Wacana sistem proporsional tertutup untuk model pemilihan umum (pemilu) menjadi perbincangan di tengah publik. Isu ini mengundang perdebatan di tengah situasi panas politik Tanah Air.
Wacana ini muncul di tengah Mahkamah Konstitusi yang sedang melakukan uji materi terhadap UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang pemilu terkait sistem proporsional terbuka. Pemohon meminta agar Pemilu 2024 menggunakan sistem proporsional tertutup. Sejumlah alasan dibeberkan. Mulai partai politik yang dapat merekrut calon legislatif hingga sistem proporsional terbuka yang memunculkan caleg pragmatis modal 'populer dan menjual diri' namun tidak mempunyai ikatan ideologi dan struktur parpol.
Dalam kesempatan berbeda, Ketua KPU Hasyim Asy'ari mengungkap ada kemungkinan Pemilu 2024 kembali ke sistem proporsional tertutup. Sebab, sistem tersebut tengah dibahas di MK.
"Ada kemungkinan, saya belum berani berspekulasi, ada kemungkinan kembali ke sistem proporsional daftar calon tertutup. Maka sejak itu Pemilu 2014, 2019, pembentuk norma UU tidak akan mengubah itu. Karena, kalau diubah tertutup kembali, akan jadi sulit lagi ke MK. Dengan begitu, kira-kira polanya kalau yang membuka itu MK, ada kemungkinan yang menutup MK," ujar Hasyim dalam sambutan Catatan Akhir Tahun 2022, Kamis (29/12).
Seperti diketahui, pemilu sistem proporsional tertutup memiliki sejarah panjang sejak pemerintahan Orde Lama dan Orde Baru. Terlebih sejak Reformasi 1998, Indonesia terus menyempurnakan sistem pemilu. Kemunculan isu ini membuat delapan dari sembilan partai politik di DPR kompak menyatakan sikap menolak sistem pemilu proporsional tertutup. Delapan partai itu adalah Golkar, Gerindra, NasDem, PKB, Demokrat, PKS, PAN, dan PPP.
Terkait uji materi tersebut, politikus Partai Golkar Nusron Wahid melihat gugatan UU Pemilu tentang Sistem Proporsional Tertutup menjadi absurd. Ia mempertanyakan tata cara pengadilan judicial review (JR) dalam suatu undang-undang di MK.
"Tata cara JR di MK itu seperti apa? Apakah sebuah pasal yang pernah digugat dan diputuskan oleh MK pada 2008 bisa digugat lagi di lain waktu? Bagi saya, itu adalah keputusan lembaga MK, bukan lagi keputusan individu hakim. Jika sebuah pasal yang sudah pernah digugat, disidangkan, dan diputuskan oleh MK itu di kemudian hari bisa digugat lagi oleh pihak tertentu, maka akan menjadi pembenar bagi banyak pihak yang tidak setuju dengan keputusan MK terdahulu untuk menggugatnya lagi di kemudian hari. Sehingga dapat merusak legitimasi hukum di Indonesia," ujar Nusron, Senin (30/12).
Berbeda dengan Nusron, Sekjen PDI Perjuangan (PDIP) Hasto Kristiyanto tak mempersoalkan jika Pemilu 2024 menggunakan sistem proporsional tertutup. Ia menilai sistem proporsional terbuka justru mendorong liberalisasi politik.
"(Sistem proporsional tertutup) hal tersebut akan mendorong proses kaderisasi di partai politik dan berdampak kepada mencegah berbagai bentuk liberalisasi politik. Dan selanjutnya memberikan insentif bagi peningkatan kinerja di DPR dan pada saat bersamaan karena ini adalah pemilu serentak antara pileg dengan pilpres, maka berbagai bentuk kecurangan bisa ditekan. Sebab, pelaksanaan pemilu menjadi lebih sederhana," ujar Hasto, Jumat (30/12).
Hal yang sama diutarakan Sekretaris Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Abdul Mu'ti, yang menyatakan dukungan penerapan pemilu dengan sistem proporsional tertutup atau coblos partai. Ia menegaskan Muhammadiyah sudah mengusulkan agar sistem proporsional terbuka yang diterapkan saat ini dievaluasi.
"Muhammadiyah mengusulkan agar sistem pemilu proporsional terbuka dievaluasi, bahkan jika dimungkinkan diubah dengan sistem proporsional terbuka terbatas atau tertutup," kata Abdul seperti dikutip dari CNNIndonesia.com, Jumat (30/12).
Adu Perspektif kali ini mengangkat topik 'Mau Kembali Pemilu ala Orde Baru Perbaikan Demokrasi'. Menghadirkan Fahri Hamzah (Waketum Partai Gelora), Sunanto (Ketua Umum Pemuda Muhammadiyah) dan Sarwono Kusumaatmadja (mantan Sekjen Golkar), saksikan secara langsung Adu Perspektif dari kanal detikcom dan 20detik, Rabu, 4 Januari 2023, pukul 20.00 WIB.
(edo/ids)