Pemerintah Kolonial Belanda di Indonesia selalu menarasikan bahwa mereka yang ditangkap dan dibuang ke Boven Digoel, Papua, adalah kelompok komunis dan kaum Bolsyewik (Bolshevik) yang melakukan pemberontakan di dua tempat, yakni di Banten, 12-13 November 1926 dan di Silungkang, Sumbar, awal Januari 1927.
Penyebutan Bolsyewik merujuk pada kaum revolusioner di Rusia yang berhasil menumbangkan pemerintahan Tsar II dan menggantinya menjadi negara Uni Soviet tahun 1917 dalam perjuangan Revolusi Bolshevik. Tujuannya untuk melegitimasi tindakan mereka yang tak beradab dan tak berperikemanusiaan.
"Jadi saya sekaligus meluruskan soal ini bahwa mereka yang dibuang ke Digoel adalah orang-orang atau pejuang yang sangat kritis terhadap pemerintah Kolonial," kata Wakil Menteri Luar Negeri RI periode, 2008-2011, Triyono Wibowo.
Dia tak menafikan bahwa ada memang ada kelompok yang menganut komunis. Tapi komunis dalam arti gerakan perlawanan terhadap penjajahan, dan bukan ideologi yang selama ini dipahami umum. Sebab, yang dibuang ke Digoel umumnya beragama dan santri, serta kaum nasionalis.
"Hatta dan Syahrir juga dibuang ke Digoel. Apakah mereka komunis? Pastinya bukan," tegas Triyono, yang pernah menjadi Dubes RI untuk Austria merangkap Slovenia pada 2005-2008.
Triyono Wibowo, yang merupakan cucu Kadiroen Kromodiwiryo, menyampaikan hal itu dalam bedah buku memoar sang kakek bertajuk 'Berjalan Sampai ke Batas, Kisah Nyata Pengalaman Seorang Digulis', Selasa (21/3/2023). Turut berbicara dalam acara yang digelar di aula Fakultas Ilmu Budaya (FIB) UI itu Guru Besar FIB UI Prof Susanto Zuhdi dan Guru Besar FIB Undip Prof Singgih Tri Sulistiyono.
Kesimpulan bahwa para Digulis adalah mereka yang kritis dan melawan kebijakan Kolonial didasarkan dari hasil risetnya terhadap dokumen dan laporan para diplomat Amerika Serikat yang ditempatkan di Batavia pada 1920-an.
Merujuk dokumen mereka, kerusuhan yang pernah terjadi pada 1926-1927 hanya menyebut peristiwa itu sebagai kerusuhan biasa atau unrest, bukan revolt. Tapi kala itu pemerintah kolonial menarasikan sebagai pemberontakan komunis. Hal yang menyedihkan, narasi semacam itu dilanjutkan dan digunakan oleh pemerintah Orde Baru dalam kaitan menyingkirkan anasir-anasir komunis.
"Karena itu, wajar publikasi mengenai para Digulis lebih banyak terbit setelah reformasi 1998 atau pasca lengsernya Presiden Soeharto sebagai penguasa Orde Baru," kata Triyono Wibowo.
Lihat juga Video 'Cerita Megawati Diperiksa Polisi-Jaksa: Saya Nggak Mau Dibilang Komunis!':
Baca selengkapnya di halaman selanjutnya....
(jat/mea)