, saat masih berkuliah semester 2, ia divonis dokter mengidap gagal ginjal.
Penyakit itu membuatnya tidak kuat untuk naik turun tangga ke lantai dua kampus. Warga Lubuklinggau, Sumatera Selatan itu pun memutuskan berhenti dari kuliah.
Setelah divonis gagal ginjal, Mayang mesti menjalani terapi cuci darah dua kali seminggu. Ia bersyukur karena biaya pengobatannya ditanggung oleh BPJS Kesehatan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Mayang kali pertama mendaftarkan diri bersama keluarganya menjadi peserta BPJS Kesehatan pada tahun 2017 silam. Dirinya terdaftar pada segmen kepesertaan Pekerja Bukan Penerima Upah (PBPU) Mandiri kelas 3.
"Sejak dokter memvonis saya menderita gagal ginjal dan harus menjalani terapi cuci darah atau hemodialisa, saya harus menjalani cuci darah di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Siti Aisyah tiap minggu sebanyak dua kali. Sebelum terdaftar di Program JKN, saya sempat menjalani serangkaian terapi cuci darah sebagai pasien umum dan mengeluarkan biaya yang hampir mencapai 100 juta rupiah," kenang Mayang dikutip dalam keterangan tertulis, Selasa (9/5/2023).
Mayang mengaku rutin melakukan pembayaran iuran JKN tiap bulan untuk memastikan kartunya aktif. Mayang merasa sangat terbantu karena biaya pengobatan Mayang dijamin BPJS Kesehatan.
"Bapak saya profesinya hanyalah seorang pekerja serabutan. Cuci darah saya jalani dua kali seminggu, satu kali cuci darah menghabiskan biaya delapan ratus ribu rupiah, itu belum dengan obat dan lain-lainnya. Bersyukur juga sekarang karena di RSUD Dr. Sobirin telah ada metode pengganti hemodialisis yaitu Continuous Ambulatory Peritoneal Dialysis (CAPD) yang juga dijamin oleh BPJS Kesehatan," ungkap Mayang.
CAPD merupakan salah satu teknik terapi alternatif terhadap pasien gagal ginjal. Teknik ini dilakukan dengan cara memasukkan cairan dialisis ke dalam rongga perut melalui selang kateter yang sudah ditanam dalam rongga perut untuk menyaring dan membersihkan darah. Secara teknis seperti mesin hemodialisa, namun CAPD menggunakan kantong dan cairan khusus untuk penyaringan darah.
Saat kali pertama menggunakan CAPD, Mayang mengaku sempat mengalami pusing, namun sekarang dirinya sudah terbiasa dengan terapi ini.
"Cairan CAPD dapat saya peroleh secara gratis setiap bulan dari rumah sakit. Satu bulan dikirim 20 dus, bahkan diantarkan langsung ke rumah tanpa biaya apapun. Selama enam bulan sekali kateter bagian luar rutin diganti, lalu obat-obatan juga dijamin oleh BPJS Kesehatan. Tidak pernah saya harus repot cari obat sendiri," tutur Mayang.
Mayang menyatakan dibandingkan dengan metode hemodialisis, CAPD dinilainya lebih nyaman. Saat menjalani hemodialisis, Mayang sering mengalami sesak nafas. Ia juga merasa tidak nyaman ketika harus tiduran dan dipasang banyak selang di tubuhnya selama empat jam. Belum lagi ada banyak pantangan makanan seperti dilarang untuk memakan sayur dan buah-buahan. Sementara itu, pada metode terapi CAPD, Mayang dapat sambil beraktivitas keseharian lain tanpa harus terbaring di tempat tidur.
Selain dibantu oleh ibunya, Mayang sudah terbiasa secara mandiri mengganti cairan CAPD. Biasanya cairan diganti tiga atau empat kali sehari pada waktu makan dan sebelum tidur dengan durasi sekitar 30 sampai 40 menit.
"Saya sangat bersyukur dan terbantu sekali dengan adanya BPJS Kesehatan ini. Tidak terbayang biaya pengobatan yang akan dihabiskan jika saya masih menjadi pasien umum, biaya hemodialisis maupun CAPD sangat mahal. Dengan adanya BPJS Kesehatan, dapat memperpanjang harapan hidup orang-orang yang menderita sakit seperti saya. Semoga saya tetap sehat dan Program JKN dapat terus ada memberikan jaminan kesehatan bagi masyarakat yang membutuhkan," ujar Mayang.
(akd/ega)