Cokelat CHACHA produk Delfi kalah melawan merek lokal Cha-Cha di berbagai tingkatan hingga Mahkamah Agung (MA). Padahal, CHACHA sudah membanjiri pasar Indonesia dari supermarket hingga berbagai minimarket. Delfi bukan merek internasional pertama yang menelan kekalahan melawan merek sejenis yang dimiliki pengusaha lokal.
"Kata CHACHA sangat umum terdengar di telinga masyarakat Indonesia, dikarenakan kata CHACHA adalah tarian yang berasal dari negara Kuba yang divariasikan menjadi lagu yang identik dari wilayah timur di Indonesia yang sangat nikmat untuk dibuat bergoyang," kata advokat dan konsultan kekayaan intelektual, Jekrinius Hasiholan Sirait kepada wartawan, Jumat (28/4/2023).
Jekrinus menilai, dari definisi kata CHACHA di atas, maka CHACHA dapat saja dikategorikan sebagai merek kata generik.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Perlu diketahui bahwa merek dengan kata-kata yang generik 'kekuatan keterkenalannya' menjadi lemah artinya merek itu bisa saja terdaftar tetapi akan sulit dianggap menjadi milik satu pihak atau tidak dapat dimonopoli oleh salah satu pihak sebagai tujuan akhir dari kepemilikan merek yaitu memonopoli satu kata untuk tujuan bisnis," ungkap Jekrinius Hasiholan Sirait.
Ada beberapa perkara merek yang akhirnya dianggap sebagai merek generik. Seperti merek Polo, merek Predator dan merek-merek lainnya. Di mana merek lokal tetap terdaftar dan merek luar negeri juga sama sama terdaftar yang dikuatkan juga oleh putusan pengadilan sebagai merek generik.
"Ketika merek itu menjadi kata generik, maka yang berlaku adalah sistem first to file atau antara merek generik satu dengan yang lain harus memiliki unsur pembeda yang cukup seperti menambahkan logo atau kata tambahan agar dapat diterima sebagai merek terdaftar," ungkap Jekrinius Hasiholan Sirait.
Suka tidak suka, MA sudah mengetok palu. Dualisme merek harus disudahi. Meski satu sisi adalah merek yang bagi sebagian masyarakat menilainya sebagai merek internasional.
"Dalam pertimbangan hakim pengadilan yang memeriksa perkara merek, pastinya sudah ada pertimbangan yang sangat matang dan kredibel dari berbagai dasar hukum, dan keahlian masing-masing. Tetapi yang menjadi pertanyaan, apakah juga mempertimbangkan hal-hal di luar aturan hukum merek yang berlaku. Seperti hilangnya omzet perusahaan yang besar, tenaga kerja yang besar dan bahkan gejolak yang ditimbulkan akibat putusan yang kadang kontorversial dianggap masyarakat umum," pungkas Jekrinius Hasiholan Sirait.
Dalam catatan detikcom, sejumlah merek internasional kerap kalah di pengadilan. Seperti marketplace raksasa dunia, Amazon, yang melawan pengusaha dari Pluit, Jakarta Utara (Jakut), Andrew Tanuwijaya. Ada juga perusahaan sepatu dan perlengkapan olahraga asal Jerman, PUMA SE kalah melawan merek lokal, PUMADA. Menurut MA, PUMA dan PUMADA berbeda penyebutannya sehingga bukan merek yang serupa.
(asp/zap)