Setelah keluarnya putusan itu, Ketua MK meminta konfirmasi ke MA, DPR, dan Presiden, yaitu apakah tetap mempertahankan hakim konstitusinya atau tidak. Hasilnya, MA dan Presiden tetap mempertahankan hakim konstitusi pilihannya, sedangkan DPR me-recall Aswanto dan menggantinya dengan Guntur Hamzah.
Langkah DPR itu membuat polemik berkepanjangan. Ada ahli hukum tata negara yang menilainya konstitusional, ada juga yang menilai sebaliknya. Polemik ini membuat seorang advokat Zico Simanjuntak menggugat UU MK, khusus tata cara penggantian hakim konstitusi.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pada 23 November 2022 pagi, Presiden Jokowi menyaksikan sumpah Guntur Hamzah sebagai hakim MK. Sorenya, MK memutuskan gugatan Zico Simanjuntak dengan hasil menolaknya.
Belakangan, putusan itu menuai kontroversi karena terdapat perbedaan di bagian pertimbangan.
Saat dibacakan:
"Dengan demikian, pemberhentian hakim konstitusi sebelum habis masa jabatannya hanya dapat dilakukan karena alasan mengundurkan diri atas permintaan sendiri yang diajukan kepada ketua Mahkamah Konstitusi, sakit jasmani atau rohani secara terus-menerus selama 3 (tiga) bulan sehingga tidak dapat menjalankan tugasnya yang dibuktikan dengan surat keterangan dokter, serta diberhentikan tidak dengan hormat karena alasan sebagaimana termaktub dalam Pasal 23 ayat 2 UU MK...".
Belakangan diketahui, kalimat dalam putusan itu berubah bila dibandingkan dengan putusan yang diunggah di situs web MK. Begini bunyinya:
"Ke depan, pemberhentian hakim konstitusi sebelum habis masa jabatannya hanya dapat dilakukan karena alasan mengundurkan diri atas permintaan sendiri yang diajukan kepada ketua Mahkamah Konstitusi, sakit jasmani atau rohani secara terus-menerus selama 3 (tiga) bulan sehingga tidak dapat menjalankan tugasnya yang dibuktikan dengan surat keterangan dokter, serta diberhentikan tidak dengan hormat karena alasan sebagaimana termaktub dalam Pasal 23 ayat 2 UU MK...".
Atas hal itu, Zico tidak terima dan melaporkan sembilan hakim MK ke Polda Metro Jaya. Riuh di media membuat MK akhirnya membentuk Majelis Kehormatan MK (MKMK). Sebuah majelis yang harusnya dibentuk pada 2020 atau terlambat 3 tahun.
"Kalau benar seperti yang didugakan itu serius, kalau benar seperti yang diduga itu ya. Apa bedanya 'dengan demikian' dengan 'ke depan', ya udah bisa nyimpulkan sendiri sebenarnya. Seriuslah, karena itu beda sekali kan. Itu sangat berbeda,," Ketua MKMK I Dewa Gede Palguna kepada wartawan di gedung I MK, Jakarta, Kamis (9/2/2023).
Di saat MKMK bekerja, bola panas kembali datang dari DPR. Sebab, pemerintah dan DPR sepakat akan merevisi UU MK lagi yang menjadi sumber masalah prahara MK. Perubahan yang diusulkan menyesuaikan kebutuhan masyarakat dan kehidupan ketatanegaraan. Termasuk dengan pentingnya materi pokok MK.
"Evaluasi hakim konstitusi, unsur keanggotaan Majelis Kehormatan MK, dan penghapusan ketentuan peralihan mengenai masa jabatan Ketua dan Wakil Ketua MK," ujar anggota Komisi III DPR Habiburokhman.
Di sisi lain, masih berlangsung gugatan keppres hakim konstitusi Guntur Hamzah. Gugatan dilayangkan seorang advokat, Priyanto, ke PTUN Jakarta dan masih berlangsung.
"Jadi pengajuan gugatan ke PTUN Jakarta menjadi solusi untuk meluruskan kekeliruan yang ditimbulkan dari keppres dimaksud, sekalipun akan memakan waktu yang tidak singkat dengan proses peradilan yang bertahap. Itu merupakan risiko perjuangan yang harus saya ambil sebagai bentuk pertanggungjawaban moral saya," kata Priyanto.
(asp/dnu)