Tidak butuh lama buat Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan untuk menghapus Pasal 30C huruf h UU Kejaksaan sehingga kini jaksa tidak boleh mengajukan PK. Cukup dua kali sidang bagi MK menghapus kewenangan tersebut. Kok bisa?
"Menyatakan Pasal 30C huruf h dan Penjelasan Pasal 30C huruf h Kejaksaan Republik Indonesia bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat," demikian bunyi putusan MK yang dibacakan Ketua MK pada 14 April 2023.
Nah, berdasarkan penelusuran perkara, putusan itu diketok setelah MK menggelar 2 kali sidang. Yaitu:
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
23 Februari 2023
Sidang pertama dengan agenda Pemeriksaan Pendahuluan I
8 Maret 2023
Sidang kedua dengan agenda Pemeriksaan Pendahuluan II
14 April 2023
Pembacaan putusan
Menanggapi sidang yang cepat itu, jubir Fajar Laksono menyatakan sudah sesuai UU yang berlaku. Sebab tidak ada kewajiban bagi MK mendengar keterangan DPR/Pemerintah sepanjang MK menilai permasalahan yang ada sudah terang.
"Sesuai Pasal 54 UU MK," kata Fajar Laksono.
Pasal 54 UU Mahkamah Konstitusi yang dimaksud berbunyi:
Pasal 54
Mahkamah Konstitusi dapat meminta keterangan dan/atau risalah rapat yang berkenaan dengan permohonan yang sedang diperiksa kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat, DPR, Dewan Perwakilan Daerah, dan/atau Presiden.
Karena pasalnya berbunyi 'dapat', maka bukan menjadi kewajiban MK untuk meminta keterangan DPR/Pemerintah.
Latar Belakang Kasus
Permasalahan bermula saat Mahkamah Agung (MA) membebaskan notaris Hartono terkait tuduhan pemalsuan akta otentik pada 2021. Vonis itu diketok di tingkat PK yang diajukan oleh Hartono.
Kejaksaan Negeri (Kejari) Gianyar, Bali tidak terima dan mengajukan PK tandingan. Jaksa mendasarkan pada Pasal 30C huruf h dan Penjelasan Pasal 30C huruf h UU Kejaksaan.
Mengetahui hal itu Hartono kaget dan mengajukan uji materi ke MK dengan harapan Pasal 30C huruf h dan Penjelasan Pasal 30C huruf h UU Kejaksaan dibatalkan. Gayung bersambut. MK mengabulkan dan menghapus pasal Pasal 30C huruf h dan Penjelasan Pasal 30C huruf h UU Kejaksaan.
"Kami mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. Rasa syukur kami tak terhingga atas diterimanya uji materiil UU Kejaksaan yang diajukan oleh klien kami di Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. Langkah awal ini merupakan titik terang dalam perjuangan kami, untuk memperjuangkan hak-hak klien kami," katanya.
"SITOMGUM Law Firm akan segera menginformasikan Mahkamah Agung Republik Indonesia mengenai putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia yang positif ini.
Kami teguh berkomitmen, untuk terus mencari terobosan-terobosan hukum inovatif yang mampu menegakkan keadilan bagi klien kami. Kami yakin, bahwa melalui tekad kuat dan kerja keras, hak-hak klien kami akan segera dipulihkan dan keadilan akan senantiasa berdiri tegak," kata kuasa hukum Hartono, Singgih Tomi Gumilang.
Alasan MK Menghapus Pasal Aquo
MK menilai pasal di atas telah ternyata tidak sejalan dengan semangat yang ada dalam empat landasan pokok untuk mengajukan PK sebagaimana diatur dalam norma Pasal 263 ayat (1) KUHAP yang telah dimaknai secara konstitusional bersyarat oleh Mahkamah Konstitusi.
"Artinya, adanya penambahan kewenangan Jaksa dalam pengajuan PK sebagaimana diatur dalam Pasal 30C huruf h dan Penjelasan Pasal 30C huruf h UU 11/2021 bukan hanya akan mengakibatkan adanya disharmonisasi hukum dan ambiguitas dalam hal pengajuan PK, namun lebih jauh lagi, pemberlakuan norma tersebut berakibat terlamggarnya hak atas pengakuan, jaminan, perlindungan kepastian hukum yang adil sebagaimana telah dijamin dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945," ucap MK.
