Sesak di Dada Peraih Adhi Makayasa, Tertipu Sambo tapi Tak Bisa Berontak

Sesak di Dada Peraih Adhi Makayasa, Tertipu Sambo tapi Tak Bisa Berontak

Wilda Hayatun Nufus - detikNews
Sabtu, 04 Feb 2023 07:00 WIB
AKP Irfan Widyanto menjalani sidang lanjutan perintangan penyidikan kasus pembunuhan Brigadir Yosua Hutabarat di PN Jaksel, Kamis (10/11/2022). Irfan membawa buku catatan bersampul hitam.
Irfan Widyanto (Foto: Andhika Prasetia/detikcom)
Jakarta -

Rusaknya nama baik, hilangnya jabatan, terpisah dari keluarga dan terancam sanksi pidana dialami Irfan Widyanto pasca-terseret kasus penghalangan penyelidikan (obstruction of justice) kematian Brigadir Nopriansyah Yosua Hutabarat. Perwira muda berpangkat ajun komisaris polisi (AKP) itu mengungkapkan hatinya menjerit, namun tak berdaya memberontak.

Mantan Kepala Sub Unit I Subdit III Direktorat Tindak Pidana Umum Bareskrim Polri ini tak menyangka begitu beratnya beban yang dipikulnya, lantaran menjalankan perintah mengambil decoder CCTV di kompleks Polri Duren Tiga, atau sekitar tempat kejadian perkara (TKP) penembakan Brigadir Yosua. Dia mengaku yang kala itu terlintas dipikirannya hanya menjalankan perintah Divisi Propam Polri, yang masih dipimpin Ferdy Sambo, mendatangi TKP dan mengambil decoder CCTV di pos satpam kompleks.

"Apakah yang saya lakukan salah? Menjalankan perintah untuk mendatangi TKP, kemudian membantu tugas Divisi Propam yang saat itu sedang melakukan tugas," kata Irfan saat membacakan pleidoi di PN Jaksel, Jumat (3/2/2023).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Irfan menuturkan Divisi Propam Polri memiliki kewenangan penyelidikan dan penyidikan, yang sama dengan kewenangan dirinya sebagai polisi reserse. Oleh sebab itu Irfan menjalankan perintah Divisi Propam, di mana sebelumnya AKBP Ari Cahya alias Acay yang merupakan komandannya menyampaikan petuah membantu penanganan TKP kematian Brigadir Yosua.

Meski demikian, Irfan mengaku memasrahkan penilaian ini kepada internal Polri. Irfan pun mengatakan semua anggota Polri yang terlibat dalam kasus obstruction of justice kematian Brigadir Yosua tertipu oleh suami Putri Candrawathi tersebut.

ADVERTISEMENT

"Saya yakinkan salah bila perintah tersebut datang dari atasan/komandan dari divisi lain yang tidak memiliki kewenangan misal Lalu Lintas, Samapta, Intel, karena bukan kewenangan mereka memberikan perintah. Secara etika kepolisian, saya menyerahkan hal ini kepada internal Polri," terang Irfan.

"Namun, secara pidana, hati saya menjerit namun tak berdaya untuk memberontak. Apakah sebagai seorang prajurit Bhayangkara harus saya menanggung beban sedemikian besarnya karena menjalankan perintah atasan? Pemberitaan media yang masif yang tidak berimbang, caci maki yang diterima oleh saya dan keluarga, terpisahnya saya dengan keluarga, hingga ancaman pidana menanti saya," imbuh peraih Adhi Makayasa itu.

Irfan kemudian menuturkan, sepanjang sejarah Polri, baru kali ini ada kasus yang melibatkan petinggi Korps Bhayangkara sedemikian rupa. Irfan pun mengaku awalnya tidak tahu penembakan terhadap Yosua adalah suatu hal yang sudah direncanakan.

"Sejarah membuktikan, sejak awal Polri berdiri hingga saat ini, baru kali ini peristiwa yang seperti ini terjadi melibatkan petinggi Polri. Tidak ada satu pun di antara kami, bahkan petinggi Polri lainnya pun, yang mengetahui pada awalnya bagaimana peristiwa ini terjadi," ujar Irfan.

Simak selengkapnya pada halaman berikut.

Simak Video: Chuck Putranto: Loyalitas Saya Dimanfaatkan Sambo demi Kepentingan Pribadi

[Gambas:Video 20detik]



Irfan mengatakan, di dalam persidangan sudah terungkap bahwa hanya Ferdy Sambo saat itu yang mengetahui peristiwa yang sebenarnya terkait penembakan terhadap Brigadir Yosua. Irfan menyebut semua orang tertipu Ferdy Sambo.

"Hal ini telah terdukung baik dari proses peradilan yang sudah berjalan hingga pemberitaan di media, bahwa hanya Pak Ferdy Sambo-lah yang mengetahui peristiwa yang sebenarnya terjadi. Semua orang tertipu oleh Bapak Ferdy Sambo. Atas dasar informasi yang sesat tersebut, kami semua ikut terjerumus dalam badai besar ini, apakah ini salah kami?" ucap Irfan.

Irfan mengatakan itu semua dalam sidang pembacaan pleidoi atau nota pembelaan, di mana dirinya duduk sebagai terdakwa. Irfan sebelumnya dituntut hukuman penjara 1 tahun oleh jaksa.

"Menuntut agar supaya Majelis Hakim yang memeriksa dan mengadili perkara ini memutuskan menyatakan Terdakwa Irfan Widyanto terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindakan apa pun yang berakibat terganggunya sistem elektronik dan/atau mengakibatkan sistem elektronik menjadi tidak bekerja sebagaimana mestinya," kata jaksa di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Jl Ampera Raya, Jaksel, Jumat (27/1).

"Menjatuhkan pidana terhadap Terdakwa Irfan 1 tahun penjara," tambah jaksa.

Jaksa meyakini Irfan melanggar Pasal 49 juncto Pasal 33 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP. Dia juga dituntut membayar denda Rp 10 juta subsider 3 bulan kurungan.

Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini
Selengkapnya



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Ajang penghargaan persembahan detikcom bersama Polri kepada sosok polisi teladan. Baca beragam kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini.
Hide Ads