Mantan Wakil Menlu Tegaskan Digulis Bukan Komunis

Mantan Wakil Menlu Tegaskan Digulis Bukan Komunis

Sudrajat - detikNews
Rabu, 22 Mar 2023 16:44 WIB
Bedah buku Perjalanan Sampai ke Batas-Kisah Nyata Pengalaman Seorang Digulis
Bedah buku Perjalanan Sampai ke Batas-Kisah Nyata Pengalaman Seorang Digulis (Sudrajat/detikcom)
Jakarta -

Pemerintah Kolonial Belanda di Indonesia selalu menarasikan bahwa mereka yang ditangkap dan dibuang ke Boven Digoel, Papua, adalah kelompok komunis dan kaum Bolsyewik (Bolshevik) yang melakukan pemberontakan di dua tempat, yakni di Banten, 12-13 November 1926 dan di Silungkang, Sumbar, awal Januari 1927.

Penyebutan Bolsyewik merujuk pada kaum revolusioner di Rusia yang berhasil menumbangkan pemerintahan Tsar II dan menggantinya menjadi negara Uni Soviet tahun 1917 dalam perjuangan Revolusi Bolshevik. Tujuannya untuk melegitimasi tindakan mereka yang tak beradab dan tak berperikemanusiaan.

"Jadi saya sekaligus meluruskan soal ini bahwa mereka yang dibuang ke Digoel adalah orang-orang atau pejuang yang sangat kritis terhadap pemerintah Kolonial," kata Wakil Menteri Luar Negeri RI periode, 2008-2011, Triyono Wibowo.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Dia tak menafikan bahwa ada memang ada kelompok yang menganut komunis. Tapi komunis dalam arti gerakan perlawanan terhadap penjajahan, dan bukan ideologi yang selama ini dipahami umum. Sebab, yang dibuang ke Digoel umumnya beragama dan santri, serta kaum nasionalis.

"Hatta dan Syahrir juga dibuang ke Digoel. Apakah mereka komunis? Pastinya bukan," tegas Triyono, yang pernah menjadi Dubes RI untuk Austria merangkap Slovenia pada 2005-2008.

ADVERTISEMENT

Bedah buku Perjalanan Sampai ke Batas-Kisah Nyata Pengalaman Seorang DigulisBedah buku Perjalanan Sampai ke Batas-Kisah Nyata Pengalaman Seorang Digulis (Sudrajat/detikcom)

Triyono Wibowo, yang merupakan cucu Kadiroen Kromodiwiryo, menyampaikan hal itu dalam bedah buku memoar sang kakek bertajuk 'Berjalan Sampai ke Batas, Kisah Nyata Pengalaman Seorang Digulis', Selasa (21/3/2023). Turut berbicara dalam acara yang digelar di aula Fakultas Ilmu Budaya (FIB) UI itu Guru Besar FIB UI Prof Susanto Zuhdi dan Guru Besar FIB Undip Prof Singgih Tri Sulistiyono.

Kesimpulan bahwa para Digulis adalah mereka yang kritis dan melawan kebijakan Kolonial didasarkan dari hasil risetnya terhadap dokumen dan laporan para diplomat Amerika Serikat yang ditempatkan di Batavia pada 1920-an.

Merujuk dokumen mereka, kerusuhan yang pernah terjadi pada 1926-1927 hanya menyebut peristiwa itu sebagai kerusuhan biasa atau unrest, bukan revolt. Tapi kala itu pemerintah kolonial menarasikan sebagai pemberontakan komunis. Hal yang menyedihkan, narasi semacam itu dilanjutkan dan digunakan oleh pemerintah Orde Baru dalam kaitan menyingkirkan anasir-anasir komunis.

"Karena itu, wajar publikasi mengenai para Digulis lebih banyak terbit setelah reformasi 1998 atau pasca lengsernya Presiden Soeharto sebagai penguasa Orde Baru," kata Triyono Wibowo.

Lihat juga Video 'Cerita Megawati Diperiksa Polisi-Jaksa: Saya Nggak Mau Dibilang Komunis!':

[Gambas:Video 20detik]



Baca selengkapnya di halaman selanjutnya....

Prof Susanto Zuhdi sependapat dengan Triyono. Ia merujuk Kadiroen, yang mengikuti jalan kiri Semaoen dalam SI (Sarekat Islam) yang lebih revolusioner dan oleh sejarawan disebut SI Merah. Tetapi Kadiroen bukanlah komunis, melainkan seorang yang sadar dan berani melawan kebijakan pemerintah Belanda. Karena khawatir terhadap orang-orang seperti Kadiroen, Belanda pun membuat generalisasi seolah mereka kaum komunis.

Susanto menilai memoar Kadiroen sungguh luar biasa. Sebab, isinya buka cuma membongkar tempat pembuangan terbuka yang berbahaya di Digoel, tetapi memberi perspektif lain. Dari sisi pelaku sejarah, Kadiroen adalah orang biasa, bukan orang luar biasa seperti Sutan Sjahrir atau Bung Hatta yang punya basis intelektual cukup.

Kalau saja Kadiroen masih hidup dan mengajukan pengalamannya di Digoel sebagai bahan disertasi, kata Susanto, dirinya akan menerima sebagai pembimbingnya. "Pasti saya akan memberi nilai terbaik atau cum laude. Sebab, banyak hal yang akan terungkap dari penulisan buku ini," ucapnya.

Sementara itu, Prof Singgih menilai banyak pelajaran moral yang dapat dipetik dari memoir Kadiroen. Karena itu, dia menyarankan agar generasi muda membaca buku ini dan mahasiswa sejarah mulai mendalami sejarah mengenai kamp Digoel.

"Pelajaran moral kebangsaan dari buku Kadiroen bahwa realitas penjajahan Belanda membuat kehidupan rakyat sangat berat. Mereka yang mengkritik bukan saja ditangkap, tapi dibuang jauh di pulau yang risiko terbesarnya mati," kata Singgih.

Kadiroen Kromodiwirjo menulis memoir sejak 1967 di Gresik dan baru selesai pada 1976. "Eyang menuliskannya dalam bentuk tulisan tangan yang rapi seperti manuskrip," kata Triyono. Buku setebal 520 halaman itu diterbitkan oleh Delima, Sidoarjo, pada November 2022.

Halaman 2 dari 2
(jat/mea)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Hide Ads