Menurut MK, dengan disisipkannya Pasal 30C huruf h beserta Penjelasannya dalam UU 11/2021 berarti telah menambah kewenangan kejaksaan, in casu kewenangan untuk mengajukan PK tanpa disertai dengan penjelasan yang jelas tentang substansi dari pemberian kewenangan tersebut.
"Menurut Mahkamah, penambahan kewenangan tersebut bukan hanya akan menimbulkan ketidakpastian hukum, namun juga akan berpotensi menimbulkan penyalahgunaan kewenangan oleh Jaksa khususnya dalam hal pengajuan PK terhadap perkara yang notabene telah dinyatakan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum," beber MK.
Simak juga 'MKMK Tegaskan Tak Ada Persekongkolan Dalam Perkara Hakim Guntur':
MK Pernah Membatasi Norma Serupa di KUHAP
Ternyata putusan itu bukan yang pertama. Pada 2016, MK pernah memutus hal serupa. Demikian pertimbangan MK mengapa melarang jaksa mengajukan PK:
bahwa upaya hukum Peninjauan Kembali dilandasi filosofi pengembalian hak dan keadilan seseorang yang meyakini dirinya mendapat perlakuan yang tidak berkeadilan yang dilakukan oleh negara berdasarkan putusan hakim, oleh karena itu hukum positif yang berlaku di Indonesia memberikan hak kepada terpidana atau ahli warisnya untuk mengajukan upaya hukum luar biasa yang dinamakan dengan Peninjauan Kembali.
Dengan kata lain, lembaga Peninjauan Kembali ditujukan untuk kepentingan terpidana guna melakukan upaya hukum luar biasa, bukan kepentingan negara maupun kepentingan korban. Sebagai upaya hukum luar biasa yang dilakukan oleh terpidana, maka subjek yang berhak mengajukan Peninjauan Kembali adalah hanya terpidana ataupun ahli warisnya, sedangkan objek dari pengajuan Peninjauan Kembali adalah putusan yang menyatakan perbuatan yang didakwakan dinyatakan terbukti dan dijatuhi pidana. Oleh karena itu, sebagai sebuah konsep upaya hukum bagi kepentingan terpidana yang merasa tidak
puas terhadap putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, maka putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum tidaklah termasuk ke dalam objek pengajuan Peninjauan Kembali, karena putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum pastilah menguntungkan terpidana;
Pranata Peninjauan Kembali diadopsi semata-mata untuk kepentingan terpidana atau ahli warisnya dan hal tersebut merupakan esensi dari lembaga Peninjauan Kembali. Apabila esensi ini ditiadakan maka lembaga Peninjauan Kembali akan kehilangan maknanya atau menjadi tidak berarti;
Peninjauan Kembali sebagai upaya hukum luar biasa yang dapat dilakukan oleh terpidana atau ahli warisnya harus pula dipandang sebagai bentuk perlindungan Hak Asasi Manusia bagi warga negara, karena dalam hal ini seorang terpidana yang harus berhadapan dengan kekuasaan negara yang begitu kuat. Lembaga Peninjauan Kembali sebagai salah satu bentuk perlindungan Hak Asasi Manusia yang menjiwai kebijakan sistem peradilan pidana Indonesia.
Respons Kejagung
Sebelumnya, Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan menghapus Pasal 30C huruf h UU Kejaksaan sehingga jaksa tidak boleh mengajukan PK. Kejaksaan Agung (Kejagung) kini akan mempelajari putusan MK tersebut.
"Kita akan pelajari dulu, karena kita masih melihat ada celah hukum, yakni kelemahan dalam menjatuhkan putusan dimaksud," kata Kapuspenkum Kejagung Ketut Sumedana saat dihubungi, Minggu (16/4/2023).
Lebih lanjut, Ketut menilai ada celah hukum dalam proses MK mengadili perkara tersebut. Meski demikian, Ketut mengatakan putusan MK bersifat final and binding (mengikat) sehingga jaksa selaku pelaksana undang-undang akan menjalankan putusan tersebut.