Nasihat seperti judul di atas mungkin kerap terlontar dari orang-orang terdekat terhadap anak, kerabat, atau sahabat yang hendak melanjutkan studi ke Tiongkok. Mahmud Yunus, misalnya, mengaku termasuk yang mendapatkan nasihat tersebut.
Tak cuma itu. Ada juga peringatan bernada cibiran yang terkesan simpel tapi terasa menohok. "Awas lo, entar pulang ke Indonesia nyebarin komunis lagi."
Sejatinya menurut mahasiswa ekonomi di Jianjing Institute of Commerce di Kota Nanjing itu, meskipun berideologi komunis, Tiongkok sudah terjebak dalam jurang kapitalisme akut. Dalam bidang ekonomi, Negeri Tirai Bambu sudah tidak peduli terhadap komunisme.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Bagaimana bisa dicap sebagai negara komunis, sedangkan gerai Starbucks dan McDonald's bertebaran di mana-mana. Andai Mao Zedong bangkit dari kuburnya, pasti bakal menangis," tulis alumnus Pondok Darul Hijrah Kalimantan Selatan itu.
Ia juga menepis anggapan bahwa Tiongkok otoriter dan diskriminatif terhadap umat beragama. Sebab, Konstitusi Tiongkok Pasal 36 yang disahkan pada 4 Desember 1982 menyatakan bahwa warga negara Tiongkok mempunyai hak kebebasan beragama. Siapa pun itu, termasuk pemerintah, tidak boleh memaksa warga negara menganut agama atau tidak menganut agama serta dilarang mendiskriminasi penganut agama maupun yang tidak menganut agama.
Negara ini juga memberi jaminan hukum. Hal ini termaktub dalam buku putih yang diterbitkan Kantor Informasi Dewan Negara yang bertajuk 'Kebijakan dan Praktik Tiongkok dalam Melindungi Kebebasan Beragama'.
Menurut Mahmud Yunus, total penganut agama di Tiongkok mencapai 200 juta jiwa. Mereka terbagi ke dalam agama Kristen, Katolik, Buddha, Taoisme, dan Islam.
"Tapi memang masih ada oknum di pemerintah dan otoritas setempat yang berlaku sewenang-wenang, diskriminatif. Tapi hal semacam itu merupakan problem yang bisa ditemui di semua negara," tegas Mahmud Yunus.
Paparan Mahmud Yunus tersebut termaktub dalam buku 'Tiongkok Yang Kami Lihat: Memotret Cerita dan Fakta dari Berbagai Kisah di Negeri Panda'. Buku ini diterbitkan oleh Alvabet bekerja sama dengan PPI (Perhimpunan Pelajar Indonesia) di Tiongkok.
Erlina Anggraini turut memberikan kesaksian serupa di buku tersebut. Diakuinya bahwa Islam memang menjadi agama minoritas di Tiongkok, tapi persebaran umat muslim di sana sangat merata. Populasi muslim di Tiongkok mencapai lebih dari 20 juta jiwa yang terbagi menjadi beberapa etnis, seperti Hui, Uighur, Kazakhstan, Uzbek, Salar, Dongxiang, Kyrgyz, dan lainnya.
"Mereka sebagian besar terpusat di Provinsi Xinjiang, Ningxia, Gansu, dan Qinghai," tulis Erlina yang kuliah Pascasarjana jurusan Psikologi Pendiddikan dan Pembangunan di Northeast Normal University, Changchun.
Populasi minoritas ini, dia melanjutkan, tumbuh cukup pesat karena kebijakan One Child di Tiongkok tak diberlakukan bagi etnis minoritas. Pemerintah setempat juga mengizinkan umat muslim untuk beribadah, memberikan bantuan untuk pembangunan masjid, mencukupi kebutuhan para 'Ahong' (ulama atau imam masjid), memberikan izin untuk merayakan hari besar keagamaan, memfasilitasi untuk pergi haji dan umrah, serta mengizinkan adanya perkumpulan perkumpulan keagamaan.
Jika memang demikian, kenapa etnis Uighur yang muslim banyak didiskriminasi, ditindas, dan dikirim ke kamp-kamp?
Menurut Mahmud Yunus, di Tiongkok ada dua etnis muslim besar, yakni Hui dan Uighur. Hui begitu tenteram, sedangkan Uighur seolah selalu dibungkam. Hal itu karena Uighur sudah lama ingin merdeka, memisahkan diri dari Tiongkok.
"Mereka yang ditangkap adalah yang terlibat radikalisme, terorisme, dan separatisme. Tiongkok tak ingin negaranya terpecah, apalagi terpisah," kata Yunus.
Buku setebal 400 halaman itu tak melulu membahas agama dan Islam. Lebih dari 40 mahasiswa lainnya yang tergabung ke dalam PPI Tiongkok ada yang menyoroti dunia pendidikan, ekonomi dan e-commerce, politik, bahasa dan sastra, kesehatan, hingga teknologi.
Alhasil, buku ini menarik dan penting dibaca oleh para pelajar yang ingin menempuh studi di Tiongkok. Juga tentunya oleh masyarakat Indonesia secara luas agar tidak mudah terhasut dan termakan narasi-narasi hoax.
Simak juga 'Rencana dan Misi Ruang Angkasa China di Tahun 2023